Apakah Alquran merupakan kalam Allah secara verbatim, dalam arti lafaz-lafaznya berasal dari Tuhan? Fazlur Rahman, sarjana asal Pakistan, berpendapat “tidak.” Bagi Rahman, dalam hal bahwa Alquran itu terjaga dari kesalahan, maka ia sepenuhnya kalam Allah. Namun, dalam kaitannya sebagai wahyu yang disampaikan ke dalam hati Nabi dan diungkapkan dengan lisannya, maka ia sepenuhnya perkataan Nabi. Berikut saya kutipkan kalimat Rahman dalam bukunya, Islam:
“the Qur’an is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad.”
Sayangnya, kata Rahman, ulama-ulama ortodoks (bahkan seluruh pemikir Muslim abad pertengahan) tidak memiliki perangkat intelektual untuk mengombinasikan antara eksternalitas kalam Tuhan dan keintiman koneksinya dengan pengalaman kenabian Muhammad.
Saya setuju dengan Rahman bahwa Alquran sepenuhnya kalam Tuhan dan, pada saat yang sama, sepenuhnya perkataan Nabi. Namun demikian, Rahman salah ketika mengatakan bahwa tak ada ulama terdahulu yang sependapat dengannya.
Baca juga: Dialektika Alquran dan Budaya dalam Kerangka Pikir Ingrid Mattson
Seperti yang ditunjukkan dalam tulisan ini, banyak ulama terdahulu menjawab pertanyaan di atas secara negatif. Jika di zaman modern, pendapat Rahman (dan sedikit sarjana lain) tergolong minoritas (bahkan dia menghapi penolakan keras dari ulama-ulama Pakistan), di abad pertengahan (atau, lebih tepatnya, masa Islam Klasik) justru pandangan seperti itu diterima cukup luas, jika tak boleh dikatakan mayoritas dengan berbagai varian argumentasinya.
Dalam tulisan ini, saya mendemonstrasikan sejumlah kalangan yang berpendapat bahwa lafaz-lafaz Alquran tidak berasal dari Allah langsung. Di tengah analisis itu, juga didiskusikan pandangan yang di kemudian hari menjadi paham ortodoksi. Yakni, pandangan Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya, yang ditopang oleh argumen skripturalisasi yang diperkenalkan oleh Syafi’i. Di bagian akhir tulisan, saya akan mendiskusikan pembacaan saya atas Alquran dan hadis untuk memperlihatkan bahwa sumber utama Islam sendiri membuka ruang bagi pandangan “Alquran sebagai kalam Ilahi dan sekaligus perkataan Nabi.”
Lafaz Alquran bukan dari Allah
Pada abad ke-14 dan 15 M, dua penulis ulum Alquran ternama, Zarkasyi dan Suyuti, meriwayatkan tiga pandangan utama terkait pertanyaan bagaimana malaikat Jibril menyampaikan Alquran kepada Nabi. Pertama, Alquran diwahyukan dalam lafaz dan makna. Artinya, Jibril menghafalkan lafaz-lafaz Alquran dari lauhul mahfuz, dan menyampaikannya kepada Nabi. Kedua, Jibril menyampaikan maknanya dan Nabi yang mengekspresikannya dengan lafaz-lafaz Arab. Menurut Zarkasyi dan Suyuti, mereka yang berpendapat demikian menafsirkan Q.S. Asysyura [26]: 193-195 secara letterlijk. Ketiga, Jibril menerima Alquran dalam maknanya, kemudian dia mengekspresikan dengan lafaz Arab. Sang malaikat membaca Alquran di langit dalam bahasa Arab, kemudian turun ke bumi dan mendiktekannya kepada Nabi.
Dalam al-Burhan dan al-Itqan, baik Zarkasyi maupun Suyuti tidak memberikan penilaian pada tiga pendapat di atas. Namun demikian, keduanya tampak menguatkan perdapat pertama. Hal ini, misalnya, terlihat bagaimana mereka mendiskusikan sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa “Tuhan berbicara dengan wahyu” (takallama Allah bi al-wahy). Kedua penulis juga mengelaborasi berbagai riwayat seputar proses turunnya Alquran dalam dua tahapan. Yakni, diturunkan ke langit bumi pada satu malam, dan kemudian diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur.
Pada abad ke-14 dan 15, hampir bisa dipastikan dua pendapat terakhir sudah tidak lagi populer. Tapi, hal itu tidak menafikan kenyataan bahwa apakah lafaz Alquran berasal dari Tuhan atau tidak merupakan persoalan khilafiyah. Yang tidak termasuk khilafiyah adalah sumber keilahian Alquran, yakni bahwa Alquran bersumber dari Allah.
