BerandaKisah Al QuranSyekh al-Sya’rawi; Tempat Persinggahan Nabi Adam a.s Bukan Surga

Syekh al-Sya’rawi; Tempat Persinggahan Nabi Adam a.s Bukan Surga

Sebagai seorang muslim, wajib meyakini kisah-kisah yang diceritakan dalam Alquran, termasuk kisah penciptaan dan perjalanan hidup Nabi Adam as. sebagai manusia pertama. Kisah mengenai kehidupan Nabi Adam as. dan Siti Hawa memang selalu menarik untuk di bahas. Mulai dari peristiwa pohon khuldi hingga statusnya sebagai manusia pertama dunia untuk mengemban tugas khilafah.

Dalam Alquran, kisah hidup Nabi Adam as. bisa dijumpai dalam surah Albaqarah [2]:30-39, Ala’raaf [7]:11-25, Alhijr [15]:26-38, Alisra’ [17]:61-65, Thaha [20]:115-127, dan Shad [38]:71-78. Dalam surah Albaqarah disebutkan bahwa Nabi Adam tinggal di jannah sebelum akhirnya beliau diturunkan ke dunia dengan skenario yang telah dirancang sedemikian rupa oleh Allah Swt.

Syekh Wahbah al-Zuhaili menandaskan bahwa terdapat beberapa kemusykilan dalam kisah perjalanan hidup Nabi Adam dalam Alquran yang kemudian menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam di kalangan ulama. Di antara kemusykilan tersebut adalah makna dari kata jannah yang menjadi tempat persinggahan sementara bagi Nabi Adam. Apakah ia jannah yang sering dimaknai sebagai surga, atau hanya sebagai tempat pelatihan dan uji coba sebelum akhirnya beliau diberi beban penuh untuk menjadi khalifah di muka bumi? (Al-Tafsir al-Munir, Juz 1, 139-140)

Baca Juga: Tafsir al-Azhar: Nabi Adam, Benarkah dari Surga Diturunkan di Sumatera (Pulau Swarna Dwipa)?

Sebelum dikaji lebih lanjut, berikut salah satu ayat Alquran yang mengisahkan tentang kondisi Nabi Adam as. sebelum ‘turun’ dari jannah,

وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!. Q.S. Albaqarah [02]: 35

Pada ayat di atas, disebutkan bahwa Nabi Adam bersama istrinya Siti Hawa dipersilahkan untuk tinggal di ‘surga’ dan berhak menikmati seluruh fasilitas dan kenikmatan didalamnya. Satu-satunya yang menjadi larangan Allah bagi Nabi Adam. dan Siti Hawa adalah mendekati satu pohon yang konon disebut pohon khuldi.

Secara umum, ulama terpolarisasi menjadi dua kelompok dalam memahami jannah yang dimaksud pada ayat di atas. Menurut jumhur ulama, jannah tersebut adalah taman-taman kenikmatan abadi yang kita kenal dengan surga. Sedangkan menurut sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa jannah tersebut adalah taman-taman kenikmatan yang Allah persiapkan di dunia untuk tempat persinggahan Nabi Adam as. (Mafatih al-Ghaib, Juz 3, 452)

Baca Juga: Kajian Semantik: Makna Kata Jannah dalam Al-Qur’an

Pandangan Syekh Mutawalli al-Sya’rawi

Salah seorang ulama yang berpendapat bahwa Nabi Adam as. tidak pernah singgah di surga adalah Syekh Mutawalli al-Sya’rawi. Pengarang Kitab Khawatir Imaniyah atau yang lebih populer dengan nama Tafsir al-Sya’rawi itu berpendapat jannah yang dimaksud dalam ayat di atas bukanlah surga yang manusia akan hidup abadi di dalamnya dengan penuh kenikmatan. Akan tetapi, jannah dalam ayat tersebut bermakna sebuah tempat penuh kenikmatan yang memang dipersiapkan Allah Swt untuk melatih dan menguji kesiapan Nabi Adam as. dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. (Tafsir al-Sya’rawi, Juz 1, 260)

Dari aspek linguistik, beliau berargumen bahwa kata jannah dalam Alquran ternyata tidak hanya digunakan untuk makna surga abadi di akhirat. Akan tetapi, istilah jannah juga terkadang menunjukkan makna kebun-kebun yang ada di dunia. Hal ini seperti dalam firman Allah swt dalam surat al-Kahfi ketika mengisahkan tentang seorang yang memiliki dua kebun,

واضرب لهُمْ مَّثَلاً رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعاً

Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang (yang kafir) Kami beri dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang. Q.S. Alkahfi [18]: 32.

Baca Juga: Makna Tersirat dari Pelanggaran Nabi Adam dan Hawa Makan Buah Khuldi di Surga

Selain itu, memahami bahwa Nabi Adam pernah singgah di surga yang kekal abadi di akhirat akan menimbulkan banyak kejanggalan. Di antaranya adalah keleluasaan iblis untuk masuk ke dalam surga tersebut dan menggoda Nabi Adam as. Padahal, setelah iblis tidak mau menaati perintah Allah Swt untuk sujud kepada Nabi Adam as. lantaran rasa sombongnya, ia dikutuk dan diusir oleh Allah Swt dari surga.

Pendapat ini juga diperkuat dengan adanya taklif berupa larangan untuk mendekati pohon khuldi yang pada tahap berikutnya larangan tersebut dilanggar oleh Nabi Adam as. Hal ini dianggap bertentangan dengan status surga itu sendiri sebagai tempat kenikmatan abadi yang tentunya free dan bersih dari taklif dan pelanggaran.

Hal inilah yang membawa Syekh al-Sya’rawi dan beberapa ulama lain sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya jannah yang disebutkan dalam ayat diatas bukanlah surga tempat kenikmatan abadi. Ia merupakan tempat yang dipersiapkan oleh Allah sebagai ‘simulasi’ atau ‘tutorial kehidupan’ yang harus dilalui sebelum menempuh kehidupan sebenarnya di dunia.

Baca Juga: Benarkah Nabi Adam AS Penghuni Pertama di Bumi?

Maka dari itu, di dalam jannah tersebut Allah Swt memaklumatkan kepada Nabi Adam untuk berhati-hati dengan iblis karena ia adalah musuh utama umat manusia yang tidak akan pernah bosan menggoda manusia supaya terjerumus dalam kemaksiatan. Selain itu, Allah Swt juga memperkenalkan taklif pertama kali kepada Nabi Adam berupa larangan mendekati pohon khuldi agar umat manusia nantinya siap dengan berbagai aturan dan taklif yang akan dibebankan kepadanya di dunia.

Akhir kata, ulama masih berselisih pendapat mengenai kebenaran lokasi yang menjadi tempat persinggahan Nabi Adam as. Bahkan, sebagian ulama ada yang mengambil jalan tengah dengan tidak mau mengomentari lebih dalam mengenai kepastian hal tersebut. pasalnya, argumentasi dari masing-masing kelompok sama-sama kuat.

Wallahu a’lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...