BerandaTafsir TematikAdvokasi Alquran terhadap Difabel

Advokasi Alquran terhadap Difabel

Islam tidak membeda-bedakan manusia baik mereka yang memiliki fisik normal maupun mereka yang difabel, sebab hanya kadar keimanan dan ketakwaanyalah yang membedakan derajat mereka di sisi Allah. Difabel (different ability) dilabelkan kepada individu yang memiliki kondisi dan kemampuan berbeda dengan individu normal terutama pada kemampuan fisik. Istilah ini diperkenalkan secara substansi untuk mengganti penggunaan istilah disabilitas, yang dianggap diskriminatif dan mengandung stigma negatif terhadap para penyandangnya.

Baca juga: Hari Disabilitas Internasional: Ini 4 Artikel tentang Disabilitas dalam Tafsir Al-Quran

Alquran juga menampilkan istilah difabel dengan beberapa term yang memberikan indikasi makna bagian dari kategori difabel, maksudnya tidak secara ekplisit menunjukkan makna cacat. Term-term tersebut terdapat pada 36 ayat yang tersebar dalam beberapa surah. Akan tetapi, hanya tiga ayat yang menjelaskan tentang difabel fisik, sementara ayat yang lain menerangkan disabilitas mental.

Penyebutan term difabel yang relatif sedikit jumlahnya tidak lain disebabkan Islam memandang netral terhadapnya. Hal itu berarti sepenuhnya menyamakan mereka sebagaimana manusia lainnya. Dengan kata lain, kesempurnaan fisik bukanlah menjadi hal yang prioritas dalam hal pengabdian diri kepada Allah.

Alquran Memperlakukan Setara dan Tidak Diskrimanatif terhadap Difabel

Pada realitanya, para penyandang difabel masih seringkali menjadi perhatian di masyarakat. Diskriminasi dan stigma negatif terhadap mereka juga masih kerap terjadi. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang telah Allah jelaskan dalam Alquran. Seperti Surah Annur ayat 61 yang menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang difabel dan mereka yang non-difabel.

Quraish Shihab menyebutkan dua pendapat tentang sebab penurunan ayat ini. Pertama, bahwa kaum muslimin merasa terhalagi untuk makan bersama orang buta, karena dia tidak dapat melihat tempat makanan yang baik, bersama orang yang pincang karena dia tidak dapat berebut makanan dan bersama orang sakit, karena dia tidak menikmati makanan. Pendapat kedua; karena mereka merasa kesempitan, rikuh, dan jijik dengan orang difabel.

Ayat ini turun untuk menegur mereka dan menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah alasan untuk enggan makan bersama yang lain, atau berkunjung ke rumah-rumah kaum muslimin terutama penyandang difabel. (Tafsir al-Misbah, Juz 9, h. 406)

Baca juga: Keberislaman Ratu Saba dan Nilai Kesetaraan Hamba Allah

Berbeda dengan Sayyid Qutb dalam (Tafsir Fi Zilal al-Quran, Jilid 8. h. 992) yang menerangkan dengan mengutip salah satu riwayat, bahwa ayat ini mengisahkan para sahabat yang makan dalam jamuan tanpa izin tuan rumah. Mereka juga mengajak para difabel untuk makan bersama mereka. Namun, para penyandang difabel yang diajak makan tanpa izin tersebut merasa takut apabila hal itu justru dianggap perbuatan yang dilarang sebagaimana dalam Surah. Albaqarah [2]: 188. Maka Allah menurunkan Surah Annur ayat  61 untuk menghilangkan kesulitan dan keengganan para difabel untuk makan dari rumah kerabatnya dan mengajak orang-orang yang membutuhkan seperti mereka.

Ayat ini juga dapat dipahami bahwa tuan rumah tidak boleh membenci dan merasa dirugikan apabila mengajak para difabel untuk makan bersama mereka. Itu artinya mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial.

Perlindungan dan Pengayoman terhadap Kelompok Difabel

Pada ayat yang lain, Surah ‘Abasa [80]: 1-2, disebutkan mengenai penyandang difabel yang merujuk pada makna perlindungan dan pengayoman. Mayoritas mufasir menerangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seorang tunanetra, Abdullah bin Ummi Maktum kepada Rasulullah yang menyela pembicaarannya untuk mendapatkan keterangan tentang agama Islam, sedangkan saat itu Nabi saw. tengah sibuk berbincang dengan para pembesar Quraisy, sebab Nabi memiliki harapan bahwa mereka akan mendapat hidayah dan memeluk agama Islam.

Dalam keadaan demikian, kontan saja Rasul saw. menunjukkan wajah masam dan acuh kepada Abdullah al-Maktum. Sehingga turunlah ayat ini untuk menegur sikap Rasulullah tersebut. (Tafsir Durr al-Mantsur, Juz 8, h. 416)

Allah memerintahkan kepada Nabi saw. supaya tidak mengkhususkan risalah tersebut hanya kepada seorang saja, namun juga bertindak sama baik kepada orang kuat ataupun yang lemah; orang miskin juga orang kaya; orang terhormat dan hamba sahaya; termasuk orang yang mempunyai fisik normal maupun penyandang difabel. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Dia-lah yang memiliki hikmah yang memadai dan hujjah yang pasti. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 10, h. 255)

Baca juga: Tuntunan Alquran untuk Hilangkan Insecurity Berlebih

Secara eksplisit, teguran atas tindakan Rasulullah yang berpaling dan menunjukkan ekspresi tidak senang juga memiliki hikmah besar, di antaranya memberikan dukungan moral serta tanggung jawab kepada Rasul agar tidak mengabaikan kelompok masyarakat yang dianggap memiliki strata sosial rendah. Menurut Wahbah Zuhaili, ayat ini ditujukan juga untuk membesarkan hati para penyandang difabel dan orang-orang terbatas lainnya seperti fakir dan miskin.

Dengan teguran ini tentu menunjukkan bahwa yang lebih diuntungkan dalam segi fisik ataupun materi belum tentu lebih baik. Boleh jadi seorang dengan segala keterbatasannya memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah.

Sebagaimana Alquran mengajarkan prinsip kesetaraan, seperti kelompok difabel yang secara sosial diakui keberadaannya oleh Islam sebagai bagian dari umat secara umum. Maka kepada penyandang difabel, mereka harus diberlakukan secara sama dan tanpa stigma negatif dalam kehidupan sosial sebab mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan muslim lainnya.[]

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...