Senin (18/4), tafsiralquran.id menyelenggarakan seminar daring via Zoom sebagai salah satu agenda perayaan miladnya yang ke-2. Seminar ini bertajuk “Alquran dan Perdamaian Dunia: Mengulik Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Ayat Peperangan”. Ada tiga narasumber yang ditunjuk membicarakan tema ini; Dr. TGB. Muhammad Zainul Majdi, Lc., M.A., Dr. Hj. Afwah Mumtazah, S.Ag., M.Pd.I., dan Zacky Umam, Ph.D.
Zacky Umam dalam sesi pemaparannya berfokus pada konsep darul Islam (teritori Islam) dan darul harb atau darul kufr (teritori perang atau teritori kafir) yang sering dipropagandakan oleh kelompok jihadis dan ekstremis. Dia membedah sejarah kemunculan dan perkembangan term ini dan kemudian di akhir menawarkan definisi baru yang menurutnya lebih relevan digunakan untuk masa kini.
Muncul setelah masa Nabi dan sahabat
Menurut Zacky, term darul Islam dan darul harb tidak pernah disebutkan dalam Alquran maupun hadis, bahkan tidak pernah digunakan di masa Nabi Muhammad saw. dan para sahabat. Ia muncul pertama kali pada masa perluasan imperium Islam, yakni sejak akhir abad ke-2 Hijriah.
Ketika itu, banyak wilayah Islam yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Bizantium, sehingga dirasa perlu pembentukan “hukum internasional” yang mengatur hubungan internasional antara negeri Islam dengan negeri luar.
Aturan “hukum internasional” ini bisa ditemukan misalnya dalam al-Siyar al-Kabir karangan Muhammad al-Syaibani (w. 805) dan Kitab al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w. 798). Di sinilah konsep darul Islam dan darul harb itu muncul.
Cap darul Islam dan darul harb digunakan untuk membedakan mana wilayah aman dan mana yang tidak. Konteks keamanan ini terkait dengan kebebasan umat muslim menjalankan ajaran agamanya. Ini dikuatkan oleh pernyataan al-Mawardi tentang kriteria negeri Islam. al-Mawardi mengatakan, “Manakala seorang muslim bisa bebas beragama di negeri kufur, negeri itu menjadi darul Islam.”
Pernyataan serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang sangat populer di kalangan pesantren di Indonesia. Begitu pula dengan fatwa Nahdlatul Ulama yang dikeluarkan pada tahun 1936 bahwa Indonesia yang ketika itu di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda tetap dianggap sebagai darul Islam. Ini menunjukkan bahwa konsep darul Islam dan darul harb lebih bersifat etis dan substantif.
Adapun kelompok radikal malah membelokkan konsep tersebut kepada pemahaman kolot yang bersifat oposisi biner antara wilayah Islam dan wilayah kafir dengan terus menggelorakan ajakan jihad.
Mereka bahkan mengkategorikan banyak negara yang dihuni dan dipimpin mayoritas umat muslim pun sebagai negara kafir, lantaran tidak menggunakan sistem khilafah, meski di sana umat Islam bebas menjalankan ajaran agamanya.
Konsep yang dipakai kelompok radikal ini sangat berbahaya. Kita dapat melihat bagaimana berbahayanya implikasi pemahaman ini di beberapa tahun belakangan ketika banyak terjadi aksi terorisme, peperangan, runtuhnya pemerintahan suatu negara, hingga berbondong-bondongnya orang-orang dari berbagai penjuru dunia “berhijrah” ke wilayah konflik untuk menegakkan apa yang mereka yakini sebagai khilafah Islamiyyah.
Baca juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Alquran
Tawaran redefinisi
Untuk itu, diperlukan telaah ulang terhadap konsep darul Islam dan darul harb dengan mempertimbangkan konteks negara-bangsa masa kini. Zacky menawarkan istilah darul Islam dikonsepsikan sebagai negeri yang etis dan islami; negeri yang aman, damai, tenteram, maju, sejahtera, terdapat kebebasan beragama dan berpendapat dan lain sebagainya yang menjadikan suatu negeri menjadi negeri idaman. Dalam bahasa Alquran negeri seperti ini disebut baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
Sebaliknya, darul harb menurut Zacky merupakan negeri atau wilayah yang tidak etis didiami. Sebab, masyarakat yang hidup di sana masih dihantui ketakutan, rentan akan kemiskinan, kemajemukan dipasung, pemerintah cenderung otoriter, kekacauan di mana-mana, terbelakang, dan sebagainya.
Zacky mengakui konsep yang ditawarkannya itu masih memiliki kekurangan dan mungkin akan sedikit membingungkan, karena di sana pasti ada wilayah “abu-abu” yang di satu sisi mencakup kriteria darul Islam, tapi di sisi lain terdapat indikasi sebagai wilayah darul harb. Hanya saja, ungkapnya, adanya konsep ini dapat menjadi salah satu acuan negeri yang diidam-idamkan masyarakat modern yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman yang juga hakikatnya selaras dengan nilai-nilai universal kemanusiaan.
Baca juga: Kenapa Salafi-Wahabi Menolak ‘Indonesia Raya’ Padahal Itu Sunah Nabi?