Ibu hamil dan menyusui termasuk salah satu yang diberi keringanan oleh Allah untuk tidak berpuasa, karena keduanya memilki hukum yang sama dengan orang sakit. Dalam kitab Rawai’ al-Bayan, Syekh Ali al–Shabuni menceritakan bahwa suatu ketika, Imam Hasan al-Bashri ditanya mengenai kewajiban puasa bagi ibu hamil atau menyusui jika khawatir akan kesehatan dirinya atau anaknya. Beliau pun menjawab bahwa ibu hamil dan menyusui boleh berbuka dan mengqada puasa di lain hari. Akan tetapi, wajibkah atasnya untuk membayar fidyah juga? atau cukup dengan qada?
Baca juga: Mengapa Surat al-Insyiqaq Baik Dibaca Ibu Hamil? Simak Penjelasannya
Para fuqaha sepakat tentang kebolehan bagi ibu hamil atau menyusui untuk tidak berpuasa. Keringanan ini termasuk kategori rukhsah. Hanya saja, ulama berbeda pendapat soal konsekuensi bagi ibu hamil atau menyusui yang meninggalkan puasa. Apakah ia wajib mengqada puasanya saja? Atau harus membayar fidyah pula?
Terdapat tiga pendapat mengenai hal ini.
Menurut Imam Abu Hanifah, dua kelompok tersebut, ibu hamil dan menyusui, hanya diwajibkan mengqada puasanya. Jawaban beliau didasari dengan dua argumen yang cukup kuat. Pertama, orang yang sedang hamil dan menyusui memiliki hukum yang sama dengan orang sakit sebagaimana termaktub dalam cerita Imam Hasan al-Bashri di atas. Karena itu, kewajiban keduanya hanyalah mengqada, seperti orang sakit.
Baca juga: Surah Al-Qadr [97] Ayat 3: Lailatul Qadar Lebih Baik dari Seribu Bulan
Kedua, kondisi hamil dan menyusui berbeda dengan orang tua renta yang tak mampu berpuasa, sehingga beda konsekuensi hukum pula. Orang tua renta yang sudah tak mampu berpuasa hanya berkewajiban membayar fidyah, karena potensi untuk dapat berpuasa sudah tidak dimilikinya. Sedangakan uzur yang ditimpa ibu hamil dan menyusui termasuk uzur yang dapat hilang, sehingga kewajiban yang dibebankan padanya adalah mengqadanya. Jika mereka masih diwajibkan membayar fidyah juga maka akan terjadi jam’un bain al-badalain (berkumpulnya dua pengganti), yang menyalahi kaidah Fikih. Sebab, baik qada maupun membayar fidyah keduanya sama-sama pengganti puasa. Sehingga, kewajiban yang dibebankan bagi keduanya harusnya hanya satu saja, yaitu mengqada. (Ahkam al-Quran li al-Jashshas, 1-211)
Ketiga, menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin hanbal, ibu hamil dan menyusui diwajibkan untuk mengqada puasa dan membayar fidyah. Alasannya, keduanya masuk dalam cakupan Q.S. Albaqarah [2]: 184:
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَه فِدْيَةٌ
“Dan diwajibkan bagi mereka yang tidak mampu berpuasa untuk membayar fidyah.”
Ayat ini membahas kewajiban membayar fidyah yang dikenakan pada seluruh orang yang tidak mampu berpuasa, seperti orang tua renta. Termasuk didalamnya orang hamil dan menyusui. Karenanya, selain keduanya tetap diwajibkan mengqada puasa, keduanya juga diharuskan membayar fidyah. (Rawai’ al-Bayan, 1-168)
Namun, dalam sebuah riwayat, Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa kewajiban qada serta membayar fidyah hanya dikenakan pada ibu hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan kondisi anaknya. Sementara, jika keduanya membatalkan puasa karena khawatir kondisi diri sendiri atau bersama anaknya juga maka hanya diwajibkan qada tanpa membayar fidyah. Sebab dengan kekhawatiran yang merujuk pada dirinya sendiri ia hanya disamakan dengan orang sakit yang hanya diwajibkan mengqada di lain waktu. Dan tidak masuk dalam cakupan ayat di atas.
Baca juga: Keistemewaan Bulan Ramadan: Bulan Diturunkannya Kitab Suci
Setelah menguraikan tiga pendapat di atas, hendaknya kita mengambil satu pendapat yang unggul. Dalam kitab Rawai’ al-Bayan, Syeikh Ali al-Shabuni menyatakan bahwa, pendapat yang lebih unggul (qaul rajih) adalah apa yang diungkapkan Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa, ibu hamil dan menyusui hanya diwajibkan mengqada puasa saja, karena memilki illat (alasan) dan dalil yang lebih kuat. Tabik.