Namun, apakah proses pewahyuannya melibatkan “makna” dan “lafaz” sekaligus, ataukah lafaznya berasal dari Nabi sendiri atau Jibril? Hal ini merupakan persoalan yang menyulut perdebatan intens. Pada periode lebih awal, dua pandangan terakhir itu sebenarnya cukup menonjol, terutama di kalangan teolog Muslim (mutakallimun).
Istilah “kalam Allah” sebenarnya tipikal diskursus teologis di kalangan para mutakallimun, yang berkembangan pesat sejak abad ke-3 H atau ke-9 M. Pada dua abad sebelumnya, istilah itu jarang ditemukan. Dalam Alquran, frasa “kalam Allah” hanya muncul tiga kali. Istilah yang banyak ditemukan dalam Alquran ialah “kitab Allah.” Berbagai riwayat yang dinisbatkan kepada beberapa sahabat dan tabi’in juga tidak merujuk pada Alquran sebagai “kalam Allah,” melainkan “kitab Allah.”
Baca juga: 7 Keistimewaan Al-Qur’an Menurut Yusuf al-Qaradlawi Bagian I: Al-Qur’an Kitab Ilahi
Sebenarnya menarik untuk dianalisis secara historis (sungguhpun di luar jangkauan tulisan ini) bagaimana deskripsi tentang Alquran dalam perbincangan teologis bergeser dari “kitab Allah” menjadi “kalam Allah.” Kata “kitab” dalam Alquran punya makna yang cukup dinamis. Barangkali ketika wahyu Alquran mulai diidentikkan dengan mushaf Alquran, maka konsep “kalam Allah”, yang disebutkan oleh kalangan ortodoks sebagai sifat esensial Tuhan, mulai mengambil alih signifikansi “kitab Allah.”
Sejak abad ke-3H/9M, “kalam Allah” muncul sebagai istilah cukup menonjol untuk mendefinisikan Alquran, seiring dengan perdebatan apakah Alquran itu makhluk (diciptakan) atau bukan. Suatu perdebatan sengit yang melibatkan kubu Mu’tazilah dan penolaknya, terutama Ahmad ibn Hanbal. Saya hanya akan menggarisbawahi beberapa aspek dari perdebatan tersebut yang relevan dengan tema tulisan ini.
Menarik dicatat, baik kubu Mu’tazilah maupun Ahmad ibn Hanbal dan pendukungnya sama-sama berpendapat bahwa lafaz Alquran berasal dari Allah. Bagi kubu pertama, Allah menciptakan Alquran sekaligus lafaz dan bacaannya (atau, bagaimana membunyikannya). Bagi kubu kedua, Alquran dan lafaznya berasal dari Allah dan bukan ciptaan-Nya. Di luar kedua kubu tersebut, sejumlah mutakallimun membedakan antara Alquran sebagai berasal dari Allah di satu sisi, dan lafaz dan bacaanya yang berasal dari Jibril atau Muhammad di sisi lain.
Salah seorang teolog terkemuka asal Basrah, Abdullah ibn Kullab (w. 241H/855M), membuat distingsi antara kalam Allah dan ekspresi atau ungkapan Arabnya dalam bentuk Alquran yang terdiri dari huruf dan bunyi Arab. Seperti yang nanti akan tampak jelas, pandangan Ibn Kullab ini berpengaruh besar terhadap Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri mazhab teologi Asy’ariyah. Pandangan Ibn Kullab dapat ditemukan dalam karya besar Asy’ari, yakni Maqalat al-Islamiyyin. Setelah berargumen bahwa kalam Allah itu sifat yang eternal, Ibn Kullab berkata:
“Kalam [Allah] bukanlah huruf atau bunyi, dan tidak dapat dibagi dan dipecah-pecah atau diubah. Ia merupakan satu makna (yang esensial) dalam Tuhan. Sementara tulisan (rasm) [Alquran] merupakan huruf-huruf yang beragam dan ia juga bacaan Alquran. Adalah suatu keasalahan jika dikatakan bahwa kalam Allah adalah ini dan itu atau sebagian darinya. Sesungguhnya ungkapan-ungkapan (‘ibarat) tentang kalam Allah berbeda-beda dan beragam…. Kalam Allah disebut berbahasa Arab semata-mata karena tulisan [Alquran] yang merupakan ungkapan dan bacaannya itu berbahasa Arab.”
