BerandaTafsir Al QuranAnalisis Makna Pegon pada Naskah Tafsir Jalalain

Analisis Makna Pegon pada Naskah Tafsir Jalalain

Tak hanya melalui kolofon dan kertas yang digunakan, usia sebuah naskah kuno juga dapat diketahui dengan melakukan analisis terhadap isi teks yang tertulis di dalamnya. Analisis yang cukup sederhana seperti yang telah penulis lakukan beberapa waktu yang lalu terhadap naskah tafsir Jalalain koleksi museum Masjid Agung Jawa Tengah. Dari analisis  (MAJT)tersebut, penulis memperkirakan usia naskah berdasar pada catatan konversi tahun hijrah Nabi saw. yang menunjuk pada rentang waktu 1230 sampai 1270 hijriah atau setara 1865-an masehi.

Dalam tulisan kali ini, penulis hendak melakukan analisis yang lebih kompleks pada naskah yang sama. Analisis yang didasarkan pada teori linguistik, yang secara spesifik merupakan hasil kajian terhadap perkembangan makna pegon dalam naskah-naskah kuno Nusantara. Tujuannya adalah untuk mendapatkan validitas klaim usia yang sebelumnya telah disebutkan.

Teori Perkembangan Pegon

Merujuk pada penjelasan yang diberikan Saiful Umam, Ph.D pada acara Dreamsea Colloquium 2022 bertajuk Manuskrip & Keragaman Tradisi Nusantara, model pemaknaan gandhul dengan pegon dapat diklasifikasikan karakternya berdasar usianya. Klasifiksi tersebut terbagi berdasar pada abad penulisannya yang secara umum meliputi abad 17, 18, 19, dan 20 (Selengkapnya lihat pada klik di sini.

Penjelasan yang sama sebenarnya juga pernah diberikan Nur Ahmad pada tahun 2018 melalui tulisannya yang berjudul Sejarah Makna Kitab Gandul dalam Tradisi Pesantren. Di sana, Ahmad bahkan memberikan penjelasan yang lebih lengkap, mencakup abad 18 yang tidak disebutkan oleh Saiful.

Pegon abad 17 memiliki bentuknya yang paling dasar, dimana ia hanya difungsikan sebagai alat bantu penerjemahan teks kata per kata. Pegon di masa ini juga belum disertai dengan unsur-unsur yang menjelaskan kedudukan kata (tarkib) dalam gramatika Arab. Pada kalimat al-hamd lillah misalnya, kata al-hamd cukup diterjemahkan dengan sekehing puji tanpa menambahkan atribut tarkib.

Baca juga: Mengenal Tafsir Anom, Tafsir Al-Quran Bahasa Jawa Aksara Arab Pegon Karya Mohammad Adnan

Perkembangan yang lebih kompleks terjadi pada abad 18 dan 19 ketika pegon yang diberikan telah dilengkapi dengan tarkib. Di dua abad ini, kata al-hamd pada contoh sebelumnya selain diberikan terjemah literalnya juga ditambahkan atribut tarkib, yakni kata utawi yang merupakan simbol literal dari mubtada. Demikian juga pada kata lillah, terdapat kata iku sebagai simbol literal dari khabar.

Perkembangan paling kompleks terjadi pada abad 20. Pegon di masa ini dapat dikatakan telah mengalami puncak pada struktur tarkib-nya. Hal tersebut ditandai dengan kompleksitas makna yang diberikan mencakup aspek terkecil. Contohnya seperti penambahan makna yang mengisyaratkan adanya ta‘alluq dari huruf jer. Pada frasa lillah sebelumnya misalnya, isyarat tersebut muncul pada kata iku tetep keduwe. Di masa ini pula, menurut Mas Ahmad, telah diperkenalkan beberapa rumus simbolik yang menjadi penanda gramatikal Arab, seperti mim untuk mubtada yang dibaca utawi, kha’ untuk khabar dibaca iku, dan lain sebagainya.

Lantas, bagaiamana dengan pegon dalam naskah Jalalain MAJT?

Analisis Pegon Naskah Jalalain

Hasil pembacaan yang penulis lakukan mendapati setidaknya enam kata yang menjadi simbol literal tarkib. Enam kata tersebut adalah utawi yang menjadi simbol mubtada, iku yang menjadi simbol khabar, ing yang menjadi simbol maf‘ul bih, hale yang menjadi simbol hal, apane yang menjadi simbol dari tamyiz, dan kerono yang menjadi simbol dari ta‘lil atau maf‘ul li ajlih.

Keenam kata tersebut ditulis dengan mengikuti pola yang umum digunakan pada penulisan pegon, yakni tepat sebelum memberikan terjemahan literal kata. Pada kata qayyiman misalnya, makna yang diberikan adalah hale bener. Kata hale berfungsi menjelaskan tarkib dan kata bener berfungsi menjelaskan terjemahan literal.

Baca juga: Faktor Terjadinya Inkonsistensi Penggunaan Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur’an di Nusantara

Namun demikian, model penulisan yang juga cukup banyak ditemukan adalah penggunaan keenam kata tersebut sebagai makna tunggal, tanpa disertai terjemahan literalnya, seperti pada kata tsabitun dengan kata iku, al-kafirin (dalam bentuk jamak) dengan kata ing, kalimatan dengan kata apane, dan lain sebagainya.

Hal ini seolah menyiratkan bahwa penulis naskah hendak memberikan tekanan terhadap tarkib kata tersebut dalam gramatika Arabnya. Meskipun ada kemungkinan lain dimana penulis naskah telah mengetahui terjemahan kata yang dikehendaki karena dianggap cukup familiar sehingga tidak perlu menuliskannya kembali.

Hasil pembacaan penulis juga tidak menjumpai adanya penggunaan rumus simbolik yang menjadi penanda gramatikal Arab atau pun pemaknaan kompleks lainnya. Beberapa rumus simbolik yang penulis temukan merupakan rumus marji‘ yang lazim digunakan untuk memberikan rujukan kepada makna yang sama sebelumnya.

Baca juga: Mengenal Tafsir Anom, Tafsir Al-Quran Bahasa Jawa Aksara Arab Pegon Karya Mohammad Adnan

Oleh karenanya, berdasar teori dan temuan yang ada, pegon yang digunakan dalam naskah Jalalain MAJT ini memiliki karakter yang sama dengan pegon abad 18 atau 19. Hasil ini agaknya dapat dijadikan penguat klaim bahwa naskah tersebut berasal dari abad 19, mengacu catatan lain yang ditemukan di dalam naskah. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...