BerandaTafsir TematikWanita Boleh dan Mampu Jadi Pemimpin, Sejarah Membuktikannya

Wanita Boleh dan Mampu Jadi Pemimpin, Sejarah Membuktikannya

Sering kali kaum wanita diletakkan di bawah dominasi kekuasaan pria atau para suami. Perempuan diangga hanya sebagai objek, sementara pria atau suami sebagai subjeknya. Dengan beranggapan bahwa perempuan hanya sebagai sarana untuk melanjutkan keturunan dan perempuan dicipta untuk kaum pria. Semua anggapan ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak kita jumpai peran dan status sosial yang mana juga banyak diperankan oleh kaum pria maupun kaum wanita. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir di segala aspek kehidupan sosial wanita turut serta di dalamnya, termasuk dalam hal kepemimpinan. Peran dan kepemimpinannya sangat menentukan perkembangan dan kemakmuran suatu zaman.

Wanita Sebagai Khalifatullah

Tugas dan peran wanita di masyarakat menurut konsep Islam memang dipentingkan. Al-Qur’an dan as-sunnah tidak sedikit membicarakan masalah wanita. Sehingga dengannya, Allah Swt. mewahyukan sebuah surah yang diberi nama “An-nisa”. Sebagian besar surah ini membicarakan hal-hal yang berhubungan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.

Sejarah telah mencatat peran sosial kemasyarakatan kaum wanita sejak dahulu hingga sekarang menunjukkan betapa kaum wanita telah menampilkan kepemimpinannya, baik dalam skala regional maupun dalam skala nasional (Prototipe Kepemimpinan Wanita Islam Dalam Masyarakat, hal. 4).

Pada prinsipnya, agama tidak membatasi wanita dalam mengurus kepentingan publik. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kehormatan wanita itu sendiri, selayaknya yang juga berlaku pada kaum pria. Setidaknya terdapat tiga bidang yang menjadi halangan terciptanya relasi gender yang lebih adil, yaitu berkaitan dengan pandangan agama, persepsi masyarakat, dan politik (Al-Qur’an & Perempuan, hal. 93).

Dalam Islam, wanita mempunyai kedudukan sama dengan pria. Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab [33] ayat 35:

اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذَّاكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذَّاكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ۝

 Artinya: ”Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Menurut Maulana Muhammad Ali, ayat ini berulang sepuluh kali dengan menyebutkan bahwa wanita mempunyai kesempatan untuk mencapai kebaikan dan kedudukan yang damai dengan pria dan bahwa wanita berada pada tingkatan spiritual yang sama dengan pria.

Baca juga: Reinterpretasi Kepemimpinan dalam Surah Al-Nisa Ayat 34

Selanjutnya, M. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an (hal. 269), mengutip tulisan Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, Mesir mengatakan: “Tabiat manusia antara laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana laki-laki dianugerahkan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab serta menjadikan laki-laki dan perempuan dapat melaksanakan aktifitas umum maupun khusus.”

Di dalam masyarakat primitif ataupun masyarakat berkembang, tanpa ada khilafah atau pemerintahan yang melaksanakan tata tertib peraturan dan hukum, kehidupan masyarakat akan mengalami kehancuran. Begitu pula dalam hal kehidupan, wanita dan pria diciptakan sebagai khalifah, minimal memimpin dirinya dan pada umumnya bisa memimpin masyarakat.

Dalam hadist Rasulullah saw pernah bersabda sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ

“Dari Abdullah ra berkata: aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin dan setiap pmimpin akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap apa yang dipimpinnya . Iman itu adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap apa yang dipimpinnya. Dan seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabanya terhadap apa yang dipimpinnya). Dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap yang dipimpinnya.” (H.R. Bukhari No. 4789 & No. 4801).

Dengan memperhatikan hadis tersebut, jelas bahwa semua manusia adalah pemimpin, baik pria maupun wanita mempunyai kedudukan yang sama. Di Negara-negara makmur, jumlah wanita yang bekerja lebih banyak daripada di negara-negara miskin. Di negara-negara tersebut wanita juga memegang peranan besar dalam pemerintahan, bisnis, dan layanan masyarakat.

Baca juga: Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Sejarah membuktikan wanita mampu menjadi pemimpin

Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang ditandai dengan abad informasi dan globalisasi, menghadirkan suatu kenyataan yang mungkin kompleks sifatnya dengan makin majunya teknologi merambah kehidupan di kota, maupun di desa. Sains dan teknologi kini sudah ada di depan kita, mau tidak mau wanita diperhadapkan dengan kenyataan kompleks itu dan jawabannya tidak terlepas di tangan mereka itu sendiri.

Kaum wanita kini sedang berjuang keras untuk mendobrak sebuah peradaban dan secara gamblang memperlihatkan ada gelombang yang menyebabkan hadirnya apa yang disebut dengan Dasawarsa Wanita. Serta banyak contoh yang kita dapatkan guna mendukung analisis ini.

Di belahan dunia misalnya, bermunculan wanita-wanita yang sedang dan telah memegang tampuk kekuasaan di negara mereka. Tercatat di antaranya adalah Margaret Thacher, mantan perdana menteri Inggris, Cory Aquino, mantan Presiden Filipina, dan Benazir Bhutto.

Ketika Benazir Bhutto menjadi perdana menteri pakistan setelah memenangkan pemilihan umum pada 16 November 1998, semua orang memonopoli hak berbicara atas nama Islam. Nawaza Syarif, pemimpin Islamic Democratic Alliance (IDA) masa itu menghujat, “Sungguh mengerikan. Belum pernah sebuah negara muslim diperintah oleh wanita.”

Nawaza Syarif mengutuk peristiwa ini sebagai hukum alam, karena pengambilan politik di kalangan para leluhur kita, yang menjadi urusan kaum pria sepanjang lima belas abad silam. Sejak tahun pertama Hijriah hingga sekarang, pemegang kekuasaan  merupakam hak istimewa bagi kaum pria (Teknologi Emansipasi dan Transendensi, hal. 145).

Sampai pada abad ke-21 ini, kaum wanita masih terus dan tetap memegang peranan penting. terbukti bahwa wanita mampu memberikan solusi peradaban serta mampu menjawab tantangan zaman. Hal tersebut dibuktikan bahwa para muslimah sepanjang sejarah tidak absen dalam mengambil bagian dalam pembangunan untuk umat.

Selain itu, peranan sosial dalam Islam adalah bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai khalifah di bumi, yang berkewajiban untuk mewujudkan dan memakmurkan tatanan sosial yang baik dan Islami. Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Siti Zahra
Siti Zahra
Mahasiswi UIN Datokarama Palu
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....