Ayat Alquran terdiri dari rangkaian kalimat (al-kalam). Setiap kalimat disusun dari beberapa kata (al-kalimah). Susunan ini memiliki fonem tersendiri yang terlihat dalam harakat sesuai dengan struktur kalimat yang menyusunnya. Terkadang bernuansa marfu, manshub, majrur, atau majzum. Fonem diujarkan sesuai dengan fungsi kalimat yang mengitarinya. Fonem dan rangkaian kalimat membuahkan makna yang berbeda. Perbedaan tersebut akan melahirkan corak penafsiran atau mungkin terjadi khilaf antar pandangan ulama.
Dari aspek ini, Alquran dapat ditelaah dengan analisis gramatika atau disebut nahu. Salah satu komponen penting dalam nahu adalah i’rab. Dari i’rab akan memunculkan fungsi kalimat dan corak yang berbeda. Para ulama biasanya menyebutkan khabariyah dan insya’iyyah untuk corak kalimat. Adapun struktur kalimat, kaidah yang muncul cukup banyak. Ada yang disebut fa’il, na’ib al-fa’il, mubtada’, khabar, maf’ul bih, mashdar, al-hal, al-tamyiz, dan sebagainya sesuai dengan posisi i’rab baik marfu, manshub, majrur, atau majzum. Kajian-kajian seperti ini dipandang oleh ulama sebagai I’rab al-Qur’an.
Apa itu I’rab al-Qur’an?
Secara kebahasaan, I’rab al-Qur’an tersusun dari kalimat idhafah dari kata i’rab yang disandarkan pada kata al-Qur’an. Struktur idhafah ini mengambil makna muqaddar untuk lam yang bermakna “untuk”. Sehingga, kalimat ini dapat dimaknai kajian gramatika untuk ayat-ayat Alquran. Dalam Abjad al-‘Ulum disebutkan bahwa I’rab al-Qur’an adalah cabang dari ilmu tafsir sebagaimana dikutip dari kitab Miftah al-Sa’adah. Sementara dalam al-Itqan, al-Suyuthi memandang hakikat ilmu ini adalah nahu yang dipandang sebagai disiplin ilmu tertentu. Ilmu ini, menurut al-Suyuthi mendorong pembaca untuk memperhatikan aspek gramatika dari keseluruhan aspeknya.
Al-Baihaqi berpendapat I’rab al-Qur’an memiliki dua makna. Pertama, berhubungan dengan pemeliharaan terhadap harakat yang membedakan antara orang Arab dengan non-Arab. Sebab, kebanyakan non-Arab cenderung menyukunkan kata dengan mabni baik dalam menyambungkan (washal) atau menghentikan bacaan (waqaf). Mereka pun tidak bisa membedakan fa’il dan maf’ul, juga pada bentuk madhi untuk makna mustaqbal. Kedua, berhubungan dengan pemeliharaan terhadap harakat yang tampak, sebab terkadang muncul kesalahan atau bahkan mengubah makna. Penjelasan ini dapat dirujuk pada al-Ta’rifat li al-Jurjani dan al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an li al-Zarkasyi.
Baca juga: Nalar Balaghah Sebagai Metodologi Penggalian Makna Ayat-Ayat Hukum
Sebagai disiplin ilmu tersendiri, I’rab al-Qur’an memiliki beberapa batasan pembahasan. Yusuf al-‘Isawi dalam ‘Ilm I’rab al-Qur’an membagi batasan ilmu ini pada tiga hal. Pertama, aspek makna. Pada aspek ini dibahas makna kalimat, memilih makna yang sahih, penyesuaian i’rab dengan karakteristik mukhattab, dan memperhatikan redaksi yang memungkinkan terjadi perbedaan i’rab.
Kedua, aspek penulisan dan bacaan. Pada aspek ini dibahas bentuk i’rab sesuai dengan bacaan, pendapat di luar mushaf resmi tertolak, tidak boleh mengembalikan bacaan kepada i’rab apabila telah tetap bacaannya, berpegang teguh pada bentuk i’rab yang sesuai dengan rasm mushaf, pernyataan yang diluar rasm mushaf tertolak, tidak boleh mengungguli qira’at yang sesuai dengan mushaf, qira’at mutawatir yang di luar i’rab adalah kuat, dan bacaan fasih yang boleh secara bahasa tetapi syad tidak bisa menjadi mutawatir.
Ketiga, aspek perhatian terhadap struktur i’rab. Pada aspek ini dibahas mengenai perhatian terhadap makna yang valid, menghindari penarikan makna yang keluar dari struktur bahasa Arab, menguatkan i’rab pada pendapat yang kuat dibandingkan dengan pendapat yang syad dan lemah, perhatian terhadap pernyataan yang syubhat, dan penyesuaian struktur bahasa dengan dalil syariat.
Baca juga: Balaghah Alquran: Keindahan Penggunaan Huruf Athaf “Tsumma”
Perkembangan Ilmu I’rab al-Qur’an
Ilmu ini berkembang seiring dengan fenomena kesalahan dalam pengucapan dan pemberian tanda baca. Perkembangannya diawali dengan adanya al-lahn atau kesalahan pengucapan yang berujung pada pengubahan makna. Dapat dimafhumi, bahwa salah dalam bunyi tanda baca atau i’rab pasti berujung pada munculnya kesalahan makna. Dalam hal ini, al-Asbahani pernah menyatakan bahwa al-lahn berarti memalingkan pembicaraan dari kebiasaannya yang berlaku. Hal ini bisa terjadi baik dari tidak memperhatikan i’rab maupun kesalahan penulisan. Kenyataan ini banyak terjadi ketika Islam bertambah luas dengan bertambahnya orang-orang non-Arab.
Para sahabat mulai mendesak orang untuk belajar bahasa Arab. Di sekitar mereka muncul pepatah “Alquran adalah bahasa Arab, maka bacalah seperti bacaan orang Arab”.
Selain fenomena al-lahn, ilmu ini berkembang ketika proses pemberian tanda baca pada ayat Alquran. Secara historis proses ini terbagi dua. Pertama, pemberian tanda baca (harakat) yaitu sesuatu yang menunjukkan pada apa yang ditampakkan pada huruf baik harakat atau sukun. Kedua, penyeleksian terhadap kata yang terbentuk dari huruf-huruf sehingga membedakan mana yang sesuai dengan bahasa Arab dan mana yang tidak.
Setelah fase ini, ilmu ini beriringan dengan perkembangan ilmu nahu. Sejatinya pembubuhan tanda baca secara hakikatnya menyebarluaskan kaidah nahu. Hal ini tentu sangat penting dalam menjelaskan makna dan maksud kalimat. Setiap harakat memiliki sebab yang menyebabkannya mengalami perubahan, yang biasa disebut sebagai al-‘illah al-nahwiyah.
Apabila kita memegang pendapat bahwa I’rab al-Qur’an adalah penerapan dari kaidah nahu, maka permulaan ilmu ini sama dengan permulaan ilmu nahu dalam menetapkan ragam kaidahnya. Sebab, Alquran menjadi dalil pertama dari petunjuk ilmu nahu. Terkait hal ini, al-Bujawi menuturkan bahwa ilmu ini berkembang tahap demi tahap sampai menjadi ilmu yang berdiri sendiri dalam kajian Alquran.
Perkembangan selanjutnya adalah bermunculannya berbagai kitab tentang makna Alquran dan gramatikanya. Kitab ini menjelaskan aspek bahasa pada pelafalan dan gaya bahasa dalam Alquran. Dalam ilmu ini, terdapat penjelasan susunan kalimat yang sulit dalam Alquran sehingga membutuhkan ragam kajian. Pada awal-awal kajian ini, terdapat karya al-Farra (w. 207 H) Ma’ani al-Qur’an, al-Akhfasy (w. 215 H) Ma’ani al-Qur’an, dan al-Zujaj (w. 311 H) Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu. Setelah periode ini, banyak bermunculan kitab sejenis dari beberapa ulama. Wallahu a’lam.
Baca juga: Balaghah Alquran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Alquran