BerandaTafsir TematikKenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

Jiwa atau nafs sangat dibutuhkan oleh manusia. Tanpanya, manusia tidak akan bisa hidup. Quraish Shihab mengatakan, keberadaan nafsu menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia. Nafsu tidak dapat dimatikan, akan tetapi dapat dikendalikan oleh manusia. Sebab, nafsu adalah pemberian Allah swt kepada manusia. Oleh karenanya, mujahadah al-nafs (pengendalian diri) menemukan titik relevansinya di sini. Hal ini ditegaskan oleh baginda Rasul saw, “raja’na minal jihadil asghar ila al-jihadil akbar” (Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar). Artikel ini hendak mengulas tiga macam tingkatan nafs dalam diri manusia.

Tiga Tingkatan Nafs

Al-Quran menyebut tiga tingkatan nafs dalam diri manusia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, al-nafs al-lawwamah, dan al-nafs al-ammarah bi al-su’ sebagaimana disampaikan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin.

Al-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang)

Nafs ini termaktub dalam Q.S. al-Farj [89]: 27-30,

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. al-Fajr [89]: 27-30)

Al-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Quran menjelaskan bahwa nafs al-muthmainnah merupakan jiwa yang tenang, jiwa yang mantap dan kuat (al-istiqrar wa al-tsubut) di mana selalu bersandar kepada Allah swt setelah mengalami kegelisahan dan kegundahan yang luar biasa. Muthmainnah bermakna tenang, damai, tentram. Sedangkan al-Ghazali memaknai al-nafs al-muthmainnah adalah nafsu yang berorientasi kepada kebenaran serta dipenuhi oleh ketenangan-Nya (al-sakinat al-ilahiyyah), sehingga kemurahan-Nya mengalir kepadanya secara deras. Begitupun al-Tustari dalam Tafsir al-Tustari, ia menyebut nafs al-muthmainnah dengan nafs al-ma’rifat.

Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Lebih jauh, al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat memaknai nafs al-muthmainnah dengan al-ruh al-sakinah (jiwa yang damai dan tenang) dan al-muthmainnah bi dzikrillahi (jiwa yang tenang yang selalu berdzikir kepada Allah). Senada dengan al-Qusyairi, Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan menafsirkan al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang mendapat ketenangan setelah adanya kegelisahan dan kegundahan.

Tidak hanya itu, Ibn Arabi dalam Tafsir al-Quran menafsirkan al-nafs al-muthmainnah dengan corak sufistik. Menurutnya, al-muthmainnah adalah jiwa yang tersinari oleh cahaya-Nya sehingga jiwa tersebut mendapat ketenangan dari-Nya dan kembali dalam keadaan lapang dada. Kemudian, ada beberapa ciri-ciri al-nafs al-muthmainnah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran di antaranya (1) memiliki keyakinan atau keimanan yang kokoh terhadap kebenaran sebagaimana termaklumatkan dalam Q.S. al-Nahl [16]: 106, “qalbuhu muthmainnun bil iman” (sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanannya).

(2) memiliki rasa aman, terbebas dari belenggu takut dan gelisah di dunia sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 103, “faidza ithma’nantum fa aqimu al-shalah” (apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna), dan (3) hatinya tentram karena selalu ingat kepada Allah sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. al-Ra’du [13]: 28,

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram. (Q.S. al-Ra’du [13]: 28).

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Seseorang yang jiwanya tenang atau memiliki kematangan emosional ia tidak merasa cemas dan gundah gulana berlebihan sebab ia bersandar dan selalu ingat bahwa Allah swt akan senantiasa menolong hamba-hamba-Nya. Jika seorang muslim telah mencapai nafsu ini, – mengutip istilah Abdullah Yusuf Ali dalam THE QURAN: The Meaning of the Glorious Quran Text, Translation & Commentry – maka ia telah mencapai puncak kebahagiaan (the final stage of bless) sebagai seorang mukmin.

