Zakat dalam perjalanannya mempunyai peran penting, terlebih pada aspek pengentasan kemiskinan. Tidak hanya itu, zakat juga sebagai alternatif pemberdayaan ekonomi umat melalui program-program pendistribusian yang bersifat produktif. Dengan keberadaan zakat, harapannya selain hal di atas juga sebagai penghapus fenomena kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Zakat merupakan instrumen penting dalam ibadah dan sosial. Perintah zakat sering disandingkan dengan perintah mendirikan salat (Q.S. Albaqarah [2]: 43). Ibadah zakat dalam perjalannya terus mengalami perkembangan; dan salah satu yang cukup populer dewasa ini ialah keberadaan zakat profesi.
Mengenai bahasan zakat profesi, mari kita mulai dengan ungkapan dari Prof. Dr. Quraish Shihab, MA. dalam laman Youtube “Hidup bersama Al-Qur’an. Ep. 35: Kontroversi Zakat Profesi”. Bahwasannya, memang di zaman Nabi tidak ada semacam zakat profesi, dikarenakan profesi-profesi pekerjaan di era saat ini tidak ada di zaman tersebut.
Kedua, letak keadilan dipertanyakan bagi seorang petani yang hanya menghasilkan panen katakanlah 10 Juta Rupiah, tetapi dituntut untuk membayar zakat sebanyak 5% atapun 10%. Sedangkan seorang Dokter boleh jadi bisa berpenghasilan dalam satu hari 1 Juta. Belum lagi dengan periode pendapatan yang diperoleh antarkedua belah pihak berbeda. Boleh jadi pendapatan salah satu pihak rutin tiap bulan dan pihak lain tak menentu.
Selanjutnya, setiap usaha atau profesi manusia dalam mencari nafkah dan materi tidak lepas dari yang namanya “kotor”. Pada zaman Nabi upaya membersihkan yang “kotor” tersebut ialah dengan berzakat. Oleh karena itu, para dokter, notaris, komisaris dan profesi lainnya tidak wajar jikalau tidak” dibersihkan” terhadap apa yang mereka peroleh.
Zakat profesi memang belum ditemukan fenomenya di zaman Nabi. Dijelaskan oleh Marimin and Fitria 2017 dalam penelitian mereka bahwasannya keluarnya gagasan ini ialah melaui Syeih Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya, Fiqh Al-Zakah. Meskipun keberadaannya masih ada yang mempermasalahkan dan belum sepenuhnya masyarakat mengetahui, tetapi sejatinya menyisihkan sebagian harta yang dimiliki tetaplah menjadi sebuah perintah agama Islam.
Baca juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat
Nasihat Q.S. Albaqarah: 267 dan Relevansinya dengan Zakat Profesi
Redaksi zakat mempunyai makna membersihkan/mensucikan (at-thahuru). Dapat dikatakan mereka yang menunaikan zakat dengan benar dan karena Allah, maka Allah akan membersihkan harta dan jiwanya.
Makna zakat selanjutnya ialah keberkahan (al-barkatu). Hal ini memberi arti bahwasannya mereka yang berzakat selalu diberkati dan dilimpahkan atas rezeki yang dimiliki (Riwayati and Hidayah 2018).
Zakat dalam konsepnya mempunyai dua segmen tujuan, yakni vertikal dan horizontal. Selain ibadah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt., zakat juga mempunya dampak sosial ekonomi di masyarakat.
Pentingnya keberadaan zakat tertuang dalam Alquran surah Albaqarah ayat 267. Di sana Allah Swt. berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.
Baca juga: Rahasia Penggandengan Lafaz Salat dan Zakat dalam Alquran
Kata “ما” merupakan redaksi yang bersifat umum, mempunyai makna apa saja, atas sebagian usaha yang baik. Dari hal tersebut terlihat bahwa yang dihasilkan dari hal yang baik semisal ujrah atau gaji akan dikenai wajib zakat. Sayyid Quthub dalam tafsirnya, Fi Zilal al-Qur’an, menjelaskan bahwasanya hal tersebut termasuk setiap ikhtiar manusia dalam mencari yang halal dan baik, entah itu terdapat di era Nabi maupun di zaman sesudahnya.
Landasan hukumnya sendiri di Indonesia bisa dilihat di Fatwa Majelis Ulama Indonesia di No. 3 Tahun 203 tentang keberadaan zakat penghasilan. Yang mempertimbangkan, bahwasannya “Kedudukan hukum zakat penghasilan, baik penghasilan rutin seperti gaji pegawai/karyawan atau penghasilan pejabat negara, maupun penghasilan tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, penceramah, dan sejenisnya, serta penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya,” (MUI, 2023) ditetapkan hukumnya dengan dikiaskan dengan kaidah yang berlaku pada zakat emas, yakni wajib zakat ketentuan nisab (dalam satu tahun), senilai emas 85 gram.
Aktualisasi pengeluaran zakatnya pun telah diatur; Pertama, boleh jika sudah cukup nisab. Kedua, jikalau belum sampai nisab, dapat diakumulasikan secara tahunan (1 tahun), lalu menjadi wajib zakat jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab. Wallahu a’lam
Baca juga: Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Alquran