BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanMenjadi Muslim Moderat menurut Habib Ja'far

Menjadi Muslim Moderat menurut Habib Ja’far

Sebagai bagian integral dari pemahaman Islam, tafsir Alquran memegang peranan penting dalam membentuk pandangan dan sikap umat Islam terhadap berbagai isu kontemporer, salah satunya mengenai moderasi beragama. Tafsir yang dipahami oleh muslim moderat memandang Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam yang harus dipahami secara komprehensif dan kontekstual. Mereka tidak melihat Alquran sebagai teks yang statis, melainkan sebagai wahyu yang memiliki relevansi yang abadi dengan konteks zaman sekarang.

Sekilas tentang Husein Ja’far al-Hadar

Salah satu tokoh muslim atau pendakwah yang kerap kali muncul di berbagai media sosial adalah Husein Ja’far Al-Hadar. Beliau lahir di Bondowoso pada 21 Juni 1988. Ulama berdarah Madura ini disinyalir masih memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad, sehingga beliau sering disapa dengan panggilan ‘habib.’

Seperti pendakwah pada umumnya yang menimba ilmu di pondok pesantren, Husein Ja’far menempuh pendidikannya di pondok pesantren YAPI Bangil di daerah Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Setelah itu,  sosok yang akrab dipanggil Habib Ja’far ini melanjutkan pendidikan formal di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil jurusan Filsafat Islam. Setelah itu, beliau meneruskan pendidikan srata dua di Universitas yang sama dengan konsentrasi Tafsir Alquran.

Baca juga: Jalan Panjang Penguatan Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Quran

Tak bisa dipungkiri, selama menjadi pendakwah, Habib Ja’far menarik banyak perhatian masyarakat terutama generasi milenial dan generasi Z. Gaya penyampaian yang lugas, filosofis, serta menyenangkan membuat sebagian besar orang tertarik dengan kajian yang dibawakannya. Beliau juga kerap kali mengaitkan kajian yang dibawakannya dengan isu-isu kekinian, sehingga penjelasan yang diberikan semakin komprehensif.

Muslim moderat menurut Husein Ja’far al-Hadar

Salah satu video di kanal YouTube Habib Ja’far yang mendapat banyak respons positif adalah video dengan judul “Menjadi Muslim Moderat itu Bagaimana sih?.” Video ini telah ditonton sebanyak 54 ribu kali dan disukai oleh 2,6 ribu orang. Dalam video tersebut, Habib Ja’far membahas persoalan Islam moderat.

Gagasan Islam moderat dimunculkan pasca tragedi 9/11 di WTC, Amerika. Gagasan ini sebagai antitesis dari Islam radikal yang menjadikan kekerasan sebagai cara untuk mendakwahkan Islam, sehingga menyisakan citra negatif terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Dalam hal ini, Habib Ja’far menggarisbawahi beberapa lafaz dalam surah Albaqarah ayat 143.

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Menurut penafsiran Husein Ja’far, surah Albaqarah ayat 143 mengandung pesan tentang urgensi menjaga persatuan umat Islam dengan bersikap moderat. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Habib Ja’far terlebih dahulu menjelaskan makna tiap kosakata. Kajian ini biasa disebut dengan kajian semantik. Menurut para mufasir, kajian terhadap lafaz dalam Alquran penting dilakukan, karena setiap kata dalam Alquran memiliki pesan dan maknanya tersendiri yang unik dan mendalam.

Dalam hal ini Hahib Ja’far menggarisbawahi beberapa lafaz dari ayat tersebut, di antaranya adalah lafaz ummatan, ja’alna, wasathan, dan syuhada’. Menurutnya, lafaz ummatan dalam ayat ini merujuk pada umat Islam, bukan agama Islam karena agama Islam sudah pasti moderat. Semestinya, yang perlu diupayakan untuk bersikap moderat adalah umat Islam itu sendiri.

Kemudian, lafaz ja’alna menurut Habib Ja’far berbeda dengan lafaz khalaqa. Khalaqa berarti menciptakan, yakni menciptakan sesuatu dari yang belum ada menjadi ada, sedangkan ja’ala berarti menjadikan atau proses mengaktualisasikan sesuatu. Allah sudah memberikan potensi berupa agama Islam yang moderat. Tugas manusia adalah bagaimana melakukan internalisasi nilai-nilai Islam kepada diri sendiri, sehingga dia menjadi umat yang moderat sesuai dengan agama Islam.

