BerandaTafsir TematikTafsir AhkamIdah Pria Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Idah Pria Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Teman-teman pegiat kajian tafsir mungkin telah mendengar tentang haid (menstruasi) yang juga dapat terjadi pada kaum pria. Namun, sudahkah mendengar bahwa mereka juga diharuskan menjalani idah?

Bagi yang baru mendengar, penjelasan haid bagi kaum pria dapat dirujuk pada tafsir Mbah Sholeh Darat, Faidl al-Rahman fi Tarjamat Kalam al-Malik al-Dayyan di pembahasan ayat 222 dari Surah Albaqarah [2]. Penafsiran ini juga telah dijadikan bahan kajian oleh beberapa akademisi Alquran dan tafsir. Di antaranya adalah Lailaturrokhmah, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Secara garis besar, penafsiran mengenai haid hingga mengarah pada pemberlakuannya bagi kaum pria dilakukan Mbah Sholeh dengan menggunakan perspektif isyari. Haid pada pria dipahami sebagai haid batin yang mencegah seseorang dari mendirikan salat dan puasa yang hakiki, bermunajat kepada Allah (munajah al-mawla), dan menahan diri (imsak) dari kehendak nafsu.

Hal ini cukup berbeda dengan haid yang selama ini dipahami sebagai siklus keluarnya darah dari rahim kaum wanita; yang dalam bahasa Mbah Sholeh Darat disebut sebagai haid lahir semata. Karena haid semacam ini hanya memberi dampak pencegahan terhadap ibadah salat dan puasa secara fikih saja.

Serupa dengan masalah haid di atas, idah pada pria juga terjadi atas pertimbangan dan perspektif yang lain. Hal ini dikarenakan fikih yang dipahami selama ini hanya memberlakukan idah pada kaum wanita saja. Namun, kompleksitas perkembangan zaman menuntut adanya perubahan dan penambahan hukum yang sesuai.

idah sendiri menurut Muhammad bin Qasim al-Ghaziy merupakan masa tunggu (tarabbush) bagi kaum wanita yang diberlakukan guna mengetahui kosongnya rahim dari adanya kandungan. idah ini dapat ditempuh melalui kelahiran, perhitungan kesucian, ataupun hari dalam bulan.

Sementara idah bagi pria, sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini, adalah idah yang diberlakukan bagi suami pasca terjadinya cerai (talak) dari istri. Di sini, idah yang terjadi merupakan perimbangan atas idah yang berlaku bagi istri, merujuk pada Surah Albaqarah [2] ayat 228,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’”

Ayat ini masuk dalam rangkaian ayat-ayat yang membicarakan hukum perpisahan yang terjadi antara suami dan istri berikut implikasi masalah yang terjadi setelahnya, termasuk idah. Dalam rangkaian ayat tersebut juga disinggung hukum tentang ila’, talak, dan rujuk.

Sebagaimana pernyataan tersuratnya, ayat 228 di atas hanya mengkhususkan pemberlakuan idah bagi istri setelah ditalak, yakni diharuskan menunggu selama tiga kali quru’. Tafsir mengenai quru’ sendiri mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab. Syafi’iyyah, sebagaimana dianut mayoritas ulama Indonesia, lebih memilih menafsirkannya sebagai thuhr (suci) ketimbang haidl (menstruasi).

Baca juga: Adakah Masa Idah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Pemberlakuan idah bagi kaum pria kemudian diberlakukan seiring dengan adanya hukum positif yang dianut di Indonesia. Setidaknya ada dua surat edaran yang menyebutkan hal tersebut. Pertama, Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor: DIV/Ed/17/1979 tanggal 10 Februari 1979 tentang Masalah Poligami Dalam Idah. Kedua, Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021 tentang Pernikahan Dalam Masa Idah Istri.

Implementasi isi surat tersebut sebagaimana dikutip dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah: Bacaan Mandiri Calon Pengantin terbitan Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama tahun 2017 adalah bahwa seorang duda cerai diharuskan menunggu selama 90 hari setelah perceraiannya manakala ingin mengajukan pernikahan baru (bukan rujuk).

Alasan pemberlakuan idah ini yang paling utama adalah memberikan perlindungan atas hak istri dari kemungkinan adanya poligami terselubung. Hal ini dikarenakan seorang duda dalam masa idah istri masih memiliki peluang untuk melakukan rujuk atas istrinya terdahulu. Selain itu, alasan diberlakukannya idah adalah kemungkinan terjadinya dokumen pernikahan ganda ketika seorang duda mengajukan pernikahan baru.

Jika ditilik dari hukum fikih, memang pemberlakuan idah ini cukup “kontroversial”. Hal ini dikarenakan fikih menetapkan hak poligami bagi pria hingga istri keempat. Namun demikian, hukum ini tidak sepenuhnya diadopsi. Poligami memang diperbolehkan, tetapi atas persetujuan (para) istri. Karena jika menilik azas perkawinan di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, “Perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri”.

Kontras dengan hal tersebut, perkembangan tafsir progresif justru menyajikan hasil berkebalikan. Ayat-ayat mengenai poligami justru dipahami sebagai anjuran untuk monogami dengan berbagai pertimbangan yang ada, seperti pengurangan jumlah istri dari tak terbatas menjadi hanya empat yang dipahami sebagai spirit monogami.

Terlepas dari kontroversi penafsiran dan penetapan hukum poligami, pemberlakuan idah bagi kaum pria sebagai wujud adaptasi terhadap perkembangan hukum merupakan hal yang cukup menarik. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad hukum akan selalu berjalan berdampingan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Tafsir Ahkam; Mengenal Nusyuz Suami

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...