Term qiraat, talaqqi, dan tilawah bukanlah suatu hal yang asing bagi pegiat studi Alquran dan tafsir. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan konteks penggunaan yang berbeda. Tulisan ini akan membedah apa hubungan dan perbedaan antara qiraat, talaqqi, dan tilawah.
Qiraat
Dimulai dari term qiraat, Secara terminologi, qira’at (قراءات) merupakan bentuk jama‘ dari kata qira’ah (قراءة) yang merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a-yaqra’u (قرأ – يقرأ) yang berarti bacaan. Adapun secara istilah, Al-Zarqani menjelaskan pengertian istilah qira’at sebagai suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ (ahli qiraat).
Setiap mazhab berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Alquran dengan kesesuaian riwayat dan cara baca darinya, baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan bentuknya.
Pengertian secara istilah juga dikemukakan oleh Ibnul Jazar sebagaimana yang dikutip oleh Sya’ban Muhammad Ismail, yakni ilmu mengenai cara membaca lafaz-lafaz Alquran serta perbedaan cara membacanya menurut versi orang-orang yang menukilnya. Sedangkan Abduh Zulfidar Akaha menawarkan definisi qira’at (قراءات) secara istilah sebagai “ilmu yang mempelajari tata cara menyampaikan atau membaca kalimat-kalimat Alquran dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya.”
Baca juga: Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq serta Contohnya dalam Ilmu Tajwid
Dilihat dari macam-macam jenis qira’at dari segi sanadnya, al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, membaginya menjadi enam, yakni mutawattir, masyhur, ahad, dan syaz, maudu‘, dan mudraj.
Sedangkan qira’at dilihat dari jumlahnya terbagi menjadi tiga, yakni qira’at sab‘ah (menisbatkan qira’ah-nya pada imam qurra’ tujuh yang masyhur yakni Nafi’, Ibn Katsir, Abu Amru, Ibnu Amir, Ashir, Hamzah, dan Kisa’i), qira’at ‘asyrah (yakni qira’at sab‘ah ditambah dengan tiga qira’at yang disandarkan pada Abu Ja‘far, Ya‘qub, dan Khalaf Al-‘Asyir), dan qira’at arba‘ ‘asyrah (yakni qira’at ‘asyrah ditambah dengan empat qira’at yang disandarkan pada Ibnu Muhaishin, Al-Yazadi, Hasan Al-Bashri, dan Al-A‘masy).
Dari ketiga qira’at tersebut, qira’at sab‘ah yang paling masyhur dan terkenal, menyusul qira’at ‘asyrah.
Talaqqi
Pada perkembangannya, qira’at tidak dapat lepas dari talaqqi, maksudnya yang dijadikan pengambilan Alquran ketika pada masa Nabi hingga sekarang ini adalah melalui periwayatan dan talaqqi dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Talaqqi dan riwayat inilah yang menjadi kunci utama dalam membaca Alquran secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah kepada sahabatnya.
Tilawah
Adapun tilawah secara etimologi, kata tersebut merupakan bentuk mashdar dari kata tala-yatlu-tilawah (تلاوة – تلا – يتلوا) yang berarti membaca atau menelaah. Selain itu, dalam kamus Al-Munawwir, kata tilawah (التلاوة) sama dengan (القراءة) yang artinya bacaan. Begitu pun dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, tala تلا artinya membaca, sedangkan bentuk mashdar-nya تلاوة memiliki arti bacaan atau tilawah.
Tilawah sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pembacaan (ayat Alquran) dengan baik dan indah. Dari sekian pengertian secara bahasa sebagaimana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tilawah merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi salah satu kata (tilawah) dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti bacaan atau pembacaan kitab suci Alquran.
Baca juga: Mengenal Klasifikasi Qiraat dan para Imam Mazhabnya
Kata utlu (أتل) terambil dari kata (تلاوة) tilawah, yang pada mulanya memiliki arti mengikuti. Seorang yang membaca adalah seorang yang hati atau lidahnya mengikuti apa yang terbilang dari lambang-lambang bacaan, huruf demi huruf, bagian demi bagian dari apa yang dibacanya. Jika misalnya seseorang berkata “aba”, maka untuk membacanya seseorang harus melihat dan memperhatikan ketiga huruf itu dan mengikuti satu demi satu, sehingga lahir bacaan “aba”.
Kata tilawah sendiri tercatat dalam Alquran, salah satunya pada Q.S. Al-Baqarah: 121, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. Mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Ibnu Katsir dalam Tafsir ibn Al-Katsir menjelaskan حَقَّ تِلَاوَتِهِ yang berarti menghalalkan apa yang dihalalkan Allah, mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, membacanya (Alquran) seperti apa yang telah diturunkan oleh Allah, tidak men-tahrif kalimat perkataan dari tempatnya, dan tidak mentakwilnya dari sesuatu selain apa yang mestinya ditakwilkan.
Baca juga: Beda Qiraat Alquran, Beda Pula Penetapan Hukumnya
Terdapat penjelasan lain yang diutarakan oleh Nashir Al-Din Abu Sa‘id dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Baidawi. Adapun yang dimaksud dengan يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ adalah mempertimbangkan atau memperhatikan pengucapan lafaz agar tidak tahrif, mentadaburi makna yang dikandungnya, dan mengamalkan apa yang ditetapkannya.
Adapun tilāwah menurut istilah sebagaimana yang diungkapkan Ziad Khaled Moh al-Daghamen adalah mengikuti petunjuk dan aturan-aturan kitab suci. Ini berarti keharusan berkesinambungan dalam memahami makna dan kebenaran-kebenaran (haqaiq)-nya dalam hati.
Qira’ah berbeda dengan tilāwah yang lebih dikhususkan untuk Alquran saja. Menurut Abu Hilal al-‘Askari yang dikutip dari Ar-Raghib al-Asfahani di dalam al-Furq al-Lughawiyah dan Murtadha al-Zubaidi di Taj al-‘Ursy menyatakan bahwa al-tilawah itu dikhususkan untuk makna mengikuti kitabullah dengan membaca (qira’ah) dan mematuhi (irtisam) kandungannya; baik perintah, larangan, motivasi atau ancaman. Jadi dapat dikatakan bahwa tilawah lebih khusus dari qira’ah. Setiap tilāwah merupakan qira’ah, tetapi tidak setiap qira’ah merupakan tilāwah.
Baca juga: Alquran: Antara Ragam Qiraat dan Sumber Ilmu Nahwu
Alquran sendiri membedakan penggunaan kata tilāwah dengan kata qira’ah. Meskipun secara harfiah memiliki kesamaan definisi, tetapi dalam Alquran jika menyebut kata tilāwah dengan berbagai bentuk kalimatnya yang bermakna membaca (karena ada makna lain dari kata ini), maka objek bacaan yang dimaksud adalah sesuatu yang agung dan suci atau benar. Adapun qira’ah, maka objeknya lebih umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya boleh jadi positif atau negatif.
Hal tersebut yang menjadi sebab Q.S Al-Baqarah: 121 menggunakan kata utlu, karena objeknya adalah wahyu. Sedangkan perintah membaca pada wahyu pertama adalah iqra’ yang objeknya dapat mencakup segala macam bacaan, termasuk di dalamnya adalah wahyu-wahyu Alquran. Boleh jadi, kata utlu yang secara harfiah berarti mengikuti teks-teks yang dipilih yang objeknya suci atau benar, untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan pengamalan.