BerandaTafsir TematikTafsir EkologiEkologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

Krisis ekologi di Indonesia akhir-akhir semakin mengkhawatirkan. Ini karena manusia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (khalifah) mulai kehilangan hati nurani untuk menjaga lingkungan sebagai tugas yang diembannya. Mereka lebih mementingkan hawa nafsu dan hasrat pribadi dengan mengeksploitasi besar-besaran pada hasil bumi, tanpa mempertimbangkan dampak dan risiko yang dimunculkan.

Memang terdapat dua faktor dari kerusakan lingkungan, peristiwa alam dan ulah manusia. Akan tetapi, kerusakan lingkungan akibat manusia lebih sering terjadi karena dipicu oleh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan dan menerapkan prinsip keberlanjutan. Kejadian tersebut semakin menguatkan perlunya mengkaji ulang ayat-ayat ekologi yang memerintahkan manusia untuk melestarikan habitatnya sebagai tempat ia melakukan segala aktivitas.

Metode yang digunakan ialah mengubah mindset dalam menafsirkan ayat-ayat dengan corak teosentris menggunakan metodologi antroposentris. Metode yang saat ini banyak digunakan para intelektual muslim kontemporer dalam menangani kasus-kasus aktual. Tujuannya adalah untuk menemukan konsep yang lebih ideal dan relevan terhadap kebutuhan zaman.

Memahami Teosentrisme dan Antroposentrisme

Menurut Nur Cholis Majid dalam bukunya “Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan”, Teosentrisme berasal dari bahasa Yunani, theos, yang memiliki arti Tuhan; dan dari bahasa Inggris, center, yang berarti pusat. Teosentrisme mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan dengan sistem lainnya. Jelasnya teosentrisme di sini menjelaskan bahwa Tuhan sebagai pusat dari alam semesta. Teosentris di sini adalah kebalikan dari antroposentris. Manusia tidak mempunyai daya apa pun untuk melakukan perbuatannya karena semuanya sudah dikendalikan oleh Tuhan

Sementara, antroposentris atau anthropocentric berasal dari bahasa Yunani anthropikos, dari anthropos (manusia) dan kentron (pusat). Istilah ini membentuk sebuah pandangan yang mempertahankan bahwa manusia merupakan pusat dan tujuan akhir dari alam semesta. Mengacu kepada pandangan bahwa manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang dan secara tahap demi tahap mendukung nilai-nilai itu.

Definisi di atas menjelaskan bahwa manusia menjadi pusat dari alam semesta. Artinya, pemahaman antroposentris mengindikasikan bahwa manusia diberi kebebasan dalam melakukan perbuatannya tanpa campur tangan Tuhan. Pandangan antroposentrisme beranggapan bahwa kehidupan manusia tidak berpangku tangan terhadap keputusan Tuhan, melainkan manusialah yang menentukan nasib dirinya sendiri.

Baca juga: Dakwah Berwawasan Ekologi sebagai Solusi Pelestarian Lingkungan

Namun, penting untuk dicatat bahwa antroposentris yang dimaksud dalam dunia tafsir modern bukan antroposentris sekuler seperti yang dianut orang-orang Barat, yakni yang mengklaim manusia sebagai penguasa tunggal yang dapat berbuat semena-mena. Melainkan, antroposentris yang diinginkan ialah antroposentris dialogis yang menghubungkan peran dan wewenang manusia dengan sekitarnya.

Pada umumnya, para penganut pemikiran teosentris cenderung tekstualis dan kaku dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Berbeda dengan mufasir yang menggunakan metode antroposentris yang lebih menekankan pentingnya melihat asbab an-nuzul, kondisi dan situasi empiris, serta kebutuhan yang diinginkan saat ini.

Aplikasi dari Dua Konsep Tafsir

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah telah mempraktikkan corak tafsir yang lebih memihak pada manusia (antroposentrisme), daripada mufasir lain yang cenderung lebih mengarah pada pembelaan terhadap Tuhan (teosentrisme). Ini dapat dilihat ketika Quraish Shihab menafsiri ayat-ayat ekologi, seperti Alquran surah Ar-Rum[30] ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ۝٤١

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya, “al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”  (hal. 140), menjelaskan bahwa ada perbedaan ulama dalam menafsiri kata فساد pada ayat di atas. Menurut Qatadah arti lafal فساد adalah syirik dan itu adalah kerusakan yang paling tinggi. Sedangkan البر فساد menurut Ibnu