Mengenal Tafsir al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil

al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil
al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil

Adalah al-Suyuthi, salah seorang ulama masyhur dalam bidang ilmu tafsir. Tak hanya itu, kajian keislaman lain pun dikuasai olehnya, seperti hadis, ilmu hadis, usul fikih, fikih, dan tarikh. Tercatat ratusan kitab yang ditulis baik yang besar (majlad) maupun kecil (risalah). Produknya menyebar dalam ragam kajian keislaman di dunia. Ulama kelahiran 3 Oktober 1445 M atau 1 Rajab 849 H, juga ahli dalam Bahasa Arab. Menurut catatan, beliau wafat pada 18 October 1505 M. Usianya sekitar 60 tahun dengan ratusan kitab yang ditulis.

Salah satu kitab dalam bidang tafsir adalah al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil (Mutiara untuk Menggali Hukum dari Alquran). Kitab ini berbeda dengan kitab Tafsir al-Jalalain dan al-Durr al-Mantsur yang ditulisnya. Dua kitab ini menyajikan penafsiran Alquran secara analisis sesuai urutan ayat dalam mushaf. Tafsir al-Jalalain ditulis dengan metode ijmali (ringkas). al-Durr al-Mantsur ditulis dengan metode tahlili dan bercorak bi al-ma’tsur yaitu penafsiran Alquran dengan Alquran dan hadis. Sementara al-Iklil bercorak tafsir untuk ayat hukum.

Karakteristik Kitab

Kitab al-Iklil pernah diterbitkan oleh Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, Beirut.  Kitabnya cukup tebal berisi 240 halaman, termasuk di dalamnya pengantar dan daftar isi.  Tidak semua ayat dijelaskan olehnya. Yang dijelaskan hanya ayat yang diduga kuat berhubungan dengan hukum. Sebuah kepantasan yang bersesuaian dengan kalimat istinbath yang ada pada judulnya. Seperti yang dipahami, kata istinbath menjadi salah satu istilah yang muncul dalam kajian usul fikih, yaitu penggalian hukum.

al-Suyuthi dalam kitab ini menegaskan beberapa ayat yang bertalian dengan hukum. Hal ini diawali dengan pandangan bahwa Alquran adalah pedoman hidup juga sumber hukum Islam pertama. Sebab, hukum Islam yang diidentikkan dengan syariat berasal dari Allah Swt sebagai al-syari’ (pembuat hukum), bukan hasil pemikiran manusia.

Pijakan asumsi ini tentu ada bedanya dengan beberapa orientalis. Sebut saja misalnya Abraham Geiger (1810-1874). Geiger meragukan otentisitas Alquran dengan analisis yang dia sebut sebagai teori pengaruh. Muzayyin (2015) dalam salah satu kajiannya, Alquran Menurut Pandangan Orientalis, mengemukakan bahwa Geiger telah memberi pengaruh yang sangat luar biasa bagi perkembangan studi Islam di Barat, mengenai polemis tentang studi Alquran, khususnya “teori pengaruh“ yang dimunculkannya pada abad ke-19. Geiger menyebut bahwa Alquran tidak lepas dari pengaruh Yahudi. Tentu, teori ini mengundang kontroversi.

Baca juga: Metode Penafsiran Alquran Kiai Ihsan Jampes

al-Suyuthi seperti ulama lainnya cenderung menguatkan secara ilmiah dan keyakinan, bahwa Alquran mutlak dari Allah Swt. Isinya pun pasti benar, begitu pun dengan ayat yang berisi aturan hukum bagi manusia. Pernyataan ini, meskipun terpisah ratusan tahun rentang waktunya, memiliki perbedaan signifikan tentang hakikat otentisitas Alquran. al-Suyuthi tetap pada pandangan bahwa ayat hukum berasal dari Allah Swt. Sementara Geiger dengan analisis historisnya pada ayat yang berisi hukum dipengaruhi oleh Yahudi.

Kitab al-Iklil didasarkan pada substansi hukum berasal dari Allah Swt bukan dari yang lainnya. Nabi Muhammad saw. pun menerima hukum dari Allah Swt.

Dalam penelaahan terhadap kitab ini, akan ditemukan ciri yang berbeda. Pertama, al-Suyuthi memilih ayat-ayat yang mengandung hukum kemudian dijelaskan makna dan implikasi hukumnya. Tidak semua ayat yang dijelaskan maknanya. Kedua, hampir setiap surah dalam Alquran menurutnya berisi pernyataan yang langsung menyentuh hukum juga berkaitan dengan istilah yang berada pada ruang kajian hukum. Spektrum pemaknaan ini cukup rinci. al-Suyuthi tidak hanya menjelaskan maksud ayat. Dia menjelaskan pula beberapa istilah yang diduga kuat berkaitan dengan hukum tertentu. Ketiga, al-Suyuthi menguatkan beberapa jumlah ayat hukum dalam Alquran. Ragam pendapat ulama sebelumnya terkait hal ini kemudian dielaborasi, ditelaah, dan dihasilkan satu pendekatan yang cukup berbeda dengan pendapat ulama sebelumnya.

Latar Belakang Penulisan

al-Suyuthi pertama kali memerhatikan pendapat ulama tentang jumlah ayat hukum dalam Alquran. Imam al-Ghazali dan yang lainnya berpendapat bahwa ayat hukum berjumlah 500 ayat. Pendapat lainnya 250 ayat.  Perhitungan ayat ini menurut al-Suyuthi bermaksud untuk memasukkan kisah dan contoh (al-amtsal) yang dapat dijadikan objek penggalian hukum. Kedua hal ini dikuatkan oleh Izzudin bin Abdussalam bahwa ayat amtsal mengandung peringatan dan nasihat, begitu pun di dalamnya memuat pahala atau penghapusan amal, atau pujian dan celaan, yang kesemuanya itu menunjukan pada hukum.

Baca juga: Proyek Tafsir Al-Mishbah: Menggapai Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ala M. Quraish Shihab

Dalam pengantar kitab ini, al-Suyuthi banyak menyinggung pendapat Izzudin bin Abdussalam. Masih menurut Izzudin bin Abdussalam, sebagian besar ayat Alquran tidak kosong dari pembahasan hukum yang di dalamnya terdapat etika baik. Begitu pula yang langsung secara tegas berkaitan dengan hukum.

Dengan memerhatikan ragam kitab sebelumnya, al-Suyuthi melalui kitab ini ingin mengarahkan maksud, menjelaskan cara penggalian hukum, juga memaparkan ayat yang dapat digali hukumnya. Tak hanya itu, dia menjelaskan pengambilan dalil berupa masalah fikih dan keimanan. Penjelasannya disertai dengan tafsir ayat yang sesuai dengan penggalian hukum yang dirujuk pada pendapat sahabat dan tabiin. Cara yang digunakan tentu tidak keluar dari kitab-kitab yang muktabar yang dikutip.