Manusia merupakan makhluk yang selalu memiliki ketergantungan terhadap apapun dan siapapun. Tidak dapat hidup sendirian, sekuat maupun se-sangar apapun dirinya. Ia tetap membutuhkan Allah di setiap keadaannya, melalui penciptaan-Nya. Inilah titik kelemahan manusia. Bahkan, suatu firman-Nya telah menyebutkan dalam Q.S. Alnisa [4]: 28, dikatakan bahwa manusia didesain sebagai makhluk yang lemah.
يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.
Umat Nabi Muhammad Adalah Paling Lemah dari Umat Terdahulu
Mengenai ayat ini, al-Shabuni dalam Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr (1/378), menceritakan bahwasanya Nabi Musa a.s. berkata kepada Rasulullah ﷺ ketika malam Isra’, “Apa yang diwajibkan atasmu dan umatmu?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Allah memerintahkan kepada kami salat sebanyak lima puluh kali dalam sehari.”
Baca Juga: Mengenal Tiga Istilah Manusia dalam Alquran: Nas, Insan, dan Basyar
Lantas Nabi Musa merespon, “Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya, sebab umatmu tidak mampu melakukannya. Sungguh aku telah menguji umat sebelummu dengan sesuatu yang kurang dari itu, dan mereka tidak mampu. Umatmu memiliki pendengar, penglihatan, dan hati yang lebih lemah.” Kemudian, Rasulullah saw. mengikuti saran Nabi Musa a.s, bernegoisasi kepada-Nya hingga pada akhirnya sebanyak lima kali dalam sehari.
Lemah Terhadap Wanita
Pada zaman Rasulullah ﷺ, setelah diturunkannya ayat ini, seseorang diperbolehkan menggauli dan menikahi budak wanita. Abu Ja’far dalam Tafsīr al-Ṭabari, Yunus telah menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahab menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata bahwa firman-Nya: yurīdullāhu an yukhoffifa ‘ankum, merupakan keringanan kepada manusia menikahi budak-budak wanita dalam kondisi mendesak (syahwat ingin segera tersalurkan). Ini disebabkan karena ayat setelahnya: wa khuliqa al-insāna ḍa’īfā. Keringanan tersebut dapat dilakukan jika memang tidak menemukan wanita merdeka untuk dinikahi. (Tafsīr al-Ṭabari, 6/525)
Berkenaan dengan ayat ini, al-Zuhaili dalam tafsirnya, Allah menjelaskan sebab takhfīf (keringanan) yang diberikan manusia ialah karena sifat ḍa’īf (lemah) yang dimilikinya, yaitu mudah terlena dengan hawa nafsu dan syahwat, apalagi dalam urusan wanita. (Tafsīr al-Munīr, 5/28)
Baca Juga: Surat Yusuf Ayat 28 vs Surat An-Nisa Ayat 76, Benarkah Perempuan Lebih Berbahaya Daripada Setan?
Ini senada dengan al-Maraghi, ia menambahkan, bahwa manusia tidak mampu menahan kecenderungannya terhadap wanita, dan tidak dapat menahan tekanan untuk istimta’ atau menikmatinya. (Tafsīr al-Maraghī, 5/15) Begitu pula ditafsirkan oleh al-Jalālayn, bahwa kelemahan ini terletak pada ketidaksabarannya diperhadapkan dengan wanita dan syahwat. (Tafsīr al- Jalālayn, 105)
Begitu cara Allah menyayangi hamba-hamba-Nya melalui apa yang disyariatkan-Nya, yakni mengharamkan segala sesuatu yang mampu mencelakakan manusia. Dan segala apapun yang dihalalkan-Nya pastilah membawa maslahat bagi manusia.
Perzinaan yang terus merajalela seharusnya tidak menjadikan kelemahan akan syahwat tersebut sebagai sebuah pemakluman. Allah memberikan keringanan akan kelemahan tersebut dengan jalan halal, yakni menikah, ketika telah siap lahir dan batin. Pun belum siap, hendaknya senantiasa menahan dirinya dengan berpuasa sebagai upaya menekan hawa nafsu.
Perlu diakui bahwa dewasa ini, amoralitas telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan, sehingga orang-orang mulai menganggap perzinaan adalah suatu kewajaran. Kecemburuan terhadap pasangan dianggap sebagai sikap posesif berlebihan. Sehingga, sakralitas pernikahan semakin mengalami degradasi makna bagi sebagian orang. Menjadi banyak takut menikah, dan justru memilih menyalurkan nafsunya pada hubungan yang jelas haram. Na’ūżubillāh.
Al-Zuhaili, selain memaknai lemah terletak pada urusan wanita, juga lemah pada urusan berikut ini, yakni: mudah mengalami rasa ketakutan dan kesedihan, sulitnya menahan kemauan hawa nafsu, dan beratnya menegakkan ketaatan. (Tafsīr al-Munīr, 5/28)
Mudah Mengalami Rasa Ketakutan dan Kesedihan
Khauf (takut) dan ḥuzn (sedih) merupakan sikap yang melekat pada diri setiap manusia. Sikap ini bukanlah kekurangan yang hina, melainkan menjadi anugerah yang patut kita syukuri. Dengan adanya takut, seseorang mampu menumbuhkan sikap waspada dalam bertindak, yang mana mampu menyempurnakan takwa kepada-Nya. Mana yang wajib ditunaikan, mana yang harus dihindari, dan lain-lain.
Adapun sikap ḥuzni atau kesedihan, merupakan bentuk ekspresi manusia dalam menyikapi suatu hal yang buruk yang menimpanya. Tanpa ada ungkapan kesedihan, justru menimbulkan pemendaman ekspresi batin yang memperparah kondisi seseorang. Adanya sikap takut dan sedih merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk lemah di hadapan-Nya. Sekalipun menampakkan baik-baik saja di depan banyak orang, di balik itu ia menampilkan dirinya sangat lemah di hadapan-Nya meminta kelapangan hati.
Sulitnya Menahan Kemauan Hawa Nafsu
Perang yang paling sulit adalah memerangi hawa nafsu. Bahkan, seringkali setan menjadi sorotan utama dalam tindakan buruk manusia. Padahal, di samping godaan setan, justru didatangkan dominan dari hawa nafsunya sendiri. Sulitnya mewaspadai dan menahan hawa nafsu mampu merugikan diri sendiri. Dengan demikian, Allah menawarkan cara mengontrol nafsu dengan baik, yakni berpuasa. Namun perlu diperhatikan, bahwa puasa adalah upaya melemahkan hawa nafsu, mengendalikan diri dari tuntutan nafsu seperti makan, minum, ghibah, dan lain-lain, bukan melemahkan badan.
Baca Juga: Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis
Beratnya Menegakkan Ketaatan
Al-Ulaimi, selain memaknai lemah terletak pada urusan wanita, juga pada urusan menegakkan ketaatan. (Fatḥ al-Raḥmān fī Tafsīr al-Qur’ān, 2/117) Manusia sangat berat menunaikan ketaatan, dikarenakan hawa nafsu yang seringkali sulit diperangi dan dikendalikan. Ambil contoh yang tidak jauh dari kehidupan manusia masa kini, yaitu smartphone yang begitu sulit terlepas dari genggaman, sehingga waktu ibadah seringkali tergesa-gesa karenanya. Untuk itu, perlu terus-menerus mengendalikan dan mengontrol hawa nafsu, supaya tidak menghambat jalan taat kepada-Nya.
Kesimpulan
Sebagian besar mufassir menafsirkan kelemahan manusia adalah terletak pada lemahnya dalam hal urusan wanita. Namun, di samping itu, titik kelemahan manusia juga terletak pada mudahnya mengalami rasa ketakutan dan kesedihan, sulitnya menahan kemauan hawa nafsu sehingga berdampak pada beratnya menegakkan ketaatan. Sehingga Alquran sebagai pedoman hidup manusia adalah pilihan tepat dan terbaik untuk mengatasi kelemahan manusia, untuk menggapai ketaatan yang sempurna.
Wallahu a’lamu bish shawab.