BerandaUlumul QuranRespon-Respon yang Muncul Terhadap Doktrin Universalisme al-Qur’an

Respon-Respon yang Muncul Terhadap Doktrin Universalisme al-Qur’an

Universalisme al-Qur’an merupakan sebuah doktrin yang lahir sebagai respon atas pandangan yang  mengklaim bahwa al-Qur’an telah usang dan tidak relevan dengan dinamika sejarah. Doktrin universalisme al-Qur’an atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan, pada intinya menekankan dan meyakinkan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan (kalamullah) akan senantiasa relevan di semua masa dan tempat.

Pada realitanya, doktrin ini diterima dengan baik di kalangan umat Islam namun disertai beberapa respon dan catatan. Setidaknya ada tiga respon utama  terhadap persoalan ini yang pada akhirnya melahirkan tiga golongan pemikiran yang berbeda.

Pertama, golongan Konservatif atau juga disebut sebagai aliran Salafi. Golongan ini merumuskan doktrin universalisme (trans-historisitas) dengan justru mendehistorisasi al-Qur’an atau sederhananya, memandang ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dengan cara pandangan yang ahistoris.

Cara pandang kelompok ini didasari dengan keyakinan bahwa historisasi terhadap konteks al-Qur’an juga berarti historisasi kandungannya. Hal itu dianggapnya justru sebagai upaya desakralisasi al-Qur’an dan sisi universalitasnya.

Baca Juga: Ragam Penyebutan Manusia dalam Al-Quran, dari Ins sampai Anam

Mudahnya, universalisme bagi mereka ialah berlakunya pemahaman al-Qur’an sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam awal sepanjang masa sehingga tidak lagi membutuhkan apa yang biasa diistilahkan oleh para cendekiawan modern dengan reinterpretasi ataupun kontekstualisasi. Dinamisasi ruang dan waktu hanya dijadikan alat bagi mereka untuk membentengi keyakinannya bahwa tafsir klasik atau pemahaman umat Islam awal adalah sakral dan relevan di setiap masa dan tempat.

Sebab bagi mereka dinamisasi ruang dan waktu yang semakin menjauh dari masa Nabi akan semakin mengurangi orisinalitas ajaran Islam. Maka pemahaman maupun penafsiran umat Islam awal adalah pemahaman yang paling mendekati pemahaman orisinil dari ajaran Nabi Muhammad, sang pembawa dan penyampai wahyu, sehingga sangat pantas (atau bahkan wajib bagi mereka) untuk dipertahankan.

Sikap semacam itu dapat dinilai sebagai sikap yang menduakan sakralitas al-Qur’an dengan pemahaman umat Islam awal. Sebab bagaimanapun sakralitas al-Qur’an dibangun atas dasar definisi al-Qur’an itu sendiri, kalamullah, sehingga pemahaman terhadapnya ialah upaya manusiawi yang tidak pantas disakralisasi atau bahkan dijadikan legitimasi sebagai kebenaran mutlak.

Kedua, golongan Liberal. Golongan ini merupakan lawan yang berseberangan secara pemikiran dengan golongan Konservatisme. Mereka membangun doktrin universalisme al-Qur’an dengan juga melakukan dehistorisasi al-Qur’an. Perbedaannya dengan aliran sebelumnya terletak pada usaha mereka yang mengenyampingkan sisi historisitas al-Qur’an yang lahir sepanjang al-Qur’an diwahyukan.

Universalisme bagi mereka ialah mehamami dan menafsirakan al-Qur’an sesuai dengan konteks yang mereka hadapi. Maksudnya pada zaman mereka hidup tanpa perlu menoleh kembali pada sisi historisitas yang telah terbangun secara beriringan selama al-Qur’an diwahyukan. Implikasinya, akan terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menurut mereka sudah “kadarluarsa” baik secara teks maupun kandungannya. Sebab sudah tidak relevan dengan konteks ruang dan waktu yang mereka hadapi.

Sikap seperti ini bisa dianggap sebagai salah satu sikap yang berupaya mendesakralisasi al-Qur’an. Sebab teks al-Qur’an bersifat tsubut (absolut) sehingga menghilangkannya atas dasar nalar manusiawi ialah sebuah kesalahan fatal. Bagaimana mungkin sesuatu sifatnya hadits (temporer) mampu menghapus sesuatu yang sifatnya qadim (absolut)?

Impikasi lainnya al-Qur’an seakan dimaknai sebagai wahyu yang hadir di tengah kehidupan mereka, tanpa membawa embel-embel historis atau kesejarahan. Dengan begitu al-Qur’an akan bebas untuk dimaknai sesuai keinginan mereka, sebab pertimbangan mereka hanyalah konteks ruang dan waktu yang sedang mereka hadapi. Maka istilah re-interpretasi maupun kontekstualisasi juga tidak terdapat dalam kamus aliran ini.

Ketiga, golongan Moderat atau disebut juga sebagai aliran Kontekstual. Sesuai dengan namanya, golongan ini merupakan golongan yang berada di antara kutub pemikiran yang telah dibahas sebelumnya. Sederhananya golongan ini menjadi model pemikiran yang mengompromikan dan mengadopsi kedua kutub pemikiran yang saling berseberangan.

Maka bagi golongan Moderat, doktrin universalisme al-Qur’an ialah keyakinan bahwa al-Qur’an dan konteks kesejarahannya selalu memiliki ruh atau spirit ideal-universal. Ruh atau spirit ideal-universal al-Qur’an ini, oleh Fazlur Rahman diistilahkan dengan ideal moral dan oleh al-Syatibi diistilahkan dengan illat, yang kemudian menjadi poin utama dari universalisme al-Qur’an sekaligus modal dalam melakukan apa yang disebut sebagai aktivitas re-interpretasi maupun kontekstualisasi.

Baca Juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

Prinsip universalisme yang dipegang oleh golongan terakhir ini memberikan implikasi yang berbeda dari dua aliran sebelumnya. Pertama, golongan Moderat selalu menganggap bahwa sakralitas mutlak milik al-Qur’an dan penafsiran ataupun pemahaman terhadapnya merupakan sesuatu yang sifatnya hadits dan manusiawi sehingga tidak layak disakralkan. Kedua, golongan Moderat tidak mendiskreditkan pemahaman ataupun penafsiran umat Islam awal, sebab bagi mereka umat Islam awal memberikan kontribusi besar bagi penelusuran terhadap ideal moral/ illat.

Ketiga, dalam upaya menjadikan al-Qur’an sebagai inspirasi dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi di masanya, golongan ini tidak menafsirkan al-Qur’an secara “bebas”. Sebab mereka mendasarkan upayanya dengan melakukan re-interpretasi maupun kontekstualisasi yang sederhananya merupakan aktivitas memaknai ulang ideal moral/ illat yang terkandung dalam al-Qur’an sehingga cita-cita ideal yang disampaikan oleh al-Qur’an dapat terus diusahakan dan diwujudkan dalam setiap ruang dan waktu yang dilewatinya.

Dalam hemat penulis, memahami sistem pemetaan pemikiran tafsir adalah suatu hal yang penting, mengingat pergulatan idealisme penafsiran yang semakin kompleks dewasa ini. Pemetaan seperti ini juga dapat membantu para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir untuk dapat memilah dan mengkategorisasi penafsiran berdasarkan idealisme yang dianut oleh mufassir yang dikaji, khususnya dalam ranah kajian akademik. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

0
Ingrid Mattson adalah seorang aktivis, professor dalam kajian Islam dan seorang muallaf. Ia aktif di berbagai kegiatan sosial kegamaan seperti pernah menjadi Presidan Masyrakat...