Baca juga: Perdebatan Orientalis tentang Historisitas Alquran
Karya Ibn Kullab tidak sampai kepada kita sekarang. Tapi, dari berbagai kutipan yang dicatat oleh Asy’ari tampak jelas bagaimana ia membedakan antara kalam Allah yang bersifat azali dan Alquran yang berbentuk tulisan dan bunyi. Jika yang pertama bersifat eternal, maka yang disebut terakhir tidak. Alquran berbahasa Arab yang terdiri dari huruf, kata, frasa, dan bunyi merupakan ungkapan dari kalam Allah dalam bahasa manusiawi, dan bukan kalam Allah itu sendiri. Dengan kata lain, lafaz-lafaz Alquran dan bunyinya yang kita baca dan dengar bukanlah kalam Allah, melainkan ekspresi manusiawi atas kalam Allah.
Dengan argumen ini, Ibn Kullab memahami kisah Nabi Musa dalam Q.S. Attaubah [9]:6 “supaya ia mendengar (yasma‘) kalam Allah” sebagai “supaya ia memahami (yafham) kalam Allah.” Penafsiran Ibn Kullab ini didasarkan pada asumsi bahwa kalam Allah itu tidak bisa terdengar atau didengar oleh telinga manusia. Penafsiran “mendengar” sebagai “memahami” ini kemudian menjadi trademark dari mazhab teologi Asy’ariyah.
Lalu, bagaimana proses pewahyuan Alquran kepada Nabi Muhammad terjadi? Sulit melacak jawaban Ibn Kullab. Dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyah mengutip pandangan Ibn Kullab yang memberikan semacam indikasi. Menurut Ibn Taimiyyah, Ibn Kullab menafsirkan kata “inzal” (menurunkan wahyu) secara metaforis. Yakni, “menjadikannya [wahyu yang diturunkan] diketahui” (al-i‘lam bihi) dan “menjadikannya dipahami” (ifhamuhu). Seperti diduga, Ibn Taimiyah menyebut pandangan Ibn Kullab untuk ditolaknya.
Ibn Taimiyah mengakui bahwa orang pertama yang menggagas pemisahan antara kalam Allah dan lafaz-lafaz Alquran adalah Ibn Kullab, yang kemudian diikuti oleh sejumlah mutakallimum, termasuk Abu al-Hasan al-Asy’ari. Berikut saya kutipkan reaksi Ibn Taimiyah:
“Orang pertama yang menggagas ini adalah Ibn Kullab. Namun demikian, dia dan para pengikutnya seperti Asy’ari dan lainnya berkata bahwa Alquran tersimpan dalam hati, terbaca dengan lisan, dan tertulis dalam mushaf…. Kemudian para pengikut mereka mengikuti satu mazhab bahwa Alquran merupakan makna esensial dalam Tuhan dan bahwa huruf-hurufnya bukan termasuk kalam Allah, melainkan Dia ciptakan di udara, atau diciptakan oleh Jibril atau Muhammad.”
Dalam banyak kesempatan, Ibn Taimiyah menyandingkan pandangan Ibn Kullab dan Asy’ari, yang memperlihatkan kemiripan antara keduanya. Bahkan pernyataan yang disangkal Ibn Taimiyah di atas dapat ditemukan dalam karya asli Asy’ari, yakni al-Ibanah fi Usul al-Diyanah. Seperti jamak dipahami, perhatian Asy’ari ialah untuk menolak gagasan Mu’tazilah bahwa Alquran itu makhluk. Dia sangat tegas menolak pandangan tersebut, bahkan menolak pandangan mereka yang tawaqquf (tidak mengatakan Alquran makhluk atau bukan makhluk). Bagi Asy’ari, jelas Alquran bukan makhluk.
Namun, apakah lafaz Alquran berasal dari Allah dan karena itu bukan makhluk? Saya harus akui, pandangan Asy’ari cukup rumit karena pendapatnya yang termaktub dalam edisi al-Ibanah yang ada sekarang tampak berbeda dari yang diriwayatkan oleh Ibn Furak (w. 406/1015), generasi kedua teolog Asy’ariyah. Dalam al-Ibanah, Asy’ari menegaskan segala hal yang terkait Alquran bukan makhluk. Bahkan, ia keberatan dengan istilah “lafaz”. Sebab, menurutnya, Alquran tidak bisa dilafazkan, melainkan dibaca atau ditilawah.
Baca juga: Membaca Al-Qur’an sebagai Fenomena Resepsi dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam Mujarrad maqalat al-Syaikh Abi al-Hasan al-Asy’ari, Ibn Furak meriwayatkan pandangan Asy’ari yang membedakan antara kalam Allah dan tulisan/bacaan/bunyinya. Sementara kalam Allah bersifat azali, tulisan/bacaan/bunyinya bersifat temporal.
Pandangan Asy’ari yang dikutip Ibn Furak ini sejalan dengan definisinya tentang kalam sebagai “makna yang terkandung dalam jiwa dan tidak memiliki bunyi atau huruf,” suatu teori yang dikenal dengan “kalam nafsi”. Berikut saya kutipkan pandangan Asy’ari secara lebih detail:
“Kalam Allah terdengar bagi-Nya melalui pendengaran-Nya yang azali, dan terdengar bagi makhluk (manusia) melalui pendengaran temporal (asma’ haditsah). Kalam itu dibaca dan ditilawah dengan bacaan dan tilawah para pembaca. Dan bacaan atau tilawah mereka bersifat temporal, sementara yang terbaca dan tertilawah tidak…. Maka, kalam Allah itu terbaca dan tertilawah ketika terjadi pembacaan dan tilawah. Tidak bisa dikatakan [kalam Allah] masih terbaca, sebab semua bacaan dan tilawah tersifat temporal.”
Ada dua tahapan untuk memahami pandangan Asy’ari di atas. Pertama, distingsi antara kalam Allah yang azali dan bacaan/tilawah/tulisan/bunyi yang bersifat temporal. Kedua, secara ontologis, kalam Allah tidak mengambil tempat di mana bacaan/tilawah berada. Sebagai contoh, kalam Allah tertulis di atas papan tulis, tapi bukan berarti ia secara fisik betul-betul ada di atas papan tulis itu. Jika ini bisa dipahami, maka pandangan Asy’ari dapat dirumuskan sebagai berikut: Kalam Allah merupakan sifat Tuhan yang tak terpisahkan dari-Nya. Sementara ayat-ayat yang terbagi ke dalam sejumlah surat itu dapat diaplikasikan pada Alquran, tapi tidak diaplikasikan pada kalam Allah. Sebab, surah dan ayat-ayat itu bersifat fisik. Ingat, definisi kalam nafsi-nya Asy’ari! Tentu saja, kata Asy’ari, Alquran dapat disebut kalam Allah, sebagaimana Taurat, Zabur, atau Injil juga demikian. Yakni, ketika beragam ungkapan dalam bahasa manusia mengekspresikan kalam Allah, “walaupun penamaan-penamaan tersebut tidak ada secara azali.”
Lagi-lagi, muncul pertanyaan: Bagaimanakah kalam Allah itu diturunkan kepada Nabi? Sebelum saya kutipkan pernyataan untuk menjawab pertanyaan di atas, secara implisit Asy’ari berpendapat bahwa Nabi-lah yang membacakan kalam Allah dengan huruf dan bunyi yang begitu mempesona sehingga tak ada yang mampu menandinginya (kemukjizatan Alquran). Maka bisa dikatakan, kata Asy’ari, “bacaan Nabi yang sedemikian [atas kalam Allah] merupakan mukjizat, sebab dia menginisiasi bacaan yang tak seorangpun mampu menirunya.” Kemudian, Asy’ari mengidentifikasi dua mukjizat Alquran: Bacaannya dan informasi tentang hal-hal ghaib.
Nah, pernyataan Asy’ari yang relevan untuk menjawab pertanyaan di atas sebagai berikut:
“Arti ‘menurunkan Alquran’ (inzal Alquran) adalah mengirimkan utusan (rasul) untuk membawanya turun, dalam arti bahwa ia menghafalnya di suatu tempat di atas (‘uluw) kemudian menyampaikannya di suatu tempat di bawah (sufl). Disebutkan, ia membawa turun Alquran berdasarkan makna dan menyampaikan di bawah apa yang didengarnya di atas.”
Baca juga: Respon-Respon yang Muncul Terhadap Doktrin Universalisme al-Qur’an
Saya kira, kutipan pernyataan Asy’ari ini cukup eksplisit menegaskan bahwa ia membenarkan pandangan Alquran tidak diturunkan dengan lafaz. Pandangan ini diikuti dan dikembangkan lebih lanjut oleh teolog Asy’ariyah dari generasi berikutnya, seperti Baqillani, Juwaini, Shiqilli dan lainnya. Mereka mengafirmasi “kalam nafsi”-nya Asy’ari, dan membedakannya dengan bacaan verbal yang terdiri dari huruf dan bunyi. Yang menarik dicatat adalah generasi Asy’ariyah pasca Asy’ari lebih menekankan peran Jibril sebagai “pencipta” lafaz-lafaz Alquran, bukan Nabi sendiri.
Distingsi antara kalam Allah di satu sisi dan ayat serta surah Alquran di sisi lain sebenarnya diterima luas di kalangan mutakallimun non-Hanbali. Abu Mansur al-Maturidi, pendiri teologi Maturidiyah, dalam Kitab Tauhid-nya, juga mengemukakan hal serupa. Ada kesamaan proposisi antara Maturidi dan Asy’ari, yakni bahwa kalam Allah tidak bisa terdengar/terbaca. Artinya, secara ontologis, kalam Allah tidak dapat diidentikkan dengan Alquran yang berbentuk tulisan dan bunyi.
Murid-murid Maturidi yang berpengaruh menyebarkan teologi Maturidiyah, seperti Abu Bakar ‘Iyad dan Abu Salamah al-Samarqandi, menyetujui pandangan itu. Yang disebut terakhir menulis karya penting, berjudul Jumal Ushul al-Din, di mana dia mengelaborasi lebih jauh perbedaan antara kalam Allah dan Alquran. Karena sudah ada sarjana lain yang mendiskusikan pandangan teolog Maturidiyah, termasuk Samarqandi, saya merasa tidak perlu mengulang di sini. Saya sarakan pembaca untuk membaca tulisan Philip Dorrol, berjudul The Doctrine of the Nature of the Qur’an in the Maturidi Tradition.
Perlu dicatat, Samarqandi yang disebutkan di atas berbeda dengan Samarqandi penulis Kitab Sawad al-A’dham, yang hidup pada paruh pertama abad ke-4H/10M. Samarqandi yang ini memang menyamakan antara kalam Allah dan Alquran yang ada di tangan kita. Dia bahkan menuntut kaum beriman untuk bersaksi bahwa “Alquran merupakan kalam Allah yang tidak diciptakan (ghayr makhluq), sebab Alquran memang realitasnya kalam Allah, bukan sekadar metaforis (majazi).” Suatu pandangan yang sebenarnya cukup unik di kalangan para pengikut Maturidiyah awal. Di kalangan ulama Maturidiyah generasi berikutnya, seperti Bazdawi dan Nasafi, distingsi antara kalam Allah dan Alquran yang terdiri dari ayat dan surah ditegaskan secara eksplisit.
Terkait status lafaz-lafaz Arab Alquran, dalam karyanya berjudul Ushul al-Din, Bazdawi menegaskan bahwa “surah-surah [Alquran] yang memiliki awal dan akhir serta dibagi menjadi segmen-segmen sebenarnya-benarnya (‘ala al-haqiqah) bukanlah kalam Allah, melainkan komposisi yang disusun oleh Allah (mandhum nadhdhamahu) dan menunjuk pada kalam Allah, seperti halnya komposisi [penyair] Imra’ al-Qais yang menunjuk pada kalam-nya, tetapi bukan kalam itu sendiri.” Walaupun demikian, berbeda dengan Maturidi sendiri, komposisi Alquran disebutnya sebagai perbuatan Tuhan, dan karenanya bersifat azali.
Nasafi merupakan teolog Maturidiyah prolifik dengan tingkat loyalitas tinggi pada ajaran Maturidi sendiri. Di antara karya pentingnya ialah Bahr al-Kalam fi ‘Ilm al-Tauhid, al-Tamhid fī Qawa‘id al-Tauhid, dan Tabshirat al-Adillah fi Ushul al-Din. Dalam kitab yang disebut terakhir ini, dia mengelaborasi pandangannya tentang perbedaan kalam Allah dan Alquran. Setelah mendiskusikan ke-azali-an kalam Allah, ia menulis:
“Sementara ungkapan-ungkapan (‘ibarat) dalam bahasa Arab, Ibrani atau Suryani merupakan huruf-huruf dan bunyi dan itu bersifat temporal (muhdats) dan diciptakan (makhluq) dalam lokusnya. Ungkapan-ungkapan tersebut memang menunjuk pada kalam yang merupakan sifat-sifat Tuhan yang azali …. Tetapi, ‘ibarat itu diciptakan. Kalam Allah adalah sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagi atau tidak dipartisi, dan ia juga bukan berbahasa Arab atau Ibrani atau Suryani.”
Kutipan di atas begitu jelas sehingga tak perlu dikomentari panjang lebar: Kalam Allah tidak berbahasa Arab, Ibrani, atau Suryani! Saya berharap sudah berhasil menunjukkan betapa luasnya penerimaan gagasan bahwa lafaz-lafaz Alquran tidak berasal dari Allah. Saya sebenarnya masih ingin mendiskusikan pandangan Abu Hanifah dan para pengikutnya, tapi bagian pertama tulisan ini sudah terlalu panjang.