Tidak lama lagi, tepatnya pada tahun 2024, masyarakat Indonsia akan melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin negara yang baru. Sudah lumrah dalam sebuah pesta demokrasi bahwa jauh hari sebelum pemilihan dilakukan, para tim sukses dari berbagai calon mengadakan kampanye dan sosialisasi. Tujuannya adalah untuk meraup suara dan simpati masyarakat terhadap pasangan calon yang didukungnya.
Akan tetapi, tidak jarang ditemukan pengikut fanatik dari seorang calon presiden menyebar keburukan calon lain. Tidak hanya dilakukan ketika kampanye, berita-berita mengenai keburukan satu paslon juga berseliweran di media sosial. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, bagaimana hukum menyebarluaskan rekam jejak yang tidak baik dari seorang tokoh, dalam hal ini calon pemimpin negara?
Pada dasarnya, menceritakan keburukan seseorang adalah tindakan yang dilarang dalam agama. Dalam Alquran, Allah swt. berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ} [الحجرات: 12]
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Q.S. Alhujurat [49]: 12.
Ayat di atas mengandung setidaknya tiga larangan; yaitu berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan gibah. Bahkan Allah Swt. memberi perumpamaan atas orang yang membicarakan keburukan orang lain dengan memakan bangkai saudara, dan itu tentu sangat menjijikkan.
Baca juga: Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran
Ada perbedaan riwayat dari para ulama tafsir terkait latar belakang penurunan ayat yang berisi larangan gibah tersebut. Salah satunya diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij bahwa larangan gibah turun terkait peristiwa yang terjadi pada Sahabat Salman al-Farisi ra., yang ngorok saat tidur setelah selesai makan. Kemudian ada dua orang yang kemudian menceritakan perihal tersebut. Setelah itu, turunlah Surah Alhujurat ayat 12. [Al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-ma’tsur, juz 7, hal. 570].
Namun, keharaman gibah tidak berlaku mutlak. Terdapat beberapa kondisi yang memperbolehkan seseorang untuk membicarakan keburukan orang lain. dalam Kitab al-Adzkar, Imam al-Nawawi mengatakan:
اعلم أنَّ الغيبةَ وإن كانت محرّمة فإنها تُباح في أحوال للمصلحة. والمُجوِّزُ لهَا غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصولُ إليه إلا بها
“Ketahuilah bahwasanya gibah, meski diharamkan, terkadang dibolehkan dalam beberapa kondisi karena alasan maslahat. Perkara yang membolehkan gibah adalah adanya tujuan yang benar secara syara yang bisa diperoleh hanya dengan gibah.” [Al-Adzkar, juz 1, hal. 340].
Masih dalam kitab yang sama, Imam al-Nawawi menyebutkan bahwa ada enam faktor yang melegalkan gibah. Diantaranya adalah memperingatkan orang lain dari keburukan seseorang. Salah satu contoh yang beliau kemukakan adalah memperingatkan seorang penuntut ilmu yang ingin menimba ilmu dari seorang guru yang ahli bidah, atau fasik, dan kriteria-kriteria lain yang dianggap berpotensi menggiring murid tersebut pada hal yang tidak baik.
Baca juga: Penjelasan tentang Fitnah Lebih Kejam daripada Pembunuhan
Akan tetapi, beliau menegaskan bahwa upaya tersebut harus dilandasi dengan niat yang ikhlas untuk semata-mata memberikan nasihat. Bahkan, menurut beliau, tindakan di atas merupakan hal yang seyogyanya diberi batasan-batasan ketat. Pasalnya, kerap kali tindakan tersebut dilakukan bukan berdasarkan niat yang tulus, melainkan karena dimotori oleh perasaan iri sehingga apa yang semula berupa nasihat dapat disusupi oleh tipu daya setan. [al-Adzkar, hal. 341]
Terkait hal ini, menyebarluaskan aspek negatif dalam diri seorang pemimpin atau calon pemimpin pada dasarnya boleh dilakukan karena disinyalir ada maslahat. Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi di atas, hal tersebut harus benar-benar dilakukan dalam rangka untuk memberikan nasihat kepada kaum muslim agar mereka lebih selektif dalam memilih pemimpin. Artinya, sangat tidak dibenarkan jika tindakan tersebut dilakukan atas dasar persaingan atau bahkan menjatuhkan pasangan calon lain.
Dalam Kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan bahwa,
أَمَّا إِذَا كَانَ لأِجْل عَدَاوَةٍ أَوْ تَفَكُّهٍ بِالأْعْرَاضِ وَجَرْيًا مَعَ الْهَوَى فَذَلِكَ حَرَامٌ
“Adapun jika hal itu (gibah) dilakukan karena tujuan permusuhan, menfitnah atau dilakukan berdasarkan hawa nafsu maka hal itu dihukumi haram.” [Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 12, hal. 44]
Selain itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah harus tetap mempertimbangkan aspek validitas dari informasi yang ingin disebarluaskan. Jangan sampai kita terjebak dalam lingkaran kedustaan akibat kurang selektif dalam memilah dan memilih berita.
Oleh karenanya, langkah paling selamat adalah sebaiknya kita tidak ikut cawe-cawe dalam narasi-narasi politik terutama yang bersangkutan dengan rekam jejak kurang baik dari seorang calon pemimpin. Terlebih dalam situasi menjelang pemilu seperti sekarang, banyak berita mengenai sisi negatif paslon tertentu yang belum terbukti kebenarannya. Parahnya lagi, tidak sedikit informasi-informasi serupa dipublikasikan dengan tujuan menjatuhkan nama baik paslon tertentu. Jika dalam kondisi seperti ini upaya menyebarkan sisi negatif tetap dilakukan, maka besar kemungkinan kita akan terjebak kepada dosa fitnah. Wallahu a’lam.