Al-Nafs al-Lawwamah (Jiwa yang disesali atau dipersalahkan)

Jenis nafs ini merupakan antonim dari al-nafs al-muthmainnah. Jenis nafs ini termaktub dalam Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2,

لَآ اُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيٰمَةِۙ وَلَآ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Aku bersumpah demi hari Kiamat. Aku bersumpah demi jiwa yang sangat menyesali (dirinya sendiri). (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).

Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan memaknai al-nafs al-lawwamah dengan,

لاسبابها لانها تلوم نفسها أبدا فى التقصير والتقاعد عن الخيرات

“Nafsu yang menyalahkan dirinya sendiri karena selalu mengalami kelengahan atau kelalaian, dan meninggalkan diri atau pensiun dari beberapa perbuatan baik”.

Sementara hal senada juga dikemukakan Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid,

أقسم بالنفس المتقية، التي تلوم صاحبها على التقصير، وإن اجتهدت في الطاعة

“Aku bersumpah demi jiwa yang shalih yang menyalahkan pemiliknya atas kekurangannya, meskipun ia berusaha dalam ketaatan”

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Tidak cukup itu, al-Ghazali dalam Ihya’-nya menjelaskan bahwa nafs ini belum memiliki established. Artinya, nafs ini rentan dengan goncangan, satu saat ia berbuat kebaikan namun pada saat yang lain ia turun level menjadi rendahan (nafsu kebinatangan) sebagaimana disampaikan Syekh Ahmad Farid dalam Tazkiyatun Nufus. Dengan demikian, nafs al-lawwamah ialah nafsu yang masih labil, tidak menentu, dan berpotensi untuk taat maupun maksiat. Sehingga seseorang yang masih berada dalam derajat nafs ini hendaknya senantiasa membersihkan dirinya dengan rajib beribadah, mengaji, dan terus belajar sehingga dapat meng-upgrade status nafs-nya menjadi nafs al-muthmainnah.

Nafs al-Ammarah bi al-Su’ (Jiwa yang mendorong kepada kejahatan)

Nafsu ini selalu condong kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah swt dan bermaksiat. Al-Quran telah menyebutkannya dalam Q.S. Yusuf [12]: 53,

وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ

Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (Q.S. Yusuf [12]: 53)

Al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani menafsirkan kalimat “la-ammarah bi al-su’” adalah nafs yang selalu condong kepada kejahatan dan berbuat kerusakan (fasad). Sedangkan al-Tustari dalam Tafsir al-Quran bahwa nafs al-ammarah ialah nafsu syahwat yang selalu mengajak manusia kepada hubbud dunya (cinta dunia) dan kerusakan. Dalam hal ini, Ibn Atha’illah dalam al-Hikam berpendapat, “Pangkal dari maksiat, kelalaian dan syahwat ialah ridha, tunduk dan patuh terhadao nafsu. Sedangkan sumber dari segala ketataan, kesadaran dan moral adalah karena adanya pengendalian terhadap hawa nafsu”.

Baca juga: Pemeliharaan Al-Quran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Dalam konteks demikian, tepat kiranya pernyataan al-Ghazali bahwa manusia yang terjerembab dalam kubangan nafs ini maka sesungguhnya ia telah jatuh pada jurang yang amat rendah, yakni derajat kebinatangan. Ia lebih hina dan rendah daripada binatang. Namun sebaliknya, jika manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya maka derajatnya lebih mulia dan lebih tinggi ketimbang malaikat.

Oleh karenanya, pengendalian diri terhadap nafsu (mujahadah al-nafs) menjadi penting dan krusial di era modern sekarang serta serba banjir arus informasi. Pengendalian diri untuk tidak berkomentar yang tidak sesuai dengan bidangnya, pengendalian diri untuk tidak bermaksiat dan menahan pandangan mata dari kemaksiatan, dan segala hal dalam hidup manusia menuntut adanya pengendalian diri atau kontrol diri agar derajat nafs al-muthmainnah dapat kita raih sehingga jiwa menjadi tenang, damai, tentram dan selalu ingat kepada-Nya. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU