Agraria menurut Center for Agrarian Studies (Pusat Studi Agraria) adalah hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria juga sering disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal agraria berhubungan erat dengan pertanian, karena pada awalnya keagrariaan muncul terkait dengan pengelolaan lahan. Dalam konteks itu, di Indonesia, persoalan agraria masih menyisakan banyak permasalahan, salah satunya berkaitan dengan konflik ketidakadilan agraria.
Mia Siscawati pada Laporan Final Pembelajaran Dari Mediasi Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia dan Negara Lain, dengan menggunakan data Sawit Watch, mengungkapkan adanya 11,5 juta hektar ekspansi hutan tanaman industri termasuk kelapa sawit yang terjadi pada tahun 2012. Hal ini melampaui batas ekspansi resmi 400.000 hektar per tahun. Diperkirakan pada tahun 2025, ekspansi hutan tanaman industri mencapai 20 juta hektar. Hal ini tentu saja mengancam keanakeragaman hayati hutan Indonesia.
Baca juga: Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]
Masih bersumber pada data yang sama, persoalan ketidakadilan penggunaan lahan juga diperparah dengan konflik antara perusahaan (khususnya kelapa sawit) dengan masyarakat lokal. Dari 22 provinsi dan 143 kabupaten kota, terdapat total 591 konflik pertanahan yang terkonsentrasi di Kalteng (250 kasus); Sumut (101 kasus); Kaltim ( 78 kasus), Kalbar (77 kasus) dan Kalsel (34 kasus).
Konflik lahan paling baru terjadi antara Pemerintah dengan penduduk Kampung Tua Rempang Kecamatan Galang Kota Batam, berkaitan dengan rencana pembangunan Rempang Eco City. Dalam konteks ini, Alquran sesungguhnya telah memberikan standar-standar etis yang dapat dijadikan sudut pandang dan titik pijak dalam menciptakan keadilan agraria.
Kedudukan Tanah dan Peruntukannya
Diskusi mengenai keadilan agraria dalam Alquran berkorelasi kuat dengan pemahaman dan kesadaran tentang kedudukan, fungsi, dan sikap manusia terhadap lahan (tanah). Sikap adil hanya akan dapat dicapai dengan memahami dan mengerti tiga hal itu.
Yang pertama adalah posisi dan kedudukan tanah sebagai makhluk Allah, menjadi subjek yang juga bertasbih kepada Allah, seperti tergambar pada Q.S. Alisra [17]: 44.
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith (juz 1, h. 13), terdapat makna khusus tanah (al-ardh), sebagai tempat yang di (atasnya) terdapat banyak tanaman (vegetasi). Melalui arti inilah, kata al-ardh dinilai dan diposisikan sebagai media tanam yang juga berkait erat dengan tumbuhnya berbagai tanaman.
Berkaitan dengan hal itu, Alquran memberi penegasan tentang kedudukan langit, bumi (tanah), benda-benda mati (jamadat) serta apa yang terdapat di dalamnya sebagai makhluk yang bertasbih kepada Allah. Dengan makna itu, maka kurang tepat jika manusia memposisikan tanah dan lainnya hanya sebagai objek semata. “Mereka” sesungguhnya adalah subjek yang turut bertasbih kepada Allah.
Bagaimana tasbih langit, bumi, dan benda-benda mati lainnya? Imam al-Baghawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil (juz 5, h. 96), menjelaskan bahwa tasbih semua benda itu ditunjukkan dengan kompleksitas susunan dan strukturnya yang menjelaskan kesempurnaan pencipta-Nya. Itu adalah kedudukan tasbih “mereka.”
Ilmu tentang benda-benda mati dan tasbihnya hanya diketahui Allah. Manusia tidak memahaminya kecuali tasbih yang dilakukan oleh manusia. Sebagai subjek, tanah dalam hal ini memiliki relasi dengan semua makhluk lain termasuk manusia.
Kedua, tanah menjadi wasilah ketersediaan sumber pangan semua makhluk. Secara mekanis, tanah dan tanaman membutuhkan air hujan untuk menjadi subur agar didapatkan hasil perkebunan dan pertanian yang maksimal sehingga dapat menjadi sumber makanan semua makhluk hidup. Hal itu dinarasikan Alquran pada Q.S. Albaqarah [2]: 22.
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“(Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Salah satu wujud keadilan agraria adalah memaksimalkan fungsi lahan sebagai sumber kehidupan. Syaikh Thanthawi dalam tafsir al-Wasith (juz 1, h. 72), bahkan menyebut alasan tentang mengapa bumi diciptakan terlebih dahulu daripada langit. Jawabannya adalah karena bumi lebih dekat dengan mukhathabin (objek yang dituju, yaitu makhluk). Kebutuhan manusia terhadap bumi lebih terlihat daripada kebutuhan mereka atas langit.
Namun demikian, dilihat dari fungsinya, langit juga berperan penting dalam menciptakan kesuburan tanah. Menurut Imam al-Wahidi dalam tafsir al-Wajiz (h. 95), tanah menyediakan apa yang diperlukan oleh makhluk hidup. Imam al-Thabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (juz 1, h. 367), menambahkan bahwa melalui langit dan bumilah kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain sejahtera. Tanah menjadi tempat menanam tanaman. Hasilnya menjadi rezeki bagi manusia dan semua makhluk lain.
Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi
Ketiga, sikap mulia manusia atas kemanfaatan yang diterima dari alam adalah dengan cara merawat, menjaga, dan melestarikannya. Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (juz 7, h. 226) dengan mengutip pendapat al-Dhahhak, berpendapat bahwa salah satu sikap menjaga bumi adalah dengan tidak merusak sumber air dan tidak menebang pohon karena akan mengakibatkan kerugian (bagi banyak makhluk).
Dengan demikian maka, pengelolaan atas alam (termasuk tanah) harus berkesinambungan, sejalan dengan keadilan ruang, kemanfaatan dasar bagi semua makhluk. Isyarat itu terdapat dalam Q.S. Ala’raf [7]: 56.
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Berdasarkan argumentasi di atas, keadilan agraria itu berpusat pada kesadaran untuk memposisikan tanah sebagai subjek penting dalam kehidupan, sehingga sikap dan kebijakan eksploitatif dan merusak terhadapnya adalah pelanggaran yang tidak bisa dibenarkan.
Selanjutnya, keadilan atas tanah juga berada pada aspek fungsionalnya, yaitu pemanfaatan lahan (ihya al-mawat) yang berdampak bagi kesejahteraan makhluk hidup, bukan sebaliknya. Yang terakhir, keadilan agraria bersesuaian dengan semangat menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem serta sumber-sumber energi yang menjadi kebutuhan dasar hidup semua makhluk. Pengelolaan lahan tidak bisa hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan banyak pihak lain.
Menjadi Adil
Sikap adil adalah keharusan moral bagi orang beriman. Untuk itulah tidak dibenarkan bagi individu, perusahaan, dan bahkan pemerintah untuk menguasai hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat, terlebih dengan maksud memonopoli ruang hidup dan sumber kehidupan mereka. Suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menunjukkan akibat dari perbuatan tersebut.
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
“Siapa yang mengambil sejengkal/sedikit saja dari tanah secara aniaya maka dia akan dikalungkan dengan tanah sebanyak tujuh bumi pada hari kiamat .” [HR. Muslim].
Hadis lain yang menguatkan keadilan dalam memperoleh manfaat lahan adalah larangan untuk memonopoli tiga hal yaitu rumput, air, dan api, sebagaimana hadis Nabi.
عَنْ رَجُلٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: فِي اْلكَلَإِ وَاْلمَاءِ وَالنَّارِ
“Dari salah seorang Sahabat radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku mendengar beliau bersabda: Manusia itu sama-sama berhak dalam tiga hal: dalam padang rumput, air, dan api.” [HR. Abu Dawud]
Setarikan nafas dengan semangat keadilan agraria, Alquran melarang perputaran uang terpusat hanya pada orang-orang kaya dan penguasa. Bahkan, menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (juz 5, h. 169), hal itusama halnya seperti kebiasaan orang jahiliah. Semangat anti monopoli itu digambarkan Alquran pada Q.S. Alhasyr [59]: 7.
مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Menurut Imam Al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghayb (juz 29, h. 507), harta rampasan perang hendaknya diberikan pula kepada fakir miskin untuk biaya kehidupan mereka. Hal ini bertujuan agar mereka tidak hidup dalam dominasi orang-orang kaya. Senada dengan hal itu, Alquran juga tidak membenarkan sebuah sistem yang eksploitatif. Oleh karenanya, pembebasan terhadap perbudakan adalah jalan mendaki yang sukar, seperti diungkapkan Alquran pada Q.S. Albalad [90]: 13.
وَمَآ أَدْرَاكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ *فَكُّ رَقَبَةٍ
“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?. (Itulah upaya) melepaskan perbudakan.”
Dalam Haqa’iq al-Tafsir (juz 2, h. 396), Imam al-Sulami berpandangan bahwa membebaskan perbudakan adalah pembebasan atas rendahnya keserakahan.
Titik Temu dan Kemaslahatan
Nilai-nilai Alquran menjunjung tinggi keadilan agraria. Hal itu sejalan dengan tujuan-tujuan syariat yang memelihara dan menjamin keberlangsungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perampasan tanah, penyeragaman tanaman industri yang merusak keanekaan tanaman hutan, eksploitasi pertambangan yang destruktif adalah wujud dari membelakangi nilai-nilai beragama.
Secara praktis, prinsip-prinsip keadilan agraria yang diusung Alquran adalah juga untuk melindungi orang-orang yang secara langsung bergantung pada sumber daya alam seperti masyarakat marjinal (Mustadh’afin), para petani, masyarakat adat, dan lain-lain.
Ketidakadilan agraria hanya akan menyebabkan sengketa dan konflik. Kesadaran untuk bersikap adil akan mengurangi potensi konflik lahan yang mungkin terjadi antar berbagai pihak. Tujuan idealnya adalah melahirkan kemaslahatan bersama. Hal itu sejalan dengan kerangka hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia pasal 33 ayat (3) undang-undang dasar 1945 yang menyatakan: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.