Perdebatan Hukum Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya adalah sunah. Namun jarang yang mengetahui bahwa ada juga ulama yang meyakini bahwa puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya malah makruh. Hal ini dilatar belakangi adanya kekhawatiran munculnya anggapan di tengah masyarakat awam bahwa puasa enam hari di bulan Syawal adalah bagian dari puasa wajib di bulan Ramadan. Berikut keterangan lengkapnya:

Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

Allah berfirman:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. (QS. Al-Baqarah [2] :187).

Baca Juga: Hukum dan Tata Cara Berwudu dengan Salju

Imam al-Qurthubi tatkala menguraikan ayat di atas menerangkan, puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya sunah. Hal ini berdasar hadis sahih yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah dari sahabat Abu Ayub al-Anshari:

مَنْ ‌صَامَ ‌رَمَضَانَ ‌ثُمَ ‌أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka puasanya seperti puasa setahun

Hanya saja ulama tidak sepakat tentang hukum sunah tersebut. Imam Malik misalnya, memandang puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya makruh. Sebab dikhawatirkan orang awam akan menganggapnya bagian dari puasa Ramadan. (Tafsir al-Qurthubi/2/331)

al-Munawi di dalam Faidul Qadir saat mengulas hadis tersebut berkomentar, bulan Syawal memperoleh keistimewaan di tempati puasa sunah sebab pada bulan tersebut umumnya orang gemar mengkonsumsi makanan, setelah sebulan penuh diwajibkan berpuasa. Sehingga melaksanakan puasa di bulan tersebut dinilai berat (Faidul Qadir/6/161).

Imam al-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim berkomentar, hadis tersebut adalah dasar yang cukup jelas mengenai hukum sunah berpuasa enam hari di bulan Syawal. Hal ini disebagaimana yang diyakini oleh Mazhab Syafi’i dan Hanbali.  Berbeda dengan Imam Malik dan Abu Hanifah yang menyatakan makruh.

al-Nawawi juga menyampaikan, dianjurkan juga agar melaksanakan puasa enam hari tersebut secara berurutan dan dimulai setelah hari pertama lebaran. Namun apabila tidak bisa berurutan atau memulainya setelah hari pertama lebaran, maka ia tetap memperoleh kesunahan dengan melaksanakan secara tidak berurutan atau meletakkannya di akhir bulan Syawal (Syarah Sahih Muslim/4/186).

Imam Malik diriwayatkan pernah menyatakan, beliau tidak pernah mengetahui bahwa ada ulama yang pernah melaksanakan puasa enam hari di bulan syawal. Dan tidak ada informasi dari ulama salaf yang sampai kepada beliau mengenai puasa enam hari di bulan Syawal. Imam Malik juga menyatakan puasa tersebut tidak disukai oleh para ulama’. Mereka juga khawatir orang-orang awam akan menyamakan puasa tersebut dengan puasa Ramadan (al-Muwatha’/3/447).

Imam al-Nawawi di dalam al-Majmu’ menyatakan, pernyataan Imam Malik tersebut adalah sesuatu yang tidak berdasar. Sebab kesunahan puasa enam hari di bulan Syawal telah dijelaskan oleh hadis sahih tanpa ada keterangan lain yang menyatakan berbeda. Selain itu, munculnya kekhawatiran akan dianggap bagian dari puasa Ramadan juga tidak patut untuk dipertimbangkan (al-Majmu’/6/379).

Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan, ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum berpuasa enam hari di bulan Syawal. Mazhab Syafi’i dan Hanbali menilainya sunah. Sedang mazhab Maliki dan Hanafi menilainya makruh.

Baca Juga: Hukum Menarifkan dan Menerima Upah Mengajar

Fakta ini dapat menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak memandang orang yang tidak melaksanakan puasa tersebut, dengan pandangan negatif. Sebab ulama’ sendiri memang berbeda pendapat mengenai kesunahannya. Selain itu, dari latar belakang berbedaan pendapat di atas kita dapat memperoleh informasi, tidak selamanya keberadaan suatu hadis sahih akan memunculkan suatu hukum yang disepakati. Sebab bisa saja hadis tersebut, dengan berbagai macam kemungkinan, tidak sampai atau tidak dipakai oleh ulama’ lain. Wallahu a’lam.