Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang mengisahkan Nabi Musa as. Dari berbagai fase kisah beliau salah satu bagian yang menarik untuk dibahas adalah kisah Nabi Musa as yang mendapatkan gelar kalimullah.
وَرُسُلاً قَدْ قَصَصْناهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلاً لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسى تَكْلِيماً
Dan rasul-rasul yang telah kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan Rasul-rasul yang tidak kami ceritakan kepadamu, dan Allah berkalam kepada Musa secara langsung. (Q.S Alnisa’ [4]: 164)
Pada surah Alnisa’ [4]: 164 di atas, telah jelas bahwa Allah berkalam kepada Nabi Musa as secara langsung. Pada ayat 164 tersebut, Imam al-Qurthubi mengutip riwayat dari Wahb bin Munabbih yang mengisahkan awal mula Allah memberi gelar kalima(n) kepada Nabi Musa as atau lebih sering kita sebut dengan kalimullah, yang berkalam atau berbicara dengan Allah. Disebutkan bahwa untuk dapat mengamalkan hal yang diridai Allah, Nabi Musa as bertanya, “Rabbi mengapa Engkau menjadikanku sebagai kalima(n)?”
Baca Juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak
“Ingatkah engkau,” kata Allah kepada Nabi Musa as, “Di saat satu anak kambingmu menyimpang dari gerombolan. Kau mengikutinya seharian hingga ia melelahkanmu. Lalu kau menangkap, mencium, dan merangkulnya di pelukanmu. Kau katakan padanya, ‘Kau melelahkanku dan melelahkan dirimu.’ Tidak sedikitpun kau marah atasnya, karena itulah Aku menjadikanmu kalima(n) (yang berkalam)”.
Al-Qurtubi tidak menjelaskan lebih lanjut maksud kisah tersebut. Setidaknya kisah tersebut dapat dipahami jika dikaitkan dengan surah Alnisa’ [4]: 27.
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلاً عَظِيماً
Dan Allah menghendaki taubat atas kalian dan orang-orang yang mengikuti syahwat-syahwat menginginkan kalian berpaling sejauh-jauhnya.
Nabi Musa tetap bersikap lembut dan pemaaf kepada anak kambing tersebut, meskipun ia menyimpang jauh dari jalannya. Hal ini karena sejatinya yang diinginkan Nabi Musa as adalah kembalinya gembala kecil itu. Meskipun ia sama sekali tidak memerhatikan Nabi Musa as yang senantiasa mengikutinya, hal ini tidak menjadi soal bagi beliau.
Sikap pengampun dan lembut Nabi Musa as di atas seakan menjadi gambaran dari surah Alisra’ [17]: 44. Ayat ini menyinggung bagaimana manusia tidak memahami bahwa alam raya bertasbih kepada-Nya. Sementara dalam banyak kesempatan, manusia bukan hanya tidak bertasbih, tetapi juga terlena dan lupa akan perhatian-Nya.
تُسَبِّحُ لَهُ السَّماواتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَاّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كانَ حَلِيماً غَفُوراً
Tujuh langit dan bumi beserta yang berada di dalamnya bertasbih kepada-Nya, tiadalah segala sesuatu kecuali ia bertasbih dengan memuji-Nya akan tetapi kalian tidak mengerti akan tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Menahan amarah Maha Pengampun. (Q.S Alisra’ [17]: 44)
Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash
Al-hilm menurut al-Raghib al-Ashfihani adalah kemampuan untuk menahan diri dari gejolak amarah. Di titik ini, kisah Nabi Musa as di atas dapat dikaitkan dengan surah Alisra’ [17]: 44. Bahwa Allah adalah Maha Menahan amarah dan Maha Pengampun, meskipun para hamba-Nya sering lalai dalam mengingatnya, bahkan melakukan hal yang tidak diridai-Nya, Dia senantiasa membuka pintu untuk manusia kembali bertaubat.
Dari sini, dapat dimengerti bahwa kalam langsung itu sendiri tidak meniscayakan adanya pertemuan langsung secara hakikat. Seperti dikatakan oleh Ibn Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bahwa makna berkalam tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadi gambaran akan hulul-nya Nabi Musa as.
Menurut Ibn Asyur, kalam dalam konteks ini bukanlah ucapan dengan lafaz seperti definisi kalam pada umumnya. Hal ini karena mustahil Allah demikian, karena ucapan berlafaz seperti manusia pada umumnya adalah hal yang ‘baru’, sementara Allah memiliki sifat qadim.
Oleh karenanya, makna kalam di sini dimaknai Ibn Asyur sebagai majaz. Yakni, kalam tersebut adalah penunjuk atas maksud Allah dengan bahasa yang dipahami oleh penerima kalam dan diyakini bahwa hal tersebut adalah bagian dari kuasa Allah yang telah menganugerahkan ilmu untuk memahami pesan tersebut. Pernyataan Ibn Asyur di atas dapat ditemui dalam tafsir beliau atas surah Ala’raf [7]: 144.
قالَ يَا مُوسى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسالاتِي وَبِكَلامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dia berfirman wahai Musa Aku telah memilihmu atas manusia dengan risalah-risalah-Ku dan kalam-Ku maka ambillah apa yang Kuberikan padamu dan jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.
Baca Juga: Etika Kritik Terhadap Penguasa Ala Nabi Musa
Imam al-Razi menyebut bahwa ayat ini adalah tasliyah atau hiburan bagi Nabi Musa as yang tidak diizinkan untuk melihat Allah secara langsung, sebagaimana termaktub dalam ayat 143. Al-Razi juga menambahi bahwa meskipun tidak dapat melihat Allah, Nabi Musa as dianjurkan untuk tetap menyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya berupa pengkhususan akan risalah dan kalam.
Melalui penjelasan para ulama tafsir di atas, dalam beberapa ayat menjadi jelas bahwa gelar kalimullah Nabi Musa as didapatkan beliau karena ilmu dan pengamalan yang bersumber dari Allah. Bahwa tidak kuasanya beliau untuk melihat Allah tidak menjadi penghalang untuk tetap berkomunikasi dengan-Nya.
Gelar kalimullah Nabi Musa as dapat menjadi ibrah bagi manusia untuk menyukuri setiap makna Alquran yang sampai kepada kita. Bisa jadi, makna tersebut adalah karunia khusus dari Allah kepada kita dan bentuk komunikasi dan perhatian dari-Nya.
Wallahu a’lam.