Kebanyakan orang mungkin meyakini bahwa perbaikan pendidikan dan keilmuan akan berimbas pada kemajuan peradaban. Adapun faktanya tidak selalu demikian. Pesatnya keilmuan justru dapat menuntun pada dekadensi moral jika para ilmuwannya presistens untuk mendapatkan keuntungan semata. Hal ini dibuktikan dengan sejarah Bani Israil yang disebutkan dalam Alquran.
Dahulu pada masanya, Bani Israil pernah menjadi umat paling unggul. Alquran menyebut hal tersebut saat mereka diberi kitab suci, kebijaksanaan, dan kenabian, di samping anugerah akan materi yang baik. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama ketika muncul ‘serangan’ dari para ilmuwan yang memiliki tendensi meraup keuntungan untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Dalam surah Aljatsiyah [45]:16 disebutkan.
وَلَقَدْ آتَيْنا بَنِي إِسْرائِيلَ الْكِتابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْناهُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ وَفَضَّلْناهُمْ عَلَى الْعالَمِينَ
Dan sungguh kami telah memberikan kepada Bani Israil Kitab suci, kebijaksanaan, kenabian, rezeki dari berbagai kebaikan, dan kami unggulkan mereka atas seluruh manusia.
Baca Juga: Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya
Pada artikel sebelumnya telah disebutkan mengenai keterangan akan sifat kitab suci yang meniscayakan adanya implementasi. Konteks ayat ini menyebutkan bahwa Bani Israil pada masanya pernah menjalankan kandungan kitab yang turun kepada Nabi Musa as dengan baik. Oleh karenanya, pada ayat ini kata Taurat tidak disebutkan, kecuali hanya sifatnya yakni al-kitab. Pada masa tersebut pula, diturunkan bagi mereka berbagai keberkahan, bahkan dalam bentuk keutamaan yang melebihi umat lain.
Al-Razi menyebut bahwa saat diberikan kepada mereka kenikmatan agama dan dunia, maka disebutkan akan keunggulan mereka atas seluruh manusia, dengan derajat dan posisi yang melebihi umat lain pada zamannya. Al-Razi menegaskan bahwa para mufasir memaknai kalimat terkahir pada ayat ini dengan keutamaan mereka atas seluruh bangsa yakni pada masa itu.
Penegasan al-Razi tersebut penting, karena pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa kaum Bani Israil mengalami perpecahan dan perselisihan justru setelah datangnya ilmu kepada mereka. Dalam surah Aljatsiyah [45]: 17 disebutkan;
وَآتَيْناهُمْ بَيِّناتٍ مِنَ الْأَمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلَاّ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ فِيما كانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Dan kami berikan kepada mereka penjelasan tentang perkara (agama) maka tidaklah mereka berselisih melainkan setelah datang ilmu kepada mereka karena kebencian di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan pada hari kiamat.
Terdapat tiga opsi pemaknaan terkait redaksi bayyinat min al-amri pada ayat di atas menurut al-Razi. Pertama, yakni petunjuk akan perkara duniawi. Kedua, yakni penjelasan terkait Nabi Muhammad saw yang hijrah dari Makkah menuju Madinah. Ketiga adalah mukjizat Nabi Musa as.
Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran
Adapun terkait redaksi, mereka berselisih ketika ilmu telah datang kepada mereka, menurut al-Razi adalah satu hal yang mengherankan. Hal ini karena menurutnya pencapaian akan ilmu akan menghilangkan perbedaan, sementara pada konteks mereka tersebut justru datangnya ilmu mendatangkan perpecahan.
Masalah tersebut dapat terjadi, menurut al-Razi, karena mereka mencari ilmu bukan karena ilmu itu sendiri. Pencarian mereka akan ilmu dimaksudkan untuk mencari kekuasaan dan dominasi. Sehingga, dalam konteks ayat ini ketika mereka telah berilmu maka mereka melawan. Dapat juga, ilmu di ayat ini dimaknai sebagai pentunjuk, yang jika dipikirkan akan mengantarkan pada hakikat kebenaran. Akan tetapi, dalam konteks hasad dan pertentangan maka mereka berselisih sehingga perseteruan pun muncul.
Keterangan terkait perseteruan mereka juga tercatat dalam surah Ali’imran [3]: 19. “Dan tidaklah para ahli kitab berselisih kecuali setelah datang ilmu kepada mereka”. Ibn Asyur menyebutkan bahwa perpecahan Bani Israil bersamaan dengan berkembangnya keilmuan. Hal ini dapat terjadi menurut beliau karena buruknya pemahaman agama mereka.
Perpecahan Bani Israil sepeninggal Nabi Musa as terjadi tidak hanya sekali. Setelah Nabi Sulaiman as perpecahan mereka mengerucut pada dua kerajaan besar yakni kerajaan Israil dan Yahuda. Kerajaan Israil menjalankan agama yang berbeda dengan agama kerajaan Yahuda, demikian dikatakan Ibn Asyur, sementara keduanya berasal dari sumber yang sama.
Konteks tentang dekandensi Bani Israil di tengah tingginya tingkat keilmuan mereka akan semakin kita pahami dengan merujuk surah Albaqarah [2]: 75.
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ ما عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Apakah kalian menginginkan mereka percaya kepada kalian sementara sungguh sebagian dari mereka mendengarkan kalam Allah kemudian mereka mengubahnya setelah memahaminya dan mereka mengetahui.
Melalui ayat di atas, dapat diketahui siapakah yang menjadi penyebab kemunduran Bani Israil. Ibn Asyur menyebutkan bahwa maksud dari mendengarkan kalam Allah pada ayat di atas adalah mendengar firman-Nya melalui Rasul, bagi mereka yang berada pada zaman Nabi Musa as. Adapun bagi mereka yang datang setelahnya maka pendengaran didapatkan dengan cara menukil. Oleh karenanya, golongan ini menurut Ibn Asyur adalah dari kalangan ulama mereka, bukan dari kalangan umum.
Adapun tahrif menurut Ibn Asyur yakni menyimpangkan wahyu atau syariah dari tujuannya melalui penggantian, penyembunyian, penghapusan, dan juga penafsiran yang jauh. Hal yang hanya dapat dilakukan oleh kalangan terdidik yang familiar dengan narasi sosial dan politik praktis.
Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit
Pendapat Ibn Asyur bahwa yang melakukan tahrif adalah kalangan ulama mereka sama dengan yang dikatakan oleh al-Razi. Menurut beliau, hal ini karena mereka mengetahui kebenaran kitab dan kerusakan pendapat tersebut, namun tetap menyengaja untuk menghancurkan tujuan yang telah dijelaskan oleh Allah. Pendapat Al-Razi dikuatkan dengan surat Ali’imran [3]: 187, ‘dan mereka menjualnya (ayat-ayat suci) dengan harga yang murah’.
Terkait redaksi setelah memahaminya dan mereka mengetahui hal ini bukanlah pengulangan yang tanpa faedah menurut al-Razi. Mengutip al-Qaffal, setelah dipahami maksud dari kalam Allah selanjutnya, mereka akan menarasikan tafsir yang rusak meskipun diketahui bahwa itu bukanlah maksud dari kalam Allah. Pengetahuan akan rusaknya narasi tersebut dan risiko akan menanggung dosa dan siksa dari Allah tidak membuat mereka berhenti untuk melakukan tahrif karena kerasnya hati yang dimiliki.
Demikian tingginya pengetahuan justru dapat mengantarkan pada kemunduran dan perpecahan, jika tidak diiringi dengan kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan narasi kebenaran. Kesakralan kitab suci dapat memudar di tangan oknum yang mencari keuntungan untuk diri dan golongannya saja.
Wallahu a’lam