Selanjutnya lafaz wasathan dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb dan Tafsir al-Tabari, memiliki setidaknya tiga makna yakni; di tengan-tengah, adil, dan terbaik. Di tengah-tengah artinya seseorang tidak dipengaruhi bias dari kanan dan kirinya, baik berupa ancaman maupun rayuan. Dia mengambil keputusan sesuai dari sudut pandang di tengah yang objektif.

Baca juga: Perbedaan Adalah Keniscayaan, Toleransi Adalah Keharusan

Seseorang mampu berperilaku adil dengan mengakui yang benar sebagai benar dan sebaliknya. Wasathan juga bermakna ‘yang terbaik.’ Sebagai contoh, ketika Rasulullah dipilih untuk menempatkan Hajar Aswad setelah terseret oleh banjir besar, hal itu menunjukkan bahwa Rasulullah adalah yang terbaik di antara yang lain tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan faktor lainnya.

Sedangkan lafaz syuhada’ berarti saksi, dengan demikian bisa dikatakan wasathan berarti ‘berada di tengah orang-orang untuk menjadi saksi tentang nilai kebanaran.’

Ringkasnya, menjadi muslim moderat dalam sudut pandang Habib Ja’far (yang juga sependapat dengan al-Razi serta al-Tabari) berarti menjadi muslim yang berada di tengah-tengah -tidak bias terhadap kanan kirinya. Muslim moderat menghukumi secara adil tentang apa yang benar dan salah tanpa peduli terhadap risiko yang mungkin akan diterima karena ucapannya yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Dengan demikian, seorang muslim moderat berarti telah melakukan salah satu aspek dari jihad, sehingga kalau dia meninggal karena sikap moderat tersebut, maka dia dikatakan syuhada’ atau syahid, karena telah menjadi saksi akan kebenaran.

Menjadi muslim moderat: kunci menjaga persatuan dan kesatuan bangsa

Dalam konteks Keindonesiaan, menjadi muslim moderat menjadi sangat penting sebagai upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pasalnya, Indonesia notabene merupakan negara yang majemuk. Nilai-nilai moderat seperti keadilan, toleran, dan netral mesti dimanifestasikan oleh muslim dan masyarakat Indonesia pada umumnya baik dalam bentuk pikiran maupun tindakan. Apalagi saat dihadapkan dengan peristiwa yang mengancam disintegrasi bangsa.

Salah satu kasus yang kerap kali memantik konflik di tengah masyarakat adalah penyebaran hoaks atau informasi palsu yang seringkali memicu konflik antarumat beragama. Apalagi di tahun politik ini, isu hoaks semakin meningkat. Dilansir dari website KOMINFO, isu hoaks meningkat hampir 10 kali lipat saat menjelang Pemilu 2024.

Oleh sebab itu, seorang muslim yang moderat akan berusaha untuk tidak mudah terprovokasi oleh hoaks tersebut dan melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum menyebarkan informasi. Dengan demikian, kasus seperti ini tidak akan memicu konflik antarumat beragama dan dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim moderat juga akan mempraktikkan ajaran Islam dengan penuh rasa tenggang rasa dan empati terhadap sesama. Misalnya, dalam konteks pemilu, seorang muslim moderat harus mampu menjaga keseimbangan antara politik dan agama. Artinya, meskipun berpolitik, dia tetap menjalankan ajaran agama dengan baik dan tidak meninggalkan nilai-nilai moral dalam berpolitik.

Baca juga: Refleksi Makna Kemerdekaan: Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara

Dengan demikian, menjadi muslim moderat bukan hanya suatu pilihan bijak dalam beragama, melainkan juga merupakan salah satu upaya konkret untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan sikap saling menghormati dan menerima perbedaan, Indonesia akan tetap kokoh dalam keragaman dan menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam membangun harmoni antarumat beragama. Wallahu a’lam.

Lidya Karmalia
Lidya Karmalia
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Peminat kajian Alquran dan tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...