Nabi Ayub a.s. merupakan nabi sekaligus rasul yang terkenal dengan kesabarannya menghadapi ujian. Kisah Nabi Ayub tersebut diceritakan dalam Alquran antara lain di surah Al-Anbiya’ [21] ayat 83-84. Dikisahkan bahwa Nabi yang diutus di kalangan Bani Israil tersebut pada mulanya dianugerahi kenikmatan dunia yang melimpah, berupa anak keturunan, harta benda, serta kehidupan yang sejahtera.
Kisah Nabi Ayub ini kemudian berlanjut pada babak ujian dari Allah swt. Kenikmatan yang Allah berikan kemudian diganti dengan bala bencana berupa kemiskinan, kesendirian dan penyakit di tubuh. Derita dan cobaan kehidupan tersebut diproyeksikan untuk menguji kesabaran Nabi Ayub a.s.
Baca Juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit
Penyakit Nabi Ayub dan Status Kenabiannya
Episode demi episode kisah Nabi Ayub tidak dijelaskan secara lengakp dalam Alquran. Karenanya, ulama tafsir berbeda-beda pandangan dalam menuturkan dan melengkapi kisah hidup beliau. Penafsiran kisah Nabi Ayub dalam beberapa kitab tafsir sebagain bersumber dari riwayat hadis atau atsar (meskipun sifatnya ahad), dan tidak sedikit pula yang berasal dari riwayat-riwayat israiliyat.
Imam Ibnu Katsir, misalnya, dalam kitab tafsirnya menceritakan rupa kondisi fisik Nabi Ayub a.s. ketika menjalani masa ujian dari Allah. Ibnu Katsir mengutip satu keterangan bahwa penyakit yang diidap oleh Nabi Ayub saat itu adalah kusta yang tidak menyisakan seluruh tubuhnya kecuali hati dan lisan beliau saja. Bahkan beliau mengutip keterangan dari as-Suddi bahwa penyakit yang diderita Nabi Ayub as. sampai mengakibatkan kulit dan daging beliau rontok berjatuhan sehingga yang tersisa hanya urat dengan tulang. [Tafsir al-Quran al-Adzim, juz 5, hal. 359-360].
Kisah serupa juga banyak dikutip oleh para mufasir lain, namun dengan versi yang beragam. Bahkan ada yang mengabarkan kondisi tubuh beliau yang dikerumuni ulat saking kronisnya penyakit kulit yang diderita.
Selain itu, ada pula di kalangan ulama tafsir yang menolak riwayat-riwayat mengenai detail kondisi fisik Nabi Ayub. Sebab, Alquran hanya mengisahkan secara garis besarnya saja tetapi tidak menjelaskan seperti apa kondisi beliau.
Menurut Syaikh Musthafa al-Maraghi, riwayat-riwayat mengenai kondisi fisik Nabi Ayub a.s. yang sampai membuat orang jijik sehingga masyarakat mengasingkannya ke pinggiran kota merupakan kisah-kisah israiliyat yang tidak daat dipertanggungjawabkan validitasnya. Lagipula, syarat seorang nabi adalah terbebas dari sifat-sifat buruk yang membuat orang jijik dan menghindar. [Tafsir al-Maraghi, juz 17, hal. 61].
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 80-83
Hal serupa juga disampaikan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, penyakit yang diderita Nabi Ayub a.s. adalah penyakit kulit yang bisa disembuhkan dengan mata air alami yang mengandung zat-zat tertentu. Meski diakui bahwa Nabi Ayyub as. cukup lama menderita penyakit tersebut, tetapi yang harus diyakini adalah bahwa hal itu tidak sampai membuat orang jijik dan tidak mau mendekat, karena syarat mutlak seorang utusan adalah tidak dihinggapi penyakit atau hal-hal yang dianggap jijik secara tabiat manusia. [Tafsir al-Munir, juz 23, hal. 207].
Imam al-Alusi juga menegaskan bahwa riwayat-riwayat mengenai kondisi fisik Nabi Ayyub a.s. tidak dapat diyakini kebenarannya, sehingga pendapat yang seyogyanya dijadikan pedoman adalah riwayat tentang sakitnya Nabi Ayub a.s. tetapi tidak sampai kondisi membuat orang lain jijik dan menjauh.
Imam al-Alusi juga mengutip pendapat dari at-Tabrasi yang mengatakan bahwa pendapat yang benar adalah para nabi tidak mungkin dihinggapi sifat-sifat hina yang sampai membuat orang jijik dan menghindar. Adapun kemiskinan, sakit dan ditinggal keluarga dan pengikut, barangkali itu merupakan ujian tersendiri dari Allah swt. [Ruh al-Ma’ani, juz 12, hal. 199].
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 84-86
Mengenai Sifat-Sifat Kemanusiaan Nabi
Nabi dan rasul yang diutus untuk menyampaikan ajaran tauhid adalah seorang manusia sebagaimana manusia pada umumnya. Mereka makan, minum, menikah dan melakukan interaksi sosial dengan sesama. Namun, di balik itu semua, para nabi adalah manusia sempurna yang terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan yang dapat menurunkan wibaya dan kemuliaannya sebagai seorang utusan ilahi. Maka dari itu, termasuk sifat mustahil bagi nabi adalah dusta, khianat, tidak melaksanakan tugas dakwah dan dungu.
Selain itu, seorang nabi dan rasul juga dipelihara oleh Allah swt. dari hal-hal atau sifat-sifat yang dapat menurunkan harkat dan martabat beliau sebagai nabi. Dalam Nadzam Aqidatul Awwam, Syaikh al-Marzuqi menyebutkan,
وَجَـائِزٌ فِي حَـقِّهِمْ مِنْ عَرَضِ * بِغَيْـرِ نَقْصٍ كَخَـفِيْفِ الْمَرَضِ
Dan boleh dalam diri para nabi berupa sifat-sifat yang tidak mengindikasikan kekurangan seperti sakit ringan.
Kalangan Ahlu al-Sunnah meyakini bahwa para nabi memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti dihinggapi penyakit tetapi dengan batasan yang tidak menghilangkan wibawanya sebagai nabi. Syaikh Nawawi Banten, ketika mensyarahi nadzam (bait syai’r) di atas, mengatakan bahwa adalah sebuah kemustahilan, seorang nabi menderita penyakit-penyakit keras yang menjijikkan seperti kusta, lepra dan penyakit menjijikkan lainnya. Sebab itu dapat merusak kehormatannya sebagai utusan Allah. [Nur al-Dzalam, hal. 11]
Alhasil, kita memang perlu selektif dan lebih teliti dalam membaca kisah para nabi dan umat terdahulu yang dikisahkan di berbagai turats (baik kitab tafsir maupun kitab-kitab yang memuat kisah umat terdahulu). Pasalnya kisah-kisah yang banyak beredar memang sering kali disusupi oleh riwayat-riwayat Israiliyat yang validitasnya masih dipertanyakan, sehingga langkah paling tepat adalah tidak meyakini kebenaran kisah tersebut, terutama kisah-kisah yang kontradiktif dengan aqidah dan syariat Islam. Wallah a’lam.