BerandaTafsir Al QuranTawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman

Tawaran Baru Studi Tafsir di Indonesia ala Fadhli Lukman

Kerancuan dalam diskursus studi Alquran dan tafsir luput dari pandangan kesarjanaan Muslim belakangan. Beberapa peneliti khususnya di Indonesia -untuk tidak mengatakan keseluruhan- cenderung kurang memperhatikan celah ini. Apakah kajian penelitian yang ditempuh mengarah ke dalam payung studi Alquran ataukah studi tafsir, yang tentu dengan konsekuensi metodologi yang tidak sama.

Diskursus kajian studi Alquran dan tafsir dibedakan dalam hal objek kajian. Studi Alquran menempatkan Alquran sebagai objek utama dalam riset yang dilakukan. Sedangkan studi tafsir membincang produk-produk penafsiran dalam kurun periode waktu tertentu.

Di antara dua diskursus kajian tersebut, Indonesia menempati posisi yang dapat dibilang berandil dalam mewarnai pemikiran keduanya. Lahirnya sejumlah produk penafsiran di Indonesia dari masa pra kemerdekaan hingga sekarang, cukup menjadi bukti bahwa minat kajian keislaman khususnya dalam ranah studi Alquran sangat subur.

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Namun berkembang pesatnya studi Alquran dalam pengertian di awal, agaknya belum selaras dengan perkembangan studi tafsir di sisi lain. Menurut Fadhli Lukman, perlu diadakan rekonstruksi dalam studi tafsir Indonesia yang selama ini tak terjamah dan cenderung bercampur dengan studi Alquran, yang sejatinya memiliki ranah berbeda.

Berkaitan dengan hal itu, terminologi “tafsir Indonesia” yang populer dipakai para akademisi maupun para pengkaji tafsir di Indonesia, selama ini memiliki kecenderungan problematis. Sebab menurut Fadhli bahwa terminologi tersebut tidak memuat konotasi metodologis. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 70)

Konsekuensinya adalah ketidakjelasan wilayah area riset yang selama ini dipakai oleh banyak akademisi. Terminologi tafsir Indonesia sudah selayaknya lebih ditegaskan dalam wilayah antara kedua disiplin tersebut; apakah studi tafsir atau studi Alquran. Problematika tersebut yang berhasil mencuri perhatian Fadhli Lukman untuk memberikan penegasan teoritis serta tawaran metodologis dalam memberikan arah baru kajian dalam disiplin ini. (Lihat https://studitafsir.com/2021/08/29/fadhli-lukman-mengurai-benang-kusut-kajian-tafsir-nusantara/ )

Tawaran Teoritis

Fadhli Lukman melihat bagaimana arah riset diskursus Alquran dan Tafsir Indonesia belum terlalu jelas, dan masih tarik ulur di antara keduanya. Dalam upaya mengurai kerancuan tersebut, perlu bangunan asumsi yang dikembangkan sebagai pondasi ke depan untuk para pengkaji maupun akademisi. Mendudukkan terminologi tafsir Indonesia ke dalam payung studi tafsir menjadi tawaran konkret yang diajukan. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 71).

Setidaknya ada empat komponen kunci buah tawaran Fadhli. (Lihat Muhammad Arif dkk, Dialektika Keilmuan Ushuluddin: Epistemologi, Diskursus dan Praksis, halaman 64, 71, 77 dan 84). Pertama penekanan pada medan riset antara studi Alquran dan tafsir. Penegasan antara studi Alquran dan tafsir dapat mengklasifikasikan sejauh mana arah riset studi tafsir tersebut. Di samping itu, sebagai sebuah evaluasi untuk menentukan arah baru yang lebih jelas karena perbedaan teoritis di antara kedua disiplin tersebut.

Asumsi kedua, yaitu objek material. Objek material berbicara mengenai sasaran riset daripada tafsir itu sendiri. Sebelum membangun metodologi yang tepat, kedudukan tafsir pada penjelasan umum, yaitu sebagai upaya dalam mengulik makna di balik bahasa dan seluruh aspek pesan yang terkandung dalam Alquran menjadi pengertian paling mendasar.

Objek material di sini akan mampu ditentukan dalam mengarahkan dua disiplin ini, dengan bertolak pada komponen pertama yakni konsekuensi dari medan riset itu sendiri. Sebab titik tekan dari objek studi tafsir dan studi Alquran berbeda, maka medan riset haruslah ditentukan terlebih dahulu.

Asumsi ketiga memposisikan tafsir sebagai tradisi. Tradisi sebagai sebuah istilah yang mengakumulasi langkah historis dalam kajian tafsir. Istilah tradisi tafsir disini, melihat bahwa upaya dalam penafsiran tidak bisa terjadi tanpa mengulik rentetan historis dalam kurun waktu tertentu.

Termasuk di dalamnya karya-karya penafsiran yang telah ada dengan tidak memisahkan karya lain sebagai bahan referensi dalam melihat realitas sosio-kultural yang berkembang di Indonesia. Hubungan yang melekat antara “tradisi” dan penafsiran tidak bisa dilepaskan begitu saja.

Baca juga: Kaidah ‘an-Nadhar asy-Syumuli’ (Pandangan Holistik) dalam Memahami Alquran

Asumsi keempat bahwa dalam menghubungkan antara kedua realitas, baik di dalam maupun yang ada di luar penafsiran perlu dipertegas dalam kategori tertentu. Fadhli menyebutnya sebagai “konteks tafsir dan non tafsir.”

Yang dimaksud dengan konteks non tafsir adalah sejumlah komponen yang secara luas dapat digunakan dalam membantu upaya penafsiran. Dalam kategori ini pengaruh latar sosial, budaya, politik dan intelektual sangat berperan dalam membentuk mufasir menelurkan produk tafsirnya.

Sedang yang dimaksud dengan konteks tafsir yaitu unsur luar dari sebuah produk tafsir namun masih dalam cangkupan tradisi tafsir. Dengan memperhatikan konteks tafsir dalam artian tersebut, berarti peneliti memposisikan produk-produk tafsir lainnya dalam tingkatan posisi yang penting, baik masa sebelum, sesudah atau bahkan semasa dengannya.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Poin ini yang mampu menempatkan produk tafsir dan tafsir tradisi pada proposisi tertentu. Produk tafsir tidak akan berjalan sendiri tanpa melihat dan menimbang rentan historis dengan produk-produk tafsir lainnya.

Sehingga, tujuan dalam sebuah upaya mengkaji produk penafsiran akan dapat tercapai. Yaitu memahami dan mendudukan produk penafsiran sebagai sebuah proses interaksi individu dengan Alquran. Dengan kesadaran ini, bahwa studi tafsir Indonesia dapat secara tegas memberikan batas diskursusnya, sehingga tidak kabur arah riset yang ingin dikembangkan, lebih-lebih bercampur dengan diskursus studi Alquran dengan arah yang berbeda. ( Lihat Fadhli Lukman, Telaah Historiografi Tafsir Indonesia, Analisis Makna Konseptual Terminologi Tafsir Nusantara, halaman 72-73 ).

Abdul Azis Fatkhurrohman
Abdul Azis Fatkhurrohman
Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga. Minat pada kajian Alquran dan Tafsir.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...