BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanHikmah Alquran pada Larangan Berlebihan dalam Beragama

Hikmah Alquran pada Larangan Berlebihan dalam Beragama

Dalam Islam, terdapat ajaran yang melarang berlaku berlebihan dalam semua hal, termasuk dalam hal beragama. Larangan berlebihan dalam  beragama pernah juga disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis, yaitu ketika melarang ketiga sahabatnya untuk terus-terusan berpuasa (tanpa berbuka), terus-terusan salat malam (tanpa tidur), dan terus-terusan membujang (tidak akan menikah) dengan niat menjalankan perintah agama.

Berkaitan dengan hal tersebut, Alquran tampaknya juga telah memberikan petunjuk bagi siapa saja yang membacanya–dan turut mendalami maknanya–agar jangan sampai terlalu berlebihan dalam beragama. Maksud dari berlebihan di sini bisa dianggap sebagai perilaku beragama yang berpotensi dapat memunculkan sikap eksklusif, fanatik, bahkan ekstrem sebagai akibat dari melewati batas-batas syariat.

Salah satu firman Allah swt. yang dapat ditelaah bersama sebagai landasan larangan berlebihan dalam beragama sekaligus sebagai preventif dari sikap berlebihan dalam beragama adalah surah an-Nisa [4]: 171. Walaupun bunyi dari ayat ini secara jelas memang ditujukan kepada kalangan Ahlulkitab, tetapi tetap tidak menutup kemungkinan bahwa umat Islam pun juga masih dapat terjerumus pada sikap yang sama.

….يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ

“Wahai Ahlulkitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dalam (menjalankan) agamamu…”

Baca Juga: Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

Refleksi Larangan Berlebihan dalam Beragama

Abu Hasan An-Naisaburi dalam kitab Asbab Nuzul al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat 171 surah an-Nisa ini turun disebabkan kalangan umat Nasrani yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan (Allah).

at-Tabari dalam tafsirnya juga berpandangan demikian. Larangan berlebihan dalam beragama pada ayat ini memang tertuju pada kalangan Ahlulkitab–terutama kaum Nasrani-. Mereka terlampau berlebihan ketika berusaha membenarkan agamanya dengan keyakinan bahwa Isa adalah anak Allah, padahal Allah sendiri tidak beranak lagi diperanakkan.

Selanjutnya, at-Tabari juga mengutip salah satu riwayat dari ar-Rabi’ yang membagi orang-orang ekstremis (berlebihan dan melampaui batas) menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang-orang yang berlebihan dalam keraguan dan kebencian; sementara kelompok kedua adalah orang-orang yang melewati batas kewajaran dalam melalaikan dan menyimpang dari ajaran Tuhan atau agama mereka sendiri (Jami’u al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 7, hal. 700-701).

Sementara itu, al-Qurtubi dalam menafsirkan ayat ini juga turut memasukkan kaum Yahudi sebagai golongan yang berlebihan dalam beragama selain daripada kaum Nasrani. Kedua kaum ini dinilai memang telah melampaui batas dari ajaran agama masing-masing. Kaum Yahudi menunjukkan rasa ketidaksukaan mereka secara berlebihan terhadap status kenabian Isa dengan menuduh Maryam telah berzina. Sedangkan kaum Nasrani adalah sebaliknya, yakni terlalu berlebihan mengkultuskan Isa sebagai anak dari Allah swt. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jilid 7, hal. 229).

Kedua keyakinan dari kaum Yahudi dan kaum Nasrani ini telah memberikan gambaran akan buruknya sikap berlebihan dalam beragama. Hal ini menurut al-Qurthubi juga dianggap sebagai sebuah keburukan dan bahkan kekufuran. Bahkan, az-Zuhaili juga menjelaskan ketika menafsirkan ayat ini bahwa sikap berlebihan atau ekstrem dalam segala perkara memang tidak dibenarkan dan dilarang oleh syariat.

Dalam konteks keyakinan kaum Yahudi dan Nasrani di atas, az-Zuhaili pun menawarkan sikap moderat sebagai solusi mencegah timbulnya ekstremisme beragama. Sikap moderat di sini berupa tidak terlalu berlebihan, baik dalam hal mengkultuskan maupun meremehkan Nabi Isa seperti halnya dua kaum yang disebut sebelumnya.

az-Zuhaili juga menganjurkan agar jangan berlebihan dalam beragama dengan menambah atau mengurangi ajaran di dalamnya, serta tetap berpegang pada nas dan dalil akal yang kuat agar terhindar dari ajaran-ajaran yang ekstrem lagi sesat (Tafsir Al-Munir, Jilid 3, hal. 392-396).

Baca Juga: Usamah Al-Azhari: Peringatan Keras Memahami Al-Quran Tanpa Ilmu

Kesadaran Mencegah Berlebihan dalam Beragama

Kendati surah an-Nisa ayat 171 merupakan teguran dari Allah terhadap kalangan Ahlulkitab dengan sikapnya yang berlebihan dalam beragama, umat Islam sendiri juga sebaiknya jangan sampai lalai akan petunjuk ini. Hal senada pun disampaikan oleh Buya Hamka bahwa umat Islam jangan sampai mengikuti keburukan tersebut dengan turut mengkultuskan Nabi Muhammad saw. secara berlebihan.

Pendapat Hamka ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui sanad Umar bin Khattab (Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, hal. 1568-1575).

لا تَطْرُوني كَمَا أَطَرَتِ النَصَارَى ابنَ مريم؛ إنمَا أنا عَبْدُهُ، فَقُولُوا: عَبْدُ الله ورَسُولُهُ

“Berkata Rasulullah: Janganlah kamu angkat-angkat aku, sebagaimana orang Nasrani mengangkat-angkat anak Maryam. Aku ini lain tidak, adalah hamba Allah. Sebab itu, katakanlah ‘hamba Allah dan utusan-Nya’.”

Menurut Hamka, sikap berlebihan dalam beragama seperti ini juga dapat memicu timbulnya perpecahan dan kepayahan. Apalagi ketika agama atau keyakinan yang dibela secara berlebihan tersebut mempunyai ajaran yang sudah tidak masuk akal lagi bagi logika manusia, sehingga pendapat yang berbeda-beda akan bermunculan dan tidak jarang berujung pada saling klaim kebenaran.

Di samping itu, Quraish Shihab melalui Tafsir Al-Mishbah (Jilid 2, hal. 832) menganggap sikap berlebihan dalam beragama juga dapat memunculkan beberapa dampak negatif; ketimpangan pemahaman agama, ekstremisme, dan intoleransi.

Baca Juga: Eksklusivitas Islam dalam Alquran dan Kesalahpahaman Tentangnya

Hal ini dapat terjadi ketika hanya satu aspek agama yang ditekankan tanpa melihat dan memahami konteksnya secara menyeluruh–seperti halnya kelompok eksklusif. Oleh sebab itu, berbagai dampak negatif tersebut bagi Shihab seharusnya dapat memberikan kesadaran untuk menghindari sikap fanatik dan menjunjung dialog antaragama sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih terbuka.

Kesadaran yang demikian idealnya harus dimiliki oleh setiap umat Islam. Terlepas dari ayat ini pada awalnya memang ditujukan kepada kalangan Ahlulkitab. Orang Islam yang beriman pada Alquran tentu akan tetap hati-hati dari sikap berlebih-lebihan ini. Wallahu ‘alam.

Adi Swandana E. P.
Adi Swandana E. P.
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

0
Alquran menyebutkan fenomena alam tidak hanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi juga sebagai pengingat akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Salah satu elemen alam yang...