Kajian Tafsir Pada Khazanah Literatur Tradisional Nusantara

kajian tafsir
kajian tafsir di Nusantara

Tulisan ini berusaha membuka kembali wacana penerapan teori Ronit Ricci tentang “Citing as a Site” (2012) pada kajian tafsir al-Qur’an di Nusantara. Kita tahu salah satu tantangan dari kajian tafsir hari ini adalah kemandegan. Mahasiswa masih ditawari bagaimana mengkaji tafsir dengan cara pandang yang benar-benar sempit.

Ide Ronit Ricci “Citing as a Site” bisa digunakan menjadi kerangka analisis (framework) yang segar dalam kajian tafsir kita. Utamanya dia menjadi jembatan bagi mereka yang mau melakukan kajian dengan objek khazanah literatur tradisional Nusantara. Kita tahu betapa kaya literatur traditional Nusantara, seperti dalam suluk, serat, babad, wawacan, hikayat, dan syair. Dalam karya-karya tradisional itu, al-Qur’an memiliki satu posisi khusus.

Secara hipotetis al-Qur’an bagi Muslim adalah sumber utama dalam menjalani segala aspek kehidupannya termasuk dalam kesusastraan. Dalam kajian yang spesifik, Ricci menunjukkan bagaimana kaya sebuah literatur tradisional, yaitu “Suluk Samud”, dengan kutipan-kutipan dari al-Qur’an. Bahkan, muncul apa yang disebut Ricci momen sitasi bersama dari berbagai versi “Suluk Samud” dari berbagai bahasa Jawa, Melayu, dan Tamil.

Jadi teori “Citing as Sites” menerangkan bahwa terjadi “literary networks” dalam karya-karya literatur Nusantara dalam rupa kosakata Arab yang tak-terjemahkan (untranslated), ekspresi idiomatik, struktur kesusastraan dan bahasa, serta titik temu dan interaksi antar budaya dan bahasa. Ricci memberikan contoh penerjemahan bismillah, fungsi syahadat, dan aksara Arab. Pada aspek yang lain adalah ide apa yang ada dibalik penggunaan “Hyang Suksma”, lalu berubah menjadi “Pangeran” pada penerjemahan bismillah. Amiwiti ingsun kelawan muji Hyang Suksma/Pangeran.

Baca Juga: Tiga Ragam Metode Pengumpulan Alquran

Tentu kita bisa juga meninjaunya dari aspek kelompok penggunanya seperti ulama, pujangga, atau asal daerahnya, pesisiran dan pedalaman, atau format teksnya seperti puisi dan terjemahan antar baris pada kitab. Namun mengembalikannya kepada makna yang tidak mungkin seperti keyakinan dewa ala hindu-buddha pada teks bismillah adalah rancu.

Contoh lain adalah bagaimana kata al-Quran muncul dan pada kerangka semacam apa dia berfungsi. Gambaran yang muncul pertama di benak saya dari suluk-suluk kita adalah dia nampaknya menjadi sumber segala pengetahuan. Tetapi bentuk pengetahuannya bukan hanya dan bahkan lebih utama pada aspek kesakralan (divinity) alih-alih pengetahuan dari aspek “rasionalitas”.

Dengan ini kita bisa membaca kenapa banyak ayat al-Quran di teks-teks primbon tidak diterjemahkan dan bahkan diberikan makna yang secara semantik tidak mungkin dilekatkan padanya. Seperti pada teks-teks tarekat Akmaliyah abad ke sembilan belas (lihat gambar); bahwa ba pada bismillah adalah semune Wujud Ingsun; mim pada bismillah adalah esmune Wujud Ingsun iki; Allah iku namane Wujud Ingsun iki; dst. (dengan W dan I kapital agar tidak menimbulkan kerancuan).

Kita bisa menambahkan bukan hanya aspek jaringan (network) pada tataran makna semantik tapi juga pada tataran pembentukan framework baru dan bahkan paradigms shift yang bersumber dari teks-teks dari quran. Misalnya seperti dalam kerangka ide zahir dan batin yang menjadi bahasa kiasan (trope atau pasemon) bagi struktur kisah pada sebagian besar suluk-suluk. Seperti pada kisah Prabu Jasmani yang mencari Dewi Ruhani (Leiden Or. 4911). Pencarian pendamping hidup disamakan dengan pencarian kesejatian manusia yang mana keberhasilannya adalah ditandai dengan menemukan Ruhani. Perempuan digambarkan sebagai perwakilan dari Ruhani, bukan Duniawi seperti biasanya, dan laki-laki adalah Jasmani yang keduanya menjadi sempurna ketika bersatu menjadi Insan Kamil. Merenungkan hadis Nabi, kita bisa melihat perempuan memiliki hakikat yang padanya kita bisa merefleksikan sifat Tuhan (hadis: hubbiba ilayya min dunyakum an-nisa’-alhadis).

Ide-ide lain dari tasawuf Ibn Arabi yang menjadi framework sangat banyak dijumpai di kesusastraan Nusantara. Seperti ide tentang alam adalah wawayangan (bayangan, zillullah) dari hakikat Allah yang menjadi satu titik temu ide tasawuf dengan ekspresi seni tradisional wayang. Atau ide tujuh martabat yang menjadi sumber bagi ragam pamor pada keris-keris di Jawa.

Peralihan paradigma bisa dilakukan dengan membawa masuk peralihan waktu, tempat, dan network baru pada analisis jaringan teks kita. Misalnya, kajian pada ide-ide mazhab tasawuf Ibn Arabi, utamanya yang membumi di Nusantara melalui kitab Tuhfa dan Insan Kamil. Kajian atas suluk, primbon, dan fragmen tafsir di sepanjang zaman dari abad ke 17 hingga abad ke 19 atau awal abad ke 20, akan menciptakan bukan hanya gambaran jaringan yang unik, tetapi juga pembentukan framework baru dan bahkan transformasi atas perebutan wacana dari ide-ide itu.

Baca Juga: ‘Ulum Al-Quran, Usul At-Tafsir dan Qawa’id At-Tafsir

Dalam konteks transformasi ini kita bisa lihat bagaimana pemaknaan Insan Kamil dari Suluk Tuhfa dan suluk-suluk di abad ke 19, dengan kitab tafsir Kiai Sholeh Darat misalnya. Kita juga bisa melihat bagaimana makna shalat dalam kitab-kitab primbon dari abad 19 ke belakangan dibandingkan dengan pemaknaan itu pada kitab-kitab panduan shalat dari abad ke 20. Spesifik lagi perubahan mungkin terjadi pada makna shalat daim yang sangat kental di Nusantara sebagai tujuan dari shalat seseorang.

Kerangka analisis semacam ini membuka cara berbeda dari framework konvensional dari kajian filologi tentu saja. Dan benih-benihnya sudah mulai digelorakan oleh A.L. Becker dalam Beyond Translation: Essays toward a Modern Philology (1995) namun nampaknya belum benar-benar dilakukan dalam kajian-kajian manuskrip kita. Mungkin karena tantangannya memang tidak mudah. Akses pada bahasa dan aksara adalah satu masalah. Kemungkinan korpus manuskrip bisa sangat kaya, meskipun pada definisi sempit korpus dalam satu kajian itu diberikan, seperti “Suluk Samud” pada kajian Ronit Ricci. Tapi dia semoga bisa memberikan satu jalan keluar bagi kawan-kawan mahasiswa yang menemukan dan tertarik pada satu suluk namun karena kajiannya adalah “tafsir dan Qur’an” maka dia merasa tidak ada harapan untuk menjadikannya satu objek kajian. Semoga.