Perkembangan teknologi informasi yang ditandai dengan kehadiran media sosial memang membawa beragam dampak positif bagi kehidupan manusia. Namun, suguhan instan ini justru mampu mengusung kerugian bagi penggunanya. Informasi yang mudah sekali didapatkan ini, memungkinkan orang-orang sudah merasa tidak membutuhkan berguru atau berkonsultasi kepada seorang ahli.
Fenomena ini disebut dengan self-education atau dapat pula dikatakan mampu mendiagnosa diri sendiri: self-diagnosis. Inilah penyakit anak muda yang dengan mudahnya mendiagnosa kelainan psikis hanya bermodalkan sumber yang tidak jelas, bukan hasil diagnosa ahli.
Kondisi demikian, apabila tidak diimbangi dengan self-control yang baik, maka akan menimbulkan misleading information. Ada banyak informasi yang tidak akurat di internet yang mampu membuat orang-orang merasa cukup dengan pengetahuan yang mereka temukan sendiri. Pada akhirnya kemudian secara perlahan memunculkan rasa tidak butuh atau mengesampingkan para ahli bidang tertentu. Berkenaan dengan fenomena ini, Allah telah menegaskan dalam surah al-Anbiya’ ayat 7 berikut.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.
Ayat di atas merupakan perintah bagi orang-orang yang belum mengetahui untuk bertanya
kepada ahlu al-żikr.
Baca Juga: Tafsir Surah Annur Ayat 45: Setiap Orang Memiliki Keahlian Masing-Masing
Siapakah Ahlu al-Żikr?
Secara historis, lafaz ahlu al-żikr dimaknai dengan ahli Taurat dan Injil, atau Ahlu Kitab. Salah satunya diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bahwasanya pada saat itu orang-orang kafir mengingkari kenabian Rasulullah saw. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menanyakan kepada ahli kitab berkenaan dengan apakah para rasul yang datang kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Dijawablah bahwa mereka merupakan manusia biasa, yang dikaruniai sebagai utusan-Nya, agar manusia di muka bumi mampu menerima risalah dari para rasul itu [Tafsīr Ibnu Katsīr, 5/334].
Adapun al-Qurthubi memaknai ahlu al-żikr sebagai ahli kitab Taurat dan Injil yang mengimani kenabian Nabi Muhammad saw. Mengutip pendapat Imam Hafs, Hamzah, dan Kisa’i, bahwa para ulama tidak berselisih pendapat mengenai pemaknaan ini untuk menganjurkan orang awam bertanya kepada orang berilmu jika mereka tidak mengetahui. Orang awam tidak memiliki pilihan lain kecuali bertaklid kepada para ulama. Demikian pula para ulama tidak berselisih pendapat bahwa orang awam tidak boleh berfatwa, karena ketidaktahuannya tentang makna yang menjadi dasar hukum halal dan haram [Tafsīr al-Qurṭubī, 11/272].
Sementara M. Quraish Shihab, memaknai ahlu al-żikr dengan seorang yang berpengetahuan jelas terhadap agama, Alquran, dan ilmu fenomena alam. Sebutan ulama seperti kiai, ustaz, dan para dai. Kaum-kaum intelektual inilah merupakan pembawa pencerahan kepada masyarakat sekitar.
Baca Juga: Surah Al-Baqarah Ayat 164: Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Quraish Shihab menambahkan, bahwasannya ulama mengacu pada sifat-sifat, bukan sekadar gelar atau atribut lahiriah. Ia dikaruniai dengan ilmu agama yang mumpuni, yang mana dengan ilmu itu membawa dampak positif bagi kehidupan manusia secara umum [Suprapto, Islam di Tengah Pluralisme dan Multikultur, 112]. Sehingga, ulama adalah ahli. Seorang ahli dalam bidang keilmuan masing-masing. Tidak hanya ahli dalam bidang agama
saja.
Kontekstualisasi Surah Alanbiya Ayat 7 Terhadap Urgensi Seorang Ahli
Secara eksplisit, ayat di atas menegaskan pentingnya mengonsultasikan permasalahan apapun kepada ahli atau seseorang yang memiliki pengetahuan yang lebih dalam sesuai bidangnya masing-masing. Konsultasi dengan ahli merupakan langkah penting dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan seiring dengan tuntunan zaman yang kian kompleks.
Dengan tegas, surah al-Anbiya’ ayat 7 menggarisbawahi supaya menjadikan para ahli bidang keilmuan masing-masing, baik agama maupun ilmu pengetahuan, sebagai pijakan setiap permasalahan yang ada. Tidak serta merta membuat pendapat sendiri yang kiranya kurang kredibel dalam permasalahan tertentu. Bertaklid buta justru menyesatkan, tidak hanya perkara akhirat, namun dunia juga.
Self-education bukanlah mutlak tidak dianjurkan, namun perlu adanya filter diri untuk menyaring mana saja website atau situs yang kredibel atau terpercaya. Tidak begitu saja memercayai konten-konten singkat atau setengah-setengah yang menggiring pengetahuan salah kaprah. Dengan demikian, memanfaatkan pengetahuan ahli tidak hanya merupakan upaya untuk menanggulangi masalah secara efektif, tetapi juga sebuah wujud penghormatan terhadap nilai-nilai pengetahuan yang dianjurkan dalam ajaran agama.
Wallahu a’lam bish shawab.