Sejarah Perkembangan Makki-Madani di Masa Awal Islam

Perkembangan makki-madani di masa awal Islam
Perkembangan makki-madani di masa awal Islam

Penurunan Alquran secara berangsur-angsur selama lebih dari  22 tahun, memicu timbulnya disiplin ilmu tertentu yang secara khusus menguraikan sesuatu di balik peristiwa panjang tersebut, seperti ilmu asbâb al-nuzûl, makki-madani, nâsikh-mansûkh, dan yang lainnya. Dalam hal ini, ilmu makki dan madani menjadi landasan pengetahuan dalam memahami ilmu lain, seperti ilmu nâsikh-mansûkh. Bahkan, dalam sistematika penulisan kitab al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, al-Suyûthi menempatkan ilmu makki dan madani di awal pembahasan kitabnya.

Di era sekarang, eksistensi makkimadani sebagai salah satu bagian ulûm al-Qur’ân bukannya sepi dari kajian, bahkan semakin ramai. Pemikir-pemikir kontemporer, misalnya Nashr Hamid Abu Zaid dan Theodor Noeldeke untuk menyebut beberapa di antaranya, mengkritik lalu merekonstruksi konsep-konsep makki dan madani dari ulama-ulama klasik sebelumnya.

Kajian makkimadani akan lebih mudah dipahami secara komprehensif jika kita mundur sedikit ke belakang untuk melihat bagaimana sejarah dan posisi makki dan madani di masa awal Islam, masa ketika Rasulullah saw. dan para sahabat hidup.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

Menurut al-Baqilânî (950-1013 M), diskursus mengenai makki dan madani belum ada di era Rasulullah saw. Argumentasi ini terbukti dengan tidak ditemukannya satu riwayat pun yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang berhubungan dengan makki dan madani. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kemunculan konsep makki dan madani ini tidak beriringan dengan turunnya Alquran.

Apa yang dikatakan oleh al-Baqilânî kemudian direspons oleh al-Zarqanî. Ia menyatakan bahwa ketiadaan riwayat mengenai makki dan madani karena pada saat itu Sahabat ra. sudah merasa cukup dengan apa yang mereka saksikan, baik mengenai waktu ataupun tempat penurunan ayat Alquran. Pada saat itu memang tidak ada pembicaraan tentang makki dan madani di antara kedua belah pihak, baik Sahabat ra. maupun Nabi saw. Para Sahabat tidak merasa perlu menanyakan mengenai hal tersebut karena sudah merasa cukup dengan apa yang merasa saksikan, sedangkan Nabi saw. sendiri pun juga tidak menyampaikannya.

Baca juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran

Jika konsep makki dan madani tidak ada di zaman Rasulullah saw., lalu sejak kapan timbul istilah, konsep, dan diskursus makki dan madani?

Berdasarkan keterangan dari kitab Thabaqât karya Ibn Sa’d yang dikutip oleh al-Suyûthi, ditemukan sebuah riwayat yang bisa diklaim sebagai permulaan yang berpengaruh kuat terhadap timbulnya terminologi makki dan madani. Riwayat tersebut merupakan dialog antara Ibn Abbâs yang menanyakan kepada Ubay bin Ka’ab mengenai jumlah surah yang turun di Madinah (sa’altu Ubay bin Ka’ab ‘ammâ nazala min al-Qur’ân bi al-Madînah?) Ubay bin Ka’ab kemudian menjawab jumlahnya sebanyak 27 surat, dan sisanya diturunkan di Makkah (nazala bihâ sab’un wa ‘isyrûna suratan, wa sâ’iruhâ bi Makkah).

Menurut pemahaman penulis, barangkali bermula dari situlah timbul bibit-bibit diskursus mengenai makki dan madani. Dialog tersebut memperlihatkan sudah mulai terjadi perkembangan penggunaan istilah Mekkah dan Madinah. Semula dua kata tersebut digunakan hanya untuk menyebut nama dua kota yang menjadi pusat dakwah umat Islam, lalu penggunaannya berkembang untuk menyatakan tempat turunnya suatu ayat.

Bertolak dari itu, makki dan madani kemudian berkembang dari masa ke masa hingga membentuk tiga pendapat  mengenai definisi dan konsepnya:

  1. Berdasarkan tempat penurunan ayat (makân al-nuzûl)

Makki adalah ayat atau surat yang turun di Mekah, sedangkan Madani adalah ayat atau surat yang diturunkan di Madinah. Ayat turun di sekitar kota Mekah, seperti Minâ, ‘Arafah, dan Hudaibiyah, masih termasuk dalam ruang lingkup ayat-ayat Makkiyah. Begitu pun dengan daerah Uhud, Badr, dan Sal’ yang masih termasuk wilayah ayat-ayat Madaniyah karena letak kota-kota tersebut tidak jauh dari Madinah.

Definisi ini masih terbilang problematik sebab masih menyisakan pertanyaan bagi sebagian pihak, bagaimana dengan ayat yang turun di Baitul Maqdis?

Menjawab persoalan itu, sebagian ulama kemudian memunculkan satu kategori baru, yakni ayat yang tidak termasuk dalam kelompok makki dan madani. Bahkan ada juga yang menggenapkannya menjadi empat kategori, yaitu makki, madani, sebagian makki sebagian madani, dan bukan keduanya.

  1. Berdasarkan waktu (zamân al-nuzûl)

Berbeda dengan definisi yang pertama yang menekankan waktu penurunan ayat, definisi ini menjadikan peristiwa hijrah sebagai titik tolak perbedaan makki dan madani. Ayat atau surat yang diturunkan ketika Rasulullah saw. belum berhijrah dikategorikan sebagai makki. Sebaliknya, ayat yang diturunkan sesudah hijrah dianggap sebagai ayat madani. Pendapat ini dinilai oleh al-Suyûthi dan al-Zarkasyî sebagai pendapat yang paling masyhur. Dalam prioritas penempatannya, al-Suyûthi meletakkan pendapat ini sebagai pendapat yang pertama.

  1. Berdasarkan khitab ayat (khithâb al-nuzûl)

Makki adalah ayat yang ditujukan kepada penduduk Mekah. Jika ditujukan kepada penduduk Madinah, maka dikelompokkan dalam ayat-ayat madani. Definisi ini bertolak dari pemahaman Ibn Mas’ud bahwa khitab yang digunakan untuk masyarakat Mekah adalah yâ ayuuha al-nâs karena mayoritas penduduknya belum beriman. Adapun ayat yang menggunakan redaksi yâ ayuuha alladzîna âmanû merupakan ayat-ayat Madaniyah karena penduduk Madinah sudah banyak yang beriman.

Pendapat ini dikritik oleh sebagian pihak karena redaksi ayat yang menjadi patokan tidak konsisten dengan ayat-ayat Alquran. Tidak sedikit ditemukan ayat yang keluar dari patokan redaksi tersebut seperti QS. Albaqarah [2]: 21 dan 168 yang menggunakan redaksi ya ayuuha al-nâs padahal ayat tersebut merupakan Madaniyah.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang pasti saat ini tidak ditemukan penjelasan secara kronologis terkait kemunculan ketiga pendapat di atas. Namun, melihat dari pertanyaan dan jawaban dari dialog Ibn ‘Abbâs dan Ubay bin Ka’ab yang mengarah kepada tempat, maka tak menutup kemungkinan bahwa dari situ juga timbul definisi Makki dan Madani berdasarkan tempat. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendapat yang pertama kali timbul adalah makki dan madani berdasarkan tempat turunnya ayat (makân al-nuzûl).