Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah: Memangnya Bisa?

Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah: Memangnya Bisa?
Menyoal Slogan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah

Ada sebuah adagium yang cukup menarik yang tersebar di kalangan masyarakat muslim kita hari ini, yang kurang lebihnya berbunyi: “Segala sesuatu itu harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, karenanya, mari kita semua kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah”. Adagium semacam ini sangat mudah kita jumpai di media sosial, terutama dalam beberapa tahun belakangan ini.

Sepintas, ketika pertama kali membaca dan mendengar adagium semacam ini terasa pesan yang ingin disampaikan simpel dan jelas. Akan tetapi jika direnungkan kembali, adagium tersebut pada dasarnya tidak dapat dianggap sederhana. Ia menyimpan implikasi yang, setidaknya dalam pandangan penulis, sangat “bertanggungjawab” dalam terbentuknya karakter keberagamaan masyarakat.

Di satu sisi, adagium tersebut sangatlah logis ketika dihubungkan dengan QS. Al-Baqarah [2]: 2. Ayat tersebut, jika diperhatikan, menyimpan narasi yang memperkuat adagium tersebut, bahwa tidak ada keraguan di dalam Al-Qur’an dan ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.

Di sisi yang lain, adagium tersebut juga memunculkan pertanyaan yang cukup serius: Apakah setiap muslim mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang cukup untuk langsung kembali ke dua sumber utama Islam tersebut?

Hemat penulis, dengan tidak bermaksud menafikan beberapa kalangan yang memang diberikan kemampuan khusus dalam bidang ini, hal tersebut terbilang cukup minim dalam persentasenya. Sebagaimana dalam catatan para sarjana muslim, semisal al-Farmawi, memberikan catatan bagi kalangan yang ingin “kembali”, juga biasa disebut dengan kerja penafsiran kitab suci, harus menguasai beberapa disiplin keilmuan.

Beberapa disiplin keilmuan tersebut meliputi, misalnya, kemampuan berbahasa Arab yang baik, pun dengan seperangkat metode gramatikalnya, ulumul Qur’an—yang meliputi pemahaman atas asbab an-nuzul, naskh dan mansukh, dan sebagainya; dan beberapa disiplin lainnya yang mendukung kerja ini—yang diantaranya disiplin keilmuan sosial, hermeneutika, dan antropologi.

Lalu bagaimana dengan yang tidak memiliki beberapa disiplin keilmuan tersebut?

Sebagaimana catatan Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an, bahwa kalangan ini biasanya akan berbondong-bondong untuk mendatangi berbagai majlis pengajian. Atau yang paling mutakhir, sebagaimana kajian Hasanuddin Ali dan Lilik dalam Wajah Islam Indonesia, mereka akan berseluncur di media sosial dengan term pencarian ayat atau role model (baca: ustaz, kyai, atau ulama) tertentu sesuai dengan kebutuhan dan seleranya.

Sampai pada titik ini, persoalan tersebut pada dasarnya belum selasai. Perihal bagaimana memahami “role model” adalah persoalan lanjutan dari ini. Catatan Ignaz Goldziher dalam Madzahib al-Tafsir al-Islami memperlihatkan bahwa meskipun masing-masing dari “role model” tersebut memiliki basis prasyarat sebagai seorang yang dapat menafsirkan Al-Qur’an, namun secara keseluruhan, proses ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kepentingan, tujuan, pun dengan tendensinya.

Karenanya, menjadi tidak mengherankan jika di antara para “role model” tersebut terdapat perbedaan terkait pemahaman atas suatu ayat tertentu. Perbedaan-perbedaan inilah yang pada akhirnya tentu akan turut serta dalam membentuk karakter keberagamaan masyarakat, entah itu “ramah” atau “marah” misalnya.

Baca juga: Mengkaji Slogan Kembali Kepada Al-Quran dan Al-Hadits

Memahami ragam penafsiran terhadap Al-Qur’an

Untuk menjelaskan persoalan ini, yakni memahami penafsiran yang disampaikan “role model” yang nantinya kita pilih, kiranya menjadi penting menggunakan kacamata yang ditawarkan Julia Kristeva dalam Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art.

Melalui semanalisis-intertekstual-nya, Julia Kristeva berusaha menawarkan sebuah pembacaan atas segala sesuatu sebagai proses penandaan. Pusat perhatiannya terletak pada subjek yang berbicara, pun dengan strategi-nya, dan sejauhmana dalam hal ini masing-masing di antara “role model” melakukan perujukan.

Ada dua aspek penting yang harus kita bedakan dalam proses semanalisis ini. Pertama, terkait genoteks. Aspek ini merupakan teks asli yang memiliki kemungkinan pemaknaan yang tidak terbatas. Dalam konteks ini, kita harus mampu menemukan teks asli (Al-Qur’an) dari apa yang dijelaskan “role model”.

Kedua, tekait fenoteks. Aspek ini merupakan pemaknaan atas teks asli—juga bisa sebagai respons atas teks asli. Dalam konteks ini, sejauh apapun penjelasan dari “role model” atas Al-Qur’an, ia tidak sama dengan Al-Qur’an itu sendiri. Ia berada di wilayah tafsir, yang sebagaimana Ignaz Goldziher, ia bersifat dinamis dan terus berkembang, yang tentu memiliki dimensi tujuan dan kepentingan tertentu.

Namun demikian, keduanya, tegas Julia Kristeva, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan betapun pemaknaan yang dihadirkan oleh “role model” tersebut.

Selanjutnya, setelah memahami perbedaan antara kedua aspek ini, kita harus memahami sejauhmana “role model” tersebut melakukan perujukan-perujukan dari apa yang ia jelaskan. Wilayah ini, oleh Julia Kristeva, berada di wilayah intertekstual. Fungsinya, utamanya dalam konteks ini, untuk memahami kecenderungan dan tujuan yang mendasari munculnya sebuah penjelasan dari “role model” atas Al-Qur’an.

Walhasil, slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah” perlu dipersoalkan ulang. Apakah hal tersebut dapat dilaksanakan semua orang? Apakah akan segampang pengucapannya? Dan bukankah penafsiran yang ada beraneka ragam yang bahkan bisa saja saling bertentangan? Wallahualam.

Baca juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah