Jika menelusuri idah dalam Alquran, maka akan ditemukan banyak ayat yang berbicara tentangnya yang tersebar di berbagai surah Alquran. Beberapa ayat tersebut masing-masing menjelaskan perbedaan lama masa idah untuk macam-macam kondisi istri yang berbeda, mulai dari idah istri yang ditinggal wafat suaminya, istri yang ditinggal (wafat atau cerai hidup) dalam kondisi hamil, istri yang dicerai dalam kondisi sedang produktif, belum haid atau menopause dan idah bagi istri yang belum ‘berhubungan’ dengan suami.
Selain tentang macam-macam idah, ada satu ayat tentang idah yang menurut Al-Qurtubi merupakan ayat pertama tentang pemberlakuan kewajiban idah. Mufasir kelahiran Cordoba ini menyampaikannya ketika menafsirkan surah At-Talaq ayat 1. Di situ dia menyampaikan bahwa ayat tersebut mengandung perintah bahwa setiap perempuan yang ditalak harus menjalankan idah (masa tunggu), karena sebelum ayat ini turun, pada saat itu belum ada tradisi idah.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا (الطلاق: 1)
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.
Selain pemberlakuan idah secara resmi, ayat pertama tentang idah ini juga menyinggung tentang ketentuan-ketentuan umum pelaksanaan idah. Pada ayat di atas disampaikan bahwa ketika istri dalam masa idah, dia harus dijaga dengan baik, jangan mengusirnya dan jangan pula mengizinkannya untuk keluar atau pergi di rumah. Ini dimaksudkan agar istri tersebut masih terlindungi dengan baik, karena ‘rumah’ pada ayat ini adalah tempat untuk berlindung.
Baca Juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?
Tradisi ihdad ada lebih dulu daripada ayat pertama tentang idah
Selain kewajiban idah, tradisi lain yang melekat padanya adalah ihdad. Nah, jika sudah membincangkan dua hal ini, maka mengetahui ayat pertama tentang idah ini akan menemukan posisinya. Di sini juga akan diketahui argumentasi dari penafsiran Al-Qurtubi tentang belum adanya idah hingga ayat pertama surah At-Talaq ini turun.
Memang benar bahwa surah At-Talaq ayat pertama adalah ayat pertama tentang kewajiban idah yang sebelumnya belum ada syariat tentang itu, dan konteks awal pada saat itu adalah idah untuk istri yang dicerai hidup oleh suami, bukan idah wafat. Adapun ayat tentang idah wafat, turun untuk menjelaskan kekhususan bagi istri yang ditinggal wafat suami, karena dua kondisi istri ini tidak sama, idahnya juga berbeda.
Meski demikian, tradisi ihdad (berkabung, tidak berhias, tidak memakai wewangian) untuk istri yang ditinggal wafat suami itu sudah berlaku di masyarakat. Ini dapat diketahui dari beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, Juz 2, hal. 290, No. 2299).
Zainab berkata; Saya mendengar Ibuku yaitu Ummu Salamah berkata; Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. sambil berkata “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku telah ditinggal wafat oleh suaminya, hingga matanya menjadi bengkak, bolehkan saya mencelakinya?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak boleh.” Beliau mengucapkan sampai dua kali atau tiga kali dan disambung dengan penjelasan “Hal itu hanya di perbolehkan setelah empat bulan sepuluh hari, sungguh di masa Jahiliyah salah seorang dari kalian ada yang melemparkan kotoran di penghujung tahun.”
Zainab kemudian ditanya, “Kenapa dia melemparkan kotoran di penghujung tahun?” Zainab menjawab, “Dulu seorang perempuan apabila suaminya meninggal, dia tidak keluar rumah dan mengenakan pakaian yang jelek serta tidak memakai wewangian atau perhiasan apa pun sampai setahun lamanya. Setelah itu, perempuan tersebut diberi seekor hewan; keledai, kambing atau burung, lalu dia menjatuhkan sesuatu pada hewan tersebut sampai hewan tersebut kebanyakan mati, setelah itu perempuan tersebut diberi kotoran hewan, kemudian dia melemparkannya. Setelah itu dia diperkenankan memakai wewangian yang dia suka atau selainnya.”
Pada hadis ini diketahui bentuk ihdad yang dijalani oleh perempuan yang ditinggal mati suaminya, antara lain tidak boleh berdandan, hingga memakai celak pun tidak boleh. Selain itu, di hadis ini juga terlihat bagaimana perlakuan terhadap perempuan yang ditinggal mati suaminya pada masa sebelum Islam.
Baca Juga: Idah Pria Perspektif Hukum Positif di Indonesia
Ketentuan umum pelaksanaan idah
Pada ayat pertama tentang idah (Q.S. At-Talaq [65]: 1) sudah disinggung tentang teknis pelaksanaan idah meski tidak panjang. Ini terlihat dalam frasa yang bernada larangan “….Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas….”. Mengikuti permulaan ayat, akan diketahui bahwa khitab ayat ini tertuju pada suami yang menceraikan istri. Dia (suami) tetap wajib melindungi istri dengan tetap memberi tempat tinggal bagi istri, tidak mengusirnya, dan tetap harus melindunginya sampai selesai masa idah.
Adapun untuk istri yang sedang menjalankan idah wafat, maka bisa beralih ke ayat lain yang menyinggung hal ini, yaitu surah An-Nisa ayat 19. Ayat ini menurut para mufasir seperti Ar-Razi, At-Thabari, Ibn Athiyah merespon kezaliman yang dilakukan oleh keluarga suami yang wafat kepada istri yang ditinggalkan. Ayat ini menegur sekaligus mengubah tradisi jahiliyah dalam memperlakukan istri yang ditinggal wafat suami.
Para mufasir tersebut me-recall kebiasaan zaman jahiliyah antara lain, jika seorang suami meninggal, maka para wali dari suami yang lebih berhak atas istri yang ditinggalkan daripada keluarganya sendiri. Para wali tersebut bisa menikahinya atau menikahkannya dengan laki-laki lain, atau tidak menikahinya dan juga tidak menikahkannya dengan laki-laki lain.
Melalui ayat ini dan ketentuan idah yang lain, Alquran mengubah kezaliman yang dialami oleh kaum istri dengan aturan yang lebih memaslahatkan mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semangat aturan tentang idah ini sejatinya adalah tuntutan agama untuk kemaslahatan perempuan, bukan memanfaatkan perempuan untuk kemaslahatan laki-laki. Wallah a’lam