Kisah Delegasi Bani Tamim kepada Rasulullah yang Ditegur Allah

Kisah Delegasi Bani Tamim kepada Rasulullah yang Ditegur Allah
Kisah Delegasi Bani Tamim kepada Rasulullah yang Ditegur Allah

Seorang utusan atau delegasi haruslah memerhatikan etika ketika hendak berkunjung untuk menemui tokoh yang dihormati. Etika-etika tersebut ada dalam protokoler. Salah satu di antaranya adalah bersikap sopan santun dan bertata krama yang baik, sehingga menciptakan suasana yang hangat dan mengembangkan persahabatan.

Terkait hal tersebut, Alquran memberikan contoh melalui kisah delegasi dari Bani Tamim yang hendak menemui Nabi Muhammad saw. dengan cara yang tidak sopan. Berikut ayat terkait dan penjelasannya.

إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ. وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّىٰ تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sebenarnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. (4) Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)

Asbabunnuzul Ayat

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad sahih dari al-Aqra’ bin Habis, bahwasannya ia memanggil Rasulullah saw. dari luar kamar, dan beliau tidak menjawab panggilannya. Kemudian al-Aqra’ berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya yang memanggilku adalah yang baik dan yang mencelaku adalah yang buruk.” Beliau menjawab, “Dialah Allah Swt.” Dalam riwayat yang lain, al-Aqra’ berkata, “Wahai Muhammad, keluarlah kepada kami.” (Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, 493).

Dalam Tafsir al-Misbah (13/234) dijelaskan lebih runut terkait kronologisnya. Pada tahun 9 H, datanglah sekelompok delegasi dari Bani Tamim yang membawa rombongan sebanyak 70 orang lebih. Mereka datang di siang hari, sambil berteriak dari luar kamar Nabi saw.

Baca juga: Ngaji Gus Baha: Etika Bertamu Saat Berkunjung ke Rumah Orang Lain

Menurut Tafsir Jalalain (2/889), mereka berteriak karena tidak mengetahui di kamar manakah Nabi saw. berada. Mereka memanggilnya dengan suara yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab Badui, yaitu dengan suara yang keras dan kasar.

Padahal ketika itu Nabi saw. sedang beristirahat. Dengan hati berat beliau melayani tamu-tamu itu yang kemudian berkata, “Kami datang untuk berlomba denganmu. Izinkanlah kami memperdengarkan kepadamu penyair dan khatib kami.” Nabi saw. mengizinkan mereka, lalu menugaskan sahabat dan penyair, yakni Hassan Ibn Tsabit untuk menandingi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka datang untuk menebus keluarga mereka yang ditawan yang jumlahnya 11 orang laki-laki, 11 orang perempuan, serta 30 orang anak-anak (Tafsir al-Mishbah, 13/234)

Deskripsi dan Makna dari al-Hujurat

Kata al-hujurat merupakan bentuk jamak dari al-hujrah yang bermakna kamar-kamar. Kata tersebut adalah rangkaian dari akar kata ha’-jim-ra’ yang mempunyai makna menahan, mencegah, dan meliputi. Beberapa kata yang juga memiliki rangkaian akar kata yang sama adalah akal yang disebut al-hijr, sebab akal bisa mencegah manusia dari perbuatan yang tidak baik.

Batu diistilahkan dengan al-hajr karena batu sifatnya keras, sehingga bisa mencegah dari serangan dan hantaman. Begitu juga kamar yang disebut dengan al-hujurah, sebab kamar dapat menjaga dan meliputi semua penghuninya.

Dalam ayat di atas, al-hujurat yang dimaksud adalah kamar-kamar yang dihuni oleh Nabi saw. beserta istri-istrinya. Kamar-kamar tersebut berada di dalam rumah di samping Masjid Nabawi. Rumah inilah yang ditempati oleh Nabi saw. selama berada di Madinah.

Baca juga: Surah An-Nur [24] Ayat 27: Anjuran Mengucap Salam Ketika Bertamu

Kamar-kamar itu dibangun dengan sangat sederhana, bahkan atapnya sangat rendah sekali, sehingga mudah digapai dengan tangan. Di pintu-pintunya pun terdiri dari gantungan kulit hewan yang berbulu. Namun, pada masa Khalifah al-Walid bin ‘Abd al-Malik, kamar-kamar itu dibongkar dan dijadikan halaman masjid (Kemenag, al-Qur’an dan Tafsirnya, 9/399).

Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan lebih rinci. Pada awal pembangunannya di tahun pertama hijriyah, Masjid Nabawi memiliki luas 70 x 60 depa (setiap depa diperkirakan panjangnya 45 cm). Sedang kamar-kamar Nabi saw. yang berjumlah sembilan kamar, masing-masing terbuat dari batanig pohon kurma.

Lebar rumah bila diukur dari pintu kamar ke pintu rumah, sekitar 7 depa, sedang luas rumah dari dalam yakni dalam kamar sekitar 10 depa, jadi luas kamar bersama rumah sekitar 17 depa. Al-Hasan al-Bashri berkata: “Saya pernah masuk ke kamar-kamar istri-istri Nabi itu. Sedemikian pendeknya sehingga saya dapat menjangkau atapnya dengan tangan saya.” (Tafsir al-Mishbah, 13/235).

Menjaga Kesopanan dan Tata Krama

Menurut M. Quraish Shihab, penggunaan bentuk jamak untuk kata “kamar-kamar” bertujuan mengisyaratkan bahwa suara tersebut begitu keras, sehingga terdengar di seluruh kamar, atau bahwa kelompok yang datang itu berpencar yang masing-masing memanggil Nabi saw. dari kesembilan kamar (Tafsir al-Mishbah, 13/235).

Dengan surah al-Hujurat ayat 4-5 ini, Allah hendak memberikan pelajaran tentang kesopanan dan tata krama dalam menghadapi Rasulullah saw, terutama ketika ingin mengadakan percakapan dengan beliau.

Baca juga: Sikap Toleransi dan Pemenuhan Hak Diplomasi oleh Nabi Muhammad

Dalam menghadapi delegasi Bani Tamim yang tidak sopan tersebut, Nabi saw. tetap mengedepankan sikap bijaksana. Sebelum pulang, mereka lebih dahulu telah mendapat petunjuk tentang jalan yang benar dan kesopanan dalam pergaulan. Dengan tegas, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang memanggil Nabi saw. supaya keluar dari kamar istrinya yang ada di samping Masjid Nabawi tersebut kebanyakan itu bodoh, yakni tidak mengetahui kesopanan dan tata krama dalam mengadakan kunjungan kehormatan kepada seorang kepala negara apalagi seorang nabi.

Tata cara yang dikemukakan ayat ini sekarang dikenal sebagai protokoler dan security (keamanan). Dari ayat ini dapat pula dipahami bahwa agama Islam sejak dahulu sudah mengatur kode etik dengan maksud memberikan penghormatan yang pantas kepada pembesar yang dikunjungi (Kemenag, al-Qur’an dan Tafsirnya, 9/399-400).

Ibrah yang dapat dipetik dari kisah ini adalah hendaknya seseorang memerhatikan waktu yang tepat ketika hendak berkunjung, terlebih kepada orang yang dihormati. Tentunya agar tidak menimbulkan gangguan. Selain waktu yang tepat, juga harus diperhatikan tata cara bertamu yang baik dan benar (Membaca Sirah Nabi Muhammad, 968-967) []