Pemikiran Arthur Jeffery Tentang Ragam Qira’at dan Kritik Autentisitas Al-Quran

Pemikiran Arthur Jeffery Tentang Ragam Qira’at dan Kritik Autentisitas Al-Quran
Arthur Jeffery

Kajian mengenai Al-Qur’an tidak hanya diminati oleh para sarjana muslim pun sarjana Barat yang biasa kita sebut dengan istilah orientalis. Salah satu topik yang menjadi perdebatan satu di antaranya munculnya ragam qira’at. Melalui topik kajian qira’at inilah hadir sosok Arthur Jeffery yang melakukan pengkajian mendalam tentang qira’at dan kaitannya dengan kritik terhadap autentisitas Al-Quran. Lantas bagaimanakah Arthur Jeffery menggugat autentitas Al-Quran melalui pemikirannya terhadap ragam qira’at Al-Quran? Mari simak penjelasan berikut ini.

Analisis Terhadap Ragam Qira’at

Secara etimologi (bahasa), qira’at adalah masdar dari fi’il madhi qara’ah yang berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Quran mengartikan qira’at sebagai bentuk pengucapan yang dipilih salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab tertentu dan memiliki perbedaan dengan mazhab lainnya. Menurut Ibnu Khalawayh, di antara syarat suatu qira’at dapat disebut shahih ialah: a) memiliki kesesuaian dengan rasm ustmani, b) sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan c) memiliki sanad yang bersambung.

Muhammad Ali al-Shabuny dalam al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran membahas mengenai jumlah ragam qira’at al-Quran yang tergolong shahih, yang dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan berjumlah 7 (tujuh), 10 (sepuluh), bahkan 14 (empat belas). Akan tetapi dari kesemua pendapat tersebut , qira’at al-sab’ah lah yang memiliki kedudukan paling kuat.

Adapun 7 (tujuh) imam qira’at tersebut ialah: Ibnu Amir al-Dimasyqi (w. 188 H), Ibnu Khatir al-Makki (w. 120 H), ‘Asim al-Kufi (w. 127 H), Abu ‘Amr bin al’A’la al-Basri (w. 154 H), Hamzah Ibnu Habib al-Zayyat al-Kufi (w. 156 H), Nafi’ Ibnu ‘Abd al-Rahman al-Madani (w. 169 H), ‘Ali Ibnu Hamzah al-Kisa’I (w. 189 H). Adapun qari yang 10 (sepuluh) ialah tujuh qari tersebut ditambah dengan: Abu Ja’far al-Madani (w. 130 H), Ya’qub al-Hadhrami (w. 205 H), dan Khalaf  bin Hisham al-Bazzar (w. 299 H).

Kemudian qari yang empat belas ialah 10 qari yang telah disebutkan ditambah dengan Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sahmi (w. 123 H), Yahya bin Mubarak (w. 202 H), dan al-a’masy (w. 148 H), (Muchotob Hamzah, Studi al-Quran Komprehensif, hal 121-122). Selain bacaan daripada imam-imam di atas, maka status dari qira’at tertentu adalah syazah atau cacat (tertolak). Demikian pula Imam Nawawi menuturkan, apabila seseorang membaca al-Quran dan tidak merujuk kepada empat belas imam diatas, maka ia berdosa dan wajib bertaubat.

Baca juga: Al-Fatihah dalam Pandangan Arthur Jeffery, Orientalis Asal Australia

Siapakah Arthur Jeffery?

Merujuk pada buku Historical Data the Union Theological Summary: Alumni Directory 1836- 1958, menyebutkan bahwa Arthur Jeffery lahir pada tanggal 18 Oktober 1892 di Melbroune (Australia) dan wafat pada tanggal 2 Agustus 1959 di South Milford (Nova Scotia, Canada). Perjalanan akademis yang telah ia tempuh yakni, S1 (1918) di University of Melbourne, S2 (1920) di Melbourne College of Divinity dan S3 di University of Edinburgh. Studi akademisnya ini pernah tertunda karena perang dunia pertama. Lalu ia pergi ke India dan mengajar di Mardras Christian College sembari belajar beberapa bahasa India. Di sana ia mengembangkan beasiswa Alquran. Menurut Kenneth Cragg dalam International Bulletin of Missionary Research, bahwa kelihaian yang dimiliki Arthur dalam berkomunikasi bahasa Arab dan kelincahannya dalam berkhotbah, hampir tidak ada yang sebanding dengannya.

Kemudian pada tahun 1921 Charles R. Watson direktur Universitas Amerika di Kairo (Mesir) merekrut Arthur untuk bergabung di School of Oriental Studies (SOS). Di lembaga ini banyak berkumpul para misionaris bertaraf internasional seperti Earl E. Elder, William Henry Temple Graidner dan Samuel Marinus Zwemer, pendiri Konferensi Umum Misionaris Kristen sekaligus pendiri jurnal The Muslim World. Selanjutnya, dia menjadi seorang professor (guru besar) bahasa semit di Universitas Columbia sejak 1938 hingga wafatnya.

Studi Kritis Pemikiran Arthur Jeffery Terhadap Ragam Qira’at (Bacaan) Al-Quran

Arthur Jeffery dalam buku Materials for the History of the Text of the Quran berargumen bahwasanya qira’at dari teks Al-Quran yang berbeda-beda sejatinya merefleksikan satu titik orientasi bahwa adanya keteledoran (kekeliruan) penyalin teks naskah itu sendiri. Kemudian Abdul Djalal dalam buku Ulumul Qur’an hal 338 mengatakan penyebab lain dari adanya perbedaan qira’at al-Quran adalah karena ketiadaannya titik الشكل) ) dan tanda baca ( النقط )  pada mushaf Utsmani. Sementara tanda baca dan titik di dalam al-Quran baru muncul beberapa saat setelah itu. Ketiadaan titik ini berimbas kepada kesulitan dalam aktivitas resitasi al-Quran, khususnya umat Islam di luar komunitas Arab. Keadaan ini memberi peluang bebas bagi pembaca untuk memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks ayat yang dipahami.

Arthur juga memberi contoh jika seseorang menemukan kata tanpa tanda titik seperti kata (ىعلمه) maka boleh saja ia membaca (بعلمه- يعلمه- نعلمه atau تعلمه) dengan demikian jelaslah bahwa si pembaca mengalami kekeliruan dalam memahami Al-Quran (A. Jeffery, The Qur’an as Scripture, (New York: r. F. Moore Co., 1952). Dari argumennya tersebut seolah-olah Arthur memposisikan Al-Quran sama halnya dengan manuskrip, dan qira’at harus tunduk dengan manuskrip tersebut. Lanjutnya, kesalahan di atas berimplikasi pada keautentikan al-Quran, dimana pembaca harus menafsirkan tanda baca dan jumlah titik yang tepat untuk sebuah paleografi yang “mati”.

Arthur Jeffery dan sebagian tokoh orientalis lain menganggap al-Quran sebagai sebuah dokumen tertulis (reading the text) sebagaimana pendekatannya terhadap Bibel. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan tradisi umat Islam yang dalam proses transmisi al-Quran menggunakan tradisi oral (lisan). Lebih lanjut al-A’zami dalam The History of the Quranic Text from Revelation to the Compilation: A Comparative Stuy with the Old and New Testaments, mengatakan bahwa Arthur Jeffery dalam menggugat keautentikan Al-Quran benar-benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan.

Mengutip pendapat Kristina Nelson, bahwa transmisi al-Quran dan keberadaan sosialnya ialah sungguh bersifat oral, ritme al-Quran dan prononisasinya mengkonfirmasi untuk di dengar (M. Mabrur Barizi, Implikasi Sejarah Transmisi Al-Quran). Selain itu, Angelika Newrith dalam Structural, Linguistic and Literary Features,” turut mengomentari bahwa untuk melihat hal tersebut (tanda titik dan baca), seseorang harus memahami bahwa sebagian dari Al-Quran merefleksikan linguistik Arab. Maka tidak heran jika Amin al-Khulli menyatakan bahwa Al-Quran adalah kitab sastra terbesar. Lanjutnya, dalam Al-Quran terdapat sajak yang merupakan karakteristik dari linguistik Arab. Bahkan secara khusus, lafaz-lafaz yang diulang-ulang dalam Al-Quran tidak hanya sekedar sarat akan nilai sastrawi, lebih dari itu sebagai sistem kerja linguistik Arab guna memberikan pemaknaan yang lebih mendalam terhadap suatu ayat. Dengan begitu, respons terhadap Al-Quran lebih kuat untuk didengarkan daripada hanya sekedar sebuah teks.

Pengkajian al-Quran dengan pendekatan studi kritik teks sebagaimana terhadap Bibel, yang dilakukan oleh Arthur Jeffery berimplikasi terhadap kesalahannya dalam berargumen dan membuat kesimpulan. Pasalnya, pada periode awal Islam terdapat banyak cara baca Al-Quran dan tidaklah berbasis pada kesalahan seorang muslim dalam membaca mushaf Ustmani, melainkan hal ini sudah terjadi dan diajarkan langsung oleh Nabi kepada umat terdahulu. Lagi pula tradisi tulis sangat sedikit sekali dalam proses transmisi Al-Quran di masa awal Islam. Sehingga “pemaksaan” dengan menggunakan studi kritik teks yang dilakukan Arthur Jeffery menghasilkan argument dan kesimpulan yang sangat mudah dipatahkan.

Baca juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran