Perasaan penat dan bosan dengan rutinitas pekerjaan dan aktivitas sehari-hari adalah sesuatu yang normal, manusiawi, dan alamiah. Untuk alasan itulah, manusia mencari solusi untuk mereduksi dan merelaksasi pikiran dan tubuh, salah satunya adalah dengan travelling atau berpergian dengan maksud berlibur. Dilihat dari tujuannya, berdasarkan TGM Global Survey (2023), 71 % orang Indonesia berpergian ke luar negeri (terhitung dalam 12 bulan terakhir) adalah untuk bersantai menikmati waktu senggang (leisure). Faktor lain yang menjadi alasan untuk melakukan perjalanan menurut “2023 Global Travel Trends Report”, yang dirilis oleh americanexpress.commenemukan bahwa: 75 % responden melakukan travelling ke destinasi spesifik karena terinspirasi oleh sosial media; 64 % responden terinspirasi untuk berpergian dari acara tv, berita, dan film; dan 48 % responden menyetujui bahwa mereka ingin melakukan travelling ke suatu tempat yang dapat mereka pamerkan di media sosial.
Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran
Data-data tersebut di atas, secara sederhana memberikan gambaran tentang aktivitas travelling yang hanya berorientasi pada pencarian kesenangan dan kebutuhan pengakuan sosial. Jika demikian, maka, travelling hanya menjadi pelarian sementara dari kesibukan. Tidak ada tujuan-tujuan ideal yang mentransformasi dan mencerahkan diri. Pada posisi inilah, konsepsi Alquran tentang travelling menjadi sangat urgen. Persoalan mengenai apa orientasi ideal dan implikasi travelling dalam sudut pandang Alquran adalah sesuatu yang penting untuk didedah dan dipahami oleh manusia modern.
Travelling yang Kontemplatif
Berpergian dalam Alquran, setidaknya, diistilahkan dengan dua asal kata, yaitu rahala dan sara. Sara memilki makna kepergian dan perjalanan, dalam bentuk lainnya terdapat pada Q.S. Al’ankabut [29]: 20 dan Annaml [27]: 69. Sedang kata rahala, dalam bentuk lain, rihlah, terdapat pada Q.S. Quraisy [106]: 1-4. Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya Khawathiru Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (juz 18, h. 118) memaknai derivasi kata tersebut, al-sayr, dengan makna al-Intiqal (perpindahan), yaitu perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Sedang, al-rihlah, menurut Jibran Mas’ud dalam Mu’jam al-Ra’id al-Lughawi (jilid 1, h. 1060) adalah al-irtihal meninggalkan satu tempat ke tempat lain, seperti halnya perjalanan untuk berwisata (rihlah al-siyahiyyah). Dua kata itu, dalam konteks masing-masing, memiliki makna yang berbeda-beda. Travelling yang menggunakan kata sara bersifat kontemplatif, sedangkan rahala adalah jenis perjalanan berkepentingan ekonomi.
Pertama sekali, orientasi dan nilai penting tentang konsep travelling yang digagas oleh Alquran adalah aspek kontemplatifnya. Istilah ini disebut oleh Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dengan istilah al-siyahah li al-ta‘ammul wa al-i’tibar, yaitu perjalanan kontemplatif, sebuah perjalanan yang bernilai, menjadi wasilah perenungan dan pembelajaran atas segala bukti keuasaan Allah. Hal ini tergambar pada Q.S. Al-Ankabut [29]: 20.
قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ بَدَاَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللّٰهُ يُنْشِئُ النَّشْاَةَ الْاٰخِرَةَ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Katakanlah, “Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan (semua makhluk). Kemudian, Allah membuat kejadian yang akhir (setelah mati di akhirat kelak). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Menurut Syaikh al-Thanthawi dalam tafsir al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (juz 11, h. 25), ayat ini mendorong manusia untuk berjalan dan menelusuri segala ciptaan Allah, tentang bagaimana permulaan, tahapan, sifat dan karakteristik serta keberagaman segala ciptaan-Nya. Perjalanan yang dilakukan manusia, hendaknya, tidak hanya berorientasi pada menikmati segala keindahan ciptaan-Nya, tetapi juga berusaha untuk memahami secara mendalam tentang proses penciptaan segala keindahan itu, yang semuanya bermuara pada kebesaran dan kekuasaan Allah. Inilah yang disebut dengan travelling komtemplatif jenis pertama, perjalanan untuk menikmati dan merenungkan keindahan alam. Objek-objek wisata dalam konteks ini adalah alam di antaranya: gunung, lautan, hutan, sungai dan sejenisnya.
Jenis kedua dari travelling kontemplatif adalah, perjalanan yang berorientasi pada proses pembelajaran dan memahami peringatan Tuhan. Hal itu terkandung dalam Q.S. Annaml [27]: 69:
قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِيْنَ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Berjalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.”
Ayat ini, menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani (juz 3, h. 421) mengisyaratkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia adalah wasilah untuk memetik ‘Ibrah (pelajaran), sekaligus merupakan tempat turunnya insight (wawasan). Bumi harus menjadi objek yang terus dipikirkan secara mendalam. Di dalamnya, terdapat kesempurnaan kekuasaan Allah dengan segala kehendak-Nya. Bumi juga menjadi bukti kesempurnaan ciptaan-Nya. Di bumi, telah terbentang berbagai pelajaran yang mengajarkan kebaikan dan dorongan untuk menjauhi keburukan.
Imam al-Alusi dalam kitab tafsir Ruh al-Ma’ani (juz 10, h. 227), menjelaskan bahwa Keburukan terdapat pada pendustaan yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu terhadap para Nabi dan akhir yang celaka bagi mereka, serta kebaikan bagi orang-orang yang beriman, yang mempercayai para utusan. Isyarat-isyarat itu adalah kelembutan Tuhan bagi orang-orang beriman agar mengesakan Allah dan meyakini hari akhir. Dalam rangka mempelajari hal-hal tersebut, maka tujuan perjalanan sejarah dan religi adalah sesuatu yang tepat, seperti mengunjungi: masjid, museum, makam para utusan Allah dan orang-orang saleh, situs-situs suci, kota-kota bersejarah dan sejenisnya yang mendorong untuk merenungkan berbagai pelajaran kebaikan dan memahami akibat-akibat buruk dari membelakangi kebenaran dan perbuatan jahat.
Travelling Berkepentingan Ekonomi
Selain travelling yang kontemplatif, Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi juga menyebut travelling yang berorientasi pada perdagangan dan investasi (al-Siyahah li al-Tijarah wa al-Istitsmar). Di dalam Alquran ayat yang memberi gambaran tentang perjalanan jenis ini adalah Q.S. Quraisy [106]: 1-4:
لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ * إِيلاَفِهِمْ رِحْلَةَ ٱلشِّتَآءِ وَٱلصَّيْفِ *فَلْيَعْبُدُواْ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِيۤ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ
“Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan), maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah), yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.”
Surah ini dijelaskan oleh para ulama tafsir, secara historis titik tekannya terdapat pada siapa, kapan dan bagaimana melakukan travelling yang berkepentingan ekonomi. Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (juz 20, h. 204), dengan mengutip pendapat al-Harawi, menjelaskan profil orang-orang Quraisy yang memiliki dominasi kuat dalam perdagangan antar wilayah adalah empat orang bersaudara, yaitu: Hasyim, ‘Abdus Syams, al-Muthallib dan Naufal bin ‘Abdi Manaf. Empat saudara ini membangun jaringan dagang dengan berbagai wilayah. Hasyim membangun relasi dengan raja Syam. ‘Abdus Syam membangun komunikasi dagang ke Habasyah. al-Muthallib terhubung dengan jaringan dagang Yaman. Naufal bin ‘Abdi Manaf berhubungan dagang ke Persia.
Semua komunikasi dan relasi perdagangan itu dimaksudkan untuk menjamin keamanan mereka dalam misi rihlah (perjalanan) dagang. Empat bersaudara dari Quraisy tersebut, yang telah membangun jaringan ke berbagai wilayah tujuan dagang, disebut dengan al-Mujirin (orang-orang dijamin keamanannya). Selain itu, keistimewaan orang-orang Quraisy juga, disebabkan oleh kesucian tempat tinggal mereka yaitu Mekah. Kehormatan kedudukan mereka sebagai orang Mekah membuat perjalanan perdagangan mereka tidak diganggu.
Baca juga: Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)
Travelling bermotif ekonomi yang dilakukan oleh orang Quraisy, menurut Syaikh Thanthawi dalam tafsir al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (juz 15, h. 515) terjadwal dengan baik. Ketika musim dingin mereka melakukan perjalanan ke Yaman, dan ketika musim panas ke Syam. Tujuan perjalanan mereka adalah memperoleh keuntungan perdagangan untuk kebutuhan dan kepentingan pangan serta sandang.
Melihat tujuan berdagang orang-orang Quraisy, sesungguhnya, adalah sesuatu yang baik dan mulia. Tetapi idealnya, orientasi perjalanan yang mereka lakukan itu tidak hanya soal keuntungan (profit), melainkan juga bertujuan kepada Tuhan; bernilai tauhid. Hal inilah, yang menurut Imam al-Samarqandi dalam tafsir Bahr al-‘Ulum (juz 3, h.524) menjadi tugas Nabi Muhammad, yaitu untuk mengajak orang-orang Quraisy berkumpul atas dasar keimanan, menyembah Allah pemilik Ka’bah yang menciptakan kebaikan, yang memuliakan di dunia dan akhirat, yang memberi makan (mengenyangkan) saat ditimpa kelaparan, yang memberi keamanan dari segala ketakutan yang datang dari musuh, dan dari penyakit kusta.
Travelling dan Pembaharuan Berbagai Kesadaran
Pada semua jenis dan karakteristik perjalanan yang digambarkan oleh Alquran -bahkan, pada yang bermotif ekonomi sekalipun- terikat dengan satu semangat utama, yaitu berorientasi ketuhanan. Dibalik keindahan alam ada Allah Yang Maha Pencipta. Di balik tempat dan simbol-simbol keagamaan, terkandung peristiwa yang memberikan pelajaran untuk semakin beriman. Dalam perjalanan yang memiliki kepentingan ekonomi, terdapat penjagaan dan keamanan yang dijamin oleh Allah. Melakukan travelling, adalah kesiapan mendayagunakan akal dan hati untuk belajar, memahami, dan merenungi tanda-tanda kebesaran Tuhan. Seorang traveller, adalah Ulil Abshar, yang menggunakan rasio dan intuisi untuk memahami isyarat Tuhan melalui segala ciptaan-Nya. Dengan melakukan perjalanan, seseorang idealnya menjadi “tercerahkan”, mencapai pembaruan kesadaran tentang hubungannya dengan Maha Pencipta dan segala makhluk-Nya yang terwujud dalam sikap dan tindakan: menjadi orang yang dekat dengan Tuhan, mencintai manusia lain, menjaga alam (flora dan fauna) dan memahami dampak-dampak yang akan ditimbulkan dari merusak alam. Konsep travelling dalam Alquran benar-benar menyelisihi model travellling yang hanya bertujuan untuk memuaskan keinginan dan status sosial. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.