Profesionalisme telah menjadi tuntutan dalam setiap pekerjaan. Menurut KBBI V, Profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Fauzi Saleh dkk. dalam buku Prinsip Kerja Menurut Fikih Kontemporer (hal. 123) menjelaskan profesionalisme dalam pandangan hukum Islam bahwa profesionalisme mengharuskan adanya keahlian dan integritas moral dalam melaksanakan suatu kegiatan.
Secara implisit, Alquran telah mensinyalir tentang profesionalisme dalam pekerjaan dalam surah Alqashah ayat 26.
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
Quraish Shihab menjelaskan ayat ini terkait dengan kekaguman salah seorang yang diyakini sebagian ulama sebagai anak perempuan Nabi Syu’aib terhadap Musa ketika dia melihat kekuatan fisik dan wibawanya saat mengambil air untuk ternak mereka.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, pertama-tama adalah melihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada penerima tugas. Dengan begitu kepercayaan akan mengikuti. Kepercayaan yang dimaksud adalah integritas pribadi, yang menghendaki sifat amanah itu sedemikian rupa sehingga seseorang tidak merasa bahwa apa yang dipegangnya adalah milik pribadi melainkan milik orang yang memberi kepercayaan, untuk dijaga dan jika diminta mengembalikannya, ia harus bersedia mengembalikannya (Tafsir Al-Misbah vol. 10, hal. 334).
Urgensi Bekerja Sesuai Keahlian
Melihat siapa yang menerima tugas menjadi hal penting ketika hendak memberikan penugasan kepada seseorang. Syakir Jamaluddin dan Mukhlis Rahmanto mengungkapkan bahwa setiap pekerjaan, harta, dan modal selayaknya diserahkan kepada ahli di bidangnya. Di tangan seseorang yang tidak ahli atau tidak memiliki kekuatan atau kemampuan, bisa dipastikan kebangkrutan dan kehancuran yang akan datang (Tafsir Hadis Ahkam: Ekonomi dan Bisnis, hal. 141). Karena itu, Islam memberikan pekerjaan, harta, dan modal kepada ahlinya sebagaimana firman Allah surah An-Nisa ayat 5 sebagai berikut.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
Baca juga: Nasihat Memberikah Upah Pekerja dalam Alquran
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (jilid 2 hal. 1100) menjelaskan terkait larangan pemberian harta kepada mereka yang tidak ahli karena ia tidak dapat mengendalikan harta bendanya, yang kalau diserahkan dalam sekejap akan musnah karena habis dengan hal-hal yang tidak berfaedah. Ia hanya pandai menghabiskan, tapi tak sanggup memperkembangkan harta itu. Adakalanya kurang akal, adakalanya juga karena masih kecil.
Fauzi Saleh dkk. juga menjelaskan bahwa surah Alqashah ayat 26 menggunakan dua term penting, yaitu qawi dan amin. Secara literal, qawi memiliki arti kuat dan secara luas, qawi dapat dimaknai setidaknya dengan tiga hal; kapabilitas keahlian, psikis, dan kepribadian. Ketiga hal ini telah mengakomodasi antara unsur dasar integritas kepribadian, religius, dan keahlian. Kedua, secara bahasa, amin diartikan amanah (orang yang dapat dipercaya). Kepercayaan ini dapat muncul jika terjadi tranparansi dan kejujuran yang secara akumulatif mengumpulkan akhlak yang mulia.
Amanah dalam Bekerja
Terkait amanah, salah satu alasan penciptaan manusia di bumi adalah sebagai khalifah (Q.S. Al-Baqarah ayat 30). Djaelany Haluty menjelaskan bahwa manusia tidak akan dapat mengemban amanah sebagai khalifah jika tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya jika ia tidak dibekali dengan potensi-potensi yang dibutuhkan. Artinya manusia memiliki potensi-potensi yang perlu dikembangkan dengan baik sehingga dapat menjadi SDM berkualitas dan dapat menjalankan tanggung jawab sebagai khalifah dengan baik (Islam dan Manajemen Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, hal. 70).
Lebih lanjut, Djaelany Haluty menjelaskan bahwa kualitas itu tak cukup hanya dengan menguasai IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga pengembangan nilai-nilai rohani dan spiritual, yaitu iman dan takwa (Islam dan Manajemen Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, hal. 71).
Baca juga: Fenomena Zakat Profesi dan Nasihat Berinfak Q.S. Albaqarah: 43
Senada dengan Djaelany Haluty, Khairan Muhammad Arif dalam Strategi Membangun SDM yang Kompetitif, Berkarakter dan Unggul Menghadapi Era Disrupsi (hal. 2) juga menjelaskan SDM yang baik memiliki karakter positif seperti; jujur, sabar, kerja keras, daya juang, kolaboratif, tekun, dan sebagainya serta meminimalisasi karakter negatif seperti; malas, dusta, mudah mengeluh, dan sebagainya.
Nabi Muhammad saw. menempatkan posisi karakter positif sama dengan posisi agama dalam kehidupan. Hal ini berdasar ketika Nabi ditanya oleh sahabat tentang apa itu agama? Nabi pun menjawab, “Agama adalah akhlak yang terpuji.” (H.R. Ahmad). Tak hanya itu, Nabi juga mengungkapkan bahwa iman yang paling sempurna adalah sempurna akhlaknya. “Orang yang paling tinggi imannya adalah orang yang paling mulia akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad). Oleh karena itu, turunnya Nabi ke dunia bertugas menyempurnakan akhlak. “Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (H.R. Bukhari).
Profesional yang Tak Sekadar Rasa Senang
Seorang profesional merupakan orang yang mengerjakan sesuatu tidak hanya karena hobi atau rasa senang, tetapi juga karena menempatkan pekerjaan yang diemban sebagai sumber mata pencaharian. Untuk itu, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
Dalam pengertian ini, profesionalisme dalam pekerjaan juga tidak berkaitan langsung dengan keikhlasan, meski bukan berarti tidak ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Sebab, keikhlasan merupakan persoalan transenden atau tidak tampak (Syakir Jamaluddin dan Mukhlis Rahmanto, Tafsir Hadis Ahkam: Ekonomi dan Bisnis, hal. 114).
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah
Dari pemaparan singkat di atas, dapat diketahui bahwa profesionalisme dalam pekerjaan membutuhkan keahlian. Jika tak ada keahlian akan hancur apa yang dikerjakannya. Meski begitu, untuk membentuk pekerja yang ahli dibutuhkan pembekalan sehingga akan dapat menjalankan tanggung jawabnya. Selain itu, amanah juga penting karena pembekalan IPTEK saja, misalnya, kurang karena bisa saja seseorang tidak amanah dalam melakukan pekerjaan itu sehingga butuh integritas moral dalam bekerja. Wallahu ‘alam.