BerandaTafsir TematikPrinsip-Prinsip Produksi dalam Alquran

Prinsip-Prinsip Produksi dalam Alquran

Istilah produksi dalam kajian ekonomi islam disebut dengan injatiyah. Kegiatan produksi dapat diartikan sebagai upaya untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru, sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan [Teori Fikih Ekonomi, hlm. 68].

Salah satu faktor pendorong kemajuan perekonomian adalah adanya keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Kegiatan produksi sangat penting dilakukan mengingat manusia sangat membutuhkan hasil-hasil produksi tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan. Oleh karenanya, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa kegiatan produksi itu hukumya fardu kifayah, artinya kalau tidak ada satupun yang melakukannya maka semuanya akan menanggung dosa [Ihya al-Ulum al-Din, juz 1, hlm. 16]

Pandangan al-Ghazali tersebut tidaklah aneh mengingat kebutuhan umat tidak akan terpenuhi jika tidak ada seorangpun di antara merka yang melakukan produksi.

Baca Juga: Etika Produksi dalam Alquran

Prinsip-prinsip produksi dalam tafsir

Berbeda dengan produksi dalam ekonomi konvensional, kegiatan produksi dalam Islam tidak boleh melanggar aturan-aturan hukum dan etika yang telah ditetapkan dalam Islam, karena kegiatan produksi dalam Islam bukan hanya bertujuan untuk meraup keuntungan, tetapi juga untuk menciptakan kemanfaatan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Alquran telah memberikan kita pelajaran terkait tata cara bermuamalah, termasuk di dalamnya yaitu kegiatan produksi. Jika ditelusuri lebih dalam, maka akan didapati banyak ayat Alquran yang memberikan pelajaran penting terkait prinsip-prinsip produksi. Salah satunya adalah Q.S. Al-Nahl ayat 68-69.

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (68) ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (69)

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.

Ayat ini menyinggung tentang lebah, serangga penghasil madu yang bermanfaat bagi manusia. Lebah menghasilkan madu beraneka macam warna yang kaya akan khasiat. Senyawa propolis yang terkandung dalam madu memiliki segudang manfaat terutama untuk teraapi pengobataan berbagai macam penyakit [Propolis; Madu Multikhasiat, hlm. 5]

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 68-69: Keistimewaan Lebah dalam Al-Quran

Filosofi lebah sebagai isyarat prinsip-prinsip produksi

Terdapat beberapa prinsip-prinsip produksi yang dapat diambil dari filosofi lebah dalam ayat di atas.

Pertama, input yang baik. Dalam melakukan tindakan produksi, manusia harus berusaha semaksimal mungkin mencari bahan baku yang baik-baik dan halal, sebagaimana lebah bisa memproduksi madu dari sari pati bunga. Imam al-Razi menyebutkan bahwa Allah telah menciptakan materi-materi bermanfaat di udara yang kemudian menyatu dengan berbagai jenis bunga, buah-buahan dan pepohonan. Lantas Allah memberi ilham kepada lebah untuk menghisap materi-materi tersebut [Tafsir al-Razi, juz 20, hlm. 239].

Kedua, proses yang baik. Lebah mengajarkan manusia untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara yang baik, yaitu dengan tidak tidak memberi dampak buruk kepada pihak lain, seperti pencemaran lingkungan akibat limbah produksi yang belum disaring. Meski setiap tindakan produksi (terlebih dalam bidang industri) pasti menimbulkan dampak negatif, paling tidak dampak tersebut dapat diminimalisasi dan ditekan sedemikian rupa [Tafsir al-Sya’rawi, juz 13, hlm. 8057].

Ketiga, output yang dihasilkan harus mempunyai nilai kemanfaatan. Melalui filosofi lebah, Allah telah mengajarkan kepada manusia (terutama pelaku produksi) agar segala sesuatu yang dihasilkan harus memiliki nilai guna. Artinya, selain untuk mencari keeuntungan pribadi, produk yang dihasilkan juga harus memiliki manfaat kepada orang lain. Oleh karenanya, dalam Islam, tidak diperkenankan memproduksi barang-barang yang menimbulkan bahaya dan mudarat.

Baca Juga: Lebah, Semut dan Laba-Laba dalam Alquran

Terkait dengan filosofi lebah, Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis juga mengumpamakan orang beriman yang baik dengan lebah madu,

إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ ‏ ‏لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد (رواه أحمد والحاكم والبيهقي)

Mu’min (orang yang beriman) adalah laksana lebah madu. Jika dia makan, hanya memakan makanan yang baik, jika mengeluarkan sesuatu adalah sesuatu yang baik pula dan bila hinggap diatas ranting pohon tidak mematahkannya dan merusaknya. (HR. Ahmad, al-Hakim al-Baihaqi).

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa prinsip produksi dalam Islam selain untuk meraup kuntungan, juga harus diproyeksikan untuk menciptakan nilai kemanfaatan. Selain itu, harus mempertimbangkan norma-norma agama sebagaimana telah disinggung di penjelasan sebelumnya.

Dengan demikian, kemungkinan besar produk yang dihasilkan dari kegiatan produksi itu akan mempunyai nilai guna sekaligus halalan, thayyiban, mubarakan fih. Wallah a’lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah at-Taubah ayat 122_menuntut ilmu sebagai bentuk cinta tanah air

Surah at-Taubah Ayat 122: Menuntut Ilmu sebagai Bentuk Cinta Tanah Air

0
Surah at-Taubah ayat 122 mengandung informasi tentang pembagian tugas orang-orang yang beriman. Tidak semua dari mereka harus pergi berperang; ada pula sebagian dari mereka...