Imam Khazin dan al-Baghawi di dalam tafsirnya menyinggung perihal salah satu hukum fikih yang kurang dikenal tentang batalnya wudu, yaitu bahwa mimisan dan muntah dapat membatalkan wudu. Dua kondisi ini dihukumi sebagaimana orang kentut. Apabila ia hendak salat, maka harus berwudu kembali. Putusan ini bukanlah putusan Mazhab Syafi’i, sehingga kurang dikenal di Indonesia. Namun, pendapat non Syafi’i seperti ini sesekali perlu dipelajari, agar kita tahu bahwa mazhab fikih tidak hanya Mazhab Syafi’i. Berikut penjelasan tentang mimisan dan muntah dapat membatalkan wudu.
Pro dan kontra antar ulama madzhab
Imam Khazin dan al-Baghawi menjelaskan bahwa, ulama berbeda pendapat tentang keluarnya benda najis dari selain kemaluan dan anus menjadi salah satu sebab batalnya wudu. Mereka mencontohkan keluarnya najis tersebut dengan keluarnya darah dari tubuh, mimisan, bekam, serta muntah. Ulama yang setuju dengan pendapat ini antara lain Mazhab Hanafiyah dan Ahmad ibn Hanbal. Sedang yang tidak setuju antara lain Mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah (Tafsir Ma’alim al-Tanzil/219 dan Tafsir Lubab al-Ta’wil/2/101).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatihi menjelaskan, masing-masing pihak, baik yang setuju ataupun yang tidak, memiliki dasarnya sendiri-sendiri. Salah satu dasar untuk menyatakan setiap benda najis yang keluar dari tubuh dapat membatalkan wudu, selain disamakan dengan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah. Dalam hadis tersebut tertera bahwa Nabi bersabda (Fiqh al-Islami/1/421-422):
إِذَا قَاءَ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ أَوْ قَلَسَ أَوْ رَعَفَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Ketika salah seorang dari kalian memuntahkan atau muntah atau mimisan di dalam salatnya, maka hendaknya ia berwudu (HR. al-Baihaqi).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Tamim al-Dari disebutkan:
« الْوُضُوءُ مِنْ كُلِّ دَمٍ سَائِلٍ »
Wudu diharuskan sebab setiap darah yang mengalir (HR. al-Daruqutni)
Sedang ulama yang kontra mendasarkan pendapatnya melalui hadis yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa ia berkata:
احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَلَمْ يَزِدْ عَلَى غَسْلِ مَحَاجِمِهِ
Rasulullah melakukan bekam kemudian salat dan tidak berwudu. Ia hanya sekedar membasuh bekas bekamnya (HR. al-Baihaqi)
Imam al-Nawawi, salah satu Ulama terkemuka Madzhab Syafi’iyyah, di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menganggap hadis yang dijadikan pijakan pendapat pro atau kontra soal mimisan dan muntah dapat membatalkan wudu, sebagai Hadis Daif. Imam al-Nawawi sendiri meyakini tidak membatalkan wudu. Ia kemudian menyebutkan sebuah hadis panjang riwayat Abu Dawud yang ia pandang lebih tepat untuk dijadikan dasar bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudu. Yaitu hadis tentang sahabat yang sedang salat tatkala peperangan, dan ia serang musuh sampai darah keluar dari tubuhnya. Sahabat tersebut terus salat dan tidak lantas berwudu kembali.
Imam al-Nawawi menambahkan, ia sendiri meyakini tidak adanya hukum batalnya wudu selama tidak ada dasar yang menjelaskannya. Dan sementara ini, ia menganggap tidak ada dasar yang menjelaskannya. Sehingga tidak ada hukum batalnya wudu. Selain itu, qiyas tidak dapat dipraktikkan dalam masalah ini. Sebab penyebab batalnya wudu bukanlah sesuatu yang dapat dicerna oleh akal. Ia juga mengutip keterangan Imam al-Khatthabi bahwa mayoritas ahli fikih yang mencakup diluar mazhab 4, meyakini bahwa muntah dan keluarnya darah dari tubuh termasuk membatalkan wudu (al-Majmu’/2/55).
Penutup
Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan, batalnya wudu sebab muntah dan keluarnya darah dari tubuh adalah sesuatu yang masih diperdebatkan oleh para ulama. Masing-masing memiliki dasar tersendiri dan yang lain pun mengkritik dasar tersebut. Wallahu a’lam[]