Salah satu cabang yang dilombakan di Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) adalah cabang karya tulis ilmiah atau biasa disebut Musabaqoh Makalah Al-Qur’an (MMQ). Perbedaannya dengan Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) adalah biasanya di LKTI peserta menulis karya ilmiahnya dari rumah kemudian di kirim ke panitia, sedangkan MMQ diketik di lokasi dengan durasi 8-9 jam. Laptop sudah dipastikan bersih dari semua file dan aplikasi setelah dicek oleh panitia, juga peserta dipersilahkan membawa sendiri rujukan yang sesuai dengan pedoman seperti buku, kitab kuning hingga print out jurnal. Dewan hakim terdiri atas tujuh orang yang bergelar Doktor hingga Guru Besar. Tekanan selama perlombaan terasa sangat kuat, terlebih banyak peserta yang mengaku baru pertama kalinya merasakan duduk mengetik di depan laptop selama berjam-jam. Asik kan?
Kebetulan saya mengikuti cabang ini dua kali, yaitu di MTQ ke-28 Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Tuban tahun 2019 silam sebagai peserta, dan MTQ ke-29 di Kabupaten Pamekasan pada 3-10 November 2021 lalu sebagai panitia. Dari pengalaman tersebut, ada satu hal yang menjadi pertanyaan saya, “di mana kalian, anak tafsir?”
Baca Juga: Pentingnya Pagelaran MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) Menurut Prof. Said Agil Husin al-Munawwar
Kita Minoritas di MTQ
MTQ Pamekasan lalu terhitung 43 peserta berlomba di babak penyisihan, kemudian diambil 6 putra dan 6 putri untuk lanjut di babak semifinal. Di final, 3 putra dan 3 putri mempresentasikan hasil tulisannya di hadapan dewan hakim plus sesi tanya jawab. Nah, menarik jika melihat fakta bahwa para peserta yang berhasil menyabet gelar juara di MMQ kebanyakan justru dari mahasiswa yang bukan Prodi Tafsir. Mayoritas para jawaranya adalah mahasiswa dari jurusan umum dan kampus umum.
Mari kita lihat datanya: di MTQ Pamekasan, terbaik putra diraih Ananta Ardyansyah (Mojokerto) dari Prodi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang. Disusul M. Fakhruddin Al-Razi (Pamekasan) dari Prodi Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta, kemudian Ainul Yaqin (Sidoarjo) dari Prodi Tasawuf STAI Al-Fithrah Surabaya. Sedangkan terbaik putri diraih Yayuk Siti Khotijah (Tuban) dari Prodi Hukum Keluarga Islam IAI Al-Hikmah Tuban. Disusul Mas Rifqiyah Maulana Al-Fisyah (Lamongan) dari Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian Sayyidati Fatimah Az-Zahroh (Kota Malang) dari Prodi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang.
MTQ sebelumnya yakni MTQ Tuban juga tidak jauh berbeda: terbaik putri diraih Tsania Nur Diyana (Kab. Malang) dari Prodi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang. Disusul Sakinah Hilya Abida (Kota Malang) dari Prodi Bioteknologi Industri Universitas Brawijaya Malang. Sedangkan terbaik putra diraih Moh. Adib Amrullah (Tuban) dari Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, kemudian Robbah Munjiddin Ahmada (Sidoarjo) Prodi Filsafat Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya disusul Moh. Nailul Muna (Lamongan) Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dari nama-nama finalis di atas, hanya tiga nama yang merupakan mahasiswa tafsir. Justru para jawara didominasi mahasiswa program studi umum dari kampus umum. Padahal, MMQ merupakan kompetisi karya ilmiah yang menggali kandungan ayat Al-Qur’an dan seharusnya di sinilah tempat bagi mahasiswa tafsir unjuk gigi dengan kemampuannya di bidang ulum al-Qur’an dan kekayaan referensi kitab-kitab tafsir.
Kenapa anak tafsir justru menjadi “minoritas” di MMQ?
Tiada Pembinaan: Kurang Mampu Meraciknya
Dilihat pada fase penyisihan, banyak peserta yang membawa koper besar berisi kitab-kitab tebal seperti Shahih Al-Bukhari, Jami’ li Ahkam Al-Qur’an dan sebagainya sebagai referensi utama. Seharusnya itu membuat mereka meraih poin tinggi sebab tentu saja dalam aspek penilaian bobot materi, referensi tersebut bernilai tinggi. Namun, kebanyakan mereka gagal masuk semifinal disebabkan cara meracik sumber-sumber tadi kurang maksimal. Berbeda dengan mahasiswa kampus umum yang hanya menggunakan referensi bacaan umum ataupun menggunakan tafsir berbahasa Indonesia seperti Tafsir Al-Mishbah atau terjemahan tafsir-tafsir lain, tetapi mereka memiliki skill menulis yang sangat cantik dan terasah. Hasilnya, mereka benar-benar dapat bersaing dengan peserta alumnus pesantren salaf maupun mahasiswa Prodi Tafsir.
“Kok bisa ya Pak, teman-teman dari UM nulisnya bagus dan sering juara di event kepenulisan?” tanya saya pada Prof. Yusuf Hanafi di suatu momen. “Pembinaan” jawabnya tegas. Beliau yang merupakan salah satu dewan hakim di cabang MMQ sekaligus dosen di Universitas Negeri Malang (UM) ini mengakui jika banyak peserta yang pandai baca kitab, hafal banyak teks naqli dan kaya referensi namun gugur di fase penyisihan sebab kemampuan menulisnya masih kurang terasah.
Ini fakta yang menarik, bahwa ternyata banyak mahasiswa yang memiliki penguasaan ilmu yang luas tetapi tidak diimbangi dengan skill menulis yang baik. Di UM sebagai contoh, mahasiswa mendapatkan bimbingan yang intensif seputar kepenulisan baik karya tulis ilmiah populer hingga kajian atas Al-Qur’an. Ada sistem yang sangat baik dan profesional. Tidak heran jika UM merupakan juara bertahan di MTQ Mahasiswa Nasional (MTQ MN) sekaligus paling banyak menghasilkan penulis yang bertarung di MMQ Jawa Timur. Bagaimana dengan yang ada di kampus Islam, atau saya persempit lagi; bagaimana dengan di Prodi Tafsir? Bagaimana bisa anak tafsir kalah jumlah dengan anak MIPA di MMQ? Barangkali jika adu hafalan atau debat, kita menang telak. Tetapi kita sedang bicara tentang tulis-menulis, dan ternyata ini celah besar yang selama ini kita abaikan begitu saja.
Baca Juga: Lulusan Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Haruskah Jadi Mufasir?
Bukankah Ini Adalah Dunia Kita?
Sedikit cerita, pada MTQ ke-28, saya berhasil mempertahankan nilai tertinggi dari babak penyisihan hingga final. Ada tiga hal penting yang membuat saya bisa bertahan. Pertama, saya anak tafsir. Tentu saja ini privilese yang sangat kuat dibandingkan dengan peserta lain. Bukan tanpa alasan, sebab di jurusan, saya mempelajari ilmu yang lebih lengkap seputar ulum al-Qur’an, corak-corak penafsiran hingga berinteraksi langsung dengan kitab-kitab tafsir. Kedua, makalah yang membawa saya menyabet terbaik 1 yang berjudul “Hoaks dan Defisit Intelektual Umat: Menanggulangi Berita Bohong Melalui Diskursus Ahsan At-Taqwim” menggunakan 6 kitab tafsir utama (al-kutub al-mu’tabarah) yakni Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Munir, Tafsir at-Thabari, Tafsir al-Maraghi, Mafatih al-Ghaib dan satu tafsir berbahasa Inggris berjudul Tafsir ul-Qur’an karya Maulana Abdul Majid Daryabadi asal India. Ini jelas memiliki bobot lebih. Ketiga, saya dibimbing langsung oleh seorang penulis besar, yakni Prof. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D dalam hal kepenulisan ilmiah secara intensif dan maksimal selama bertahun-tahun. Jadi, selain faktor “orang dalam” sebagai anak tafsir di MMQ dan kekayaan sumber referensi, saya juga terasah dalam hal kepenulisan sebab adanya pembinaan langsung.
Jika diperhatikan, aspek pertama dan kedua tersebut sudah dimiliki oleh mayoritas mahasiswa tafsir. Mata kuliah kita sudah sangat luas kajiannya, dan kita tidak kekurangan referensi sebab saya yakin semua kampus Islam pasti memiliki koleksi kitab-kitab tafsir yang lengkap. Namun, aspek ketiga inilah yang menjadi persoalan: mahasiswa tafsir kurang mendapatkan bimbingan yang intensif seputar menulis karya ilmiah. Saya jelas beruntung sebab memiliki Guru menulis. Bagaimana dengan yang lain? Cukup disayangkan ketika mahasiswa tafsir yang mampu membaca kitab kuning dan fasilitas referensi yang tersedia tidak memiliki output yang mumpuni di bidang karya ilmiah seperti publikasi jurnal maupun MMQ.
Memang MMQ bukan satu-satunya acuan untuk melihat kualitas kita sebagai akademisi di bidang studi ini. Kita tidak boleh melupakan fakta bahwa gairah tradisi keilmuan mahasiswa tafsir—setidaknya di kampus saya—sangat tinggi. Ada banyak kajian-kajian, komunitas-komunitas dan sebagainya yang diramaikan oleh anak tafsir. Namun, fakta bahwa baru tiga finalis dari mahasiswa Prodi Tafsir di—setidaknya—dua kali pelaksanaan MTQ Jawa Timur di atas tentunya harus kita terima bahwa kita, anak tafsir, di bidang kepenulisan dan gairah untuk ikut serta di event besar seperti MTQ maupun MTQ MN masih sangat rapuh.
Barangkali bisa dimaklumi jika semisal anak tafsir kalah di lomba dakwah atau olimpiade matematika. Tetapi, jika itu adalah lomba yang mengkaji kandungan Al-Qur’an, seharusnya sudah maklum jika pemenangnya adalah anak tafsir.
Bukankah ini adalah dunia kita?