Konsep Awal Tafsir ‘Isyari’ Kiai Sholeh Darat

Kiai Sholeh Darat
Kiai Sholeh Darat

Harus diakui bahwa usaha setiap mufasir berbeda-beda dari masa ke masa. Metode yang digunakan tiap mufasir juga tidak sama. Meskipun demikian, perbedaan ini justru merupakan bukti akan ketidakterbatasan makna dari kalam Allah. “Seandainya semua pohon di bumi menjadi pena, dan jika lautan ditambah dengan tujuh lautan lagi menjadi tintanya, maka kalam Allah tidak akan habis untuk ditulis (Q.S. Luqman [31]: 27).” Demikian ayat Alquran menggambarkan keluasan makna Alquran.

Oleh karena demikian, Kiai Sholeh Darat dalam tafsirnya, Faiḍurraḥmān fī Tarjamati Tafsīr Kalāmil Malikid Dayyān mengatakan bahwa pemahaman lahir yang fokus pada makna literal saja tidak mungkin menjadi batasan bagi hakikat makna Alquran yang tidak terbatas. Meskipun memang pemaknaan awal berangkat dari literal ayat. Berikut beberapa metode penafsiran Kiai Sholeh Darat

Baca Juga: Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang (c. 1820-1903)

Ketidakterbatasan hakikat makna Alquran

Ketidakterbatasan makna Alquran adalah alasan paling kuat Kiai Sholeh memilih pendekatan tafsir isyari dalam kitabnya, Faiḍurraḥmān fī Tarjamati Tafsīr Kalāmil Malikid Dayyān. Tafsir Isyari, yang secara literal berarti penjelasan atas isyarat-isyarat Alquran bagi Kiai Sholeh adalah usaha untuk mengungkapkan (kasyf) sebagian dari makna-makna tersembunyi (asrār) di balik diksi pilihan dan susunan kata dalam Alquran.

Hal ini diperoleh melalui beberapa urutan metode yang nampak berbeda dari apa yang disampaikan oleh Mannā‘ al-Qaththān (w. 1420/1999) dalam Mabāḥits fī ’Ulūmil Qur’ān, h. 357 Kiai Sholeh tidak hanya mengandalkan usaha pembersihan batin spiritual (riyāḍah rūḥāniyah) sebagai satu-satunya cara mengungkapkan makna-makna tersembunyi ini. Dia lebih lengkap memerinci empat garis-garis pedoman cara menetapkan Tafsir Isyari.

Pertama, sebagaimana diterangkan Kiai Sholeh (Faiḍurraḥmān, h. 3), harus disadari bahwa hakikat makna Alquran itu tidak terbatas. Hal ini tidak berarti semua makna bisa diterima. Namun, semua mufasir harus bersiap secara keilmuan dan rohani pada pengungkapan makna yang mungkin belum pernah diterima oleh para mufasir sebelumnya.

Dampak lainnya adalah, sebagaimana Kiai Sholeh tekankan, bahwa seorang mufasir harus menyadari bahwa hakikat dari makna Alquran hanyalah milik Allah semata. Sedalam apa pun makna yang seorang mufasir telah ungkap, itu cakupannya masih jauh dari hakikat makna yang dikadung satu ayat.

Keyakinan ini didasarkan pada alegoris Alquran mengenai ‘semua pohon-pohon di bumi dan tujuh lautan sebagai pena dan tinta tetap tidak akan mampu menuliskan kalam Allah’. Selain itu, parasahabat pun menjadi saksi akan ketidakterbatasan pemaknaan ini. Untuk keterangan ini, Kiai Sholeh (Faiḍurraḥmān, h. 3) mengutip riwayat yang sangat masyhur bagi para mufasir tentang kesaksian Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sahabat sekaligus menantu Rasul itu berkata bahwa seandainya dia mau, maka dia bisa saja menuliskan tafsir surah Al-Fatihah sebanyak jumlah jilid kitab yang mampu dimuat oleh tujuh puluh unta (as-Suyuthi, al-’Itqān fī ‘Ulūmil Qur’ān, juz 4, h. 230).

Diawali dengan pencarian makna lahiriah Alquran

Kedua, setelah memiliki bahwa makna Alquran tidak terbatas, seorang mufasir harus memulai langkahnya diawali dari mencari makna lahiriah ayat terlebih dahulu (Faiḍurraḥmān, h. 2). Makna literal dari setiap kata dan susunannya dalam Alquran didedah dengan seksama.  Kiai Sholeh mengatakan bahwa ini adalah kewajiban dalam setiap tafsir. Malahan, Kiai Sholeh menyebutkan bahwa seorang yang langsung melompat kepada makna batin Alquran tanpa penjelasan makna lahir dahulu akan menuju jurang kekufuran.

Kiai Sholeh tidak mengungkapkan bagaimana seorang mufasir mampu mengungkapkan makna lahir ini. Bila kita merujuk pada ulasan Hujjatul Islam Imam al-Ghazzali (w. 505/1111), tokoh panutan dan rujukan utama dalam laku dan pemikiran Kiai Sholeh, maka kita akan mendapatkan penjelasan yang rinci. Imam al-Ghazzali dalam ar-Risālah al-Ladunniyah, h. 40 meruntut bahwa usaha tafsir diawali dengan kajian bahasa, balaghah, susunan kalimat, ilmu nahwu, dan tradisi masyarakat Arab. Baru setelah itu, merujuk kepada kalam ahli hikmah dan para sufi agar mendekatkan hasil tafsir pada hakikat makna.

Selain itu, pada pengantar kitab tafsir Faiḍurraḥmān, h. 1, Kiai Sholeh juga menyampaikan empat kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam mengungkapkan makna lahir Alquran. Yaitu Tafsīr al-Jalālain dari dua Imam Jalaluddin, as-Suyuti (w. 911/1505) dan gurunya, al-Mahalli (w. 864/1459), Mafātiḥul Ghaib atau juga dikenal sebagai at-Tafsīr al-Kabīr dari Imam ar-Razi (w. 606/1209), Lubābut Ta’wīl fī Ma’āniyat Tanzīl atau juga dikenal dengan Tafsīr al-Khāzin dari Imam al-Khazin (w. 741 H/1341). Bila kita baca lebih jauh, Kiai Sholeh juga merujuk kepada mufasir-mufasir lain untuk makna lahir ini, seperti Abdullah bin Abil Qasim al-Baidhawi (w. 685/1292) Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl‘ (Faiḍurraḥmān, h. 5).

Dari rujukan tersebut, kita melihat betapa luas kajian yang dilakukan oleh Kiai Sholeh mengingat pada masa itu masih sulit mendapatkan kitab dan guru yang mengajarkan referensi-referensi tersebut. Itu sebabnya kita tidak umum mendengar kitab-kitab tersebut, kecuali Tafsīr al-Jalālain yang diteruskan dalam tradisi kajian tafsir di Pesantren.

Demikian dua dari empat konsep tafsir isyari Kiai Sholeh Darat. Pada tulisan mendatang, saya akan mendedah lebih jauh dua konsep berikutnya dalam mencapai ma‘nal isyārī ala Kiai Sholeh. insya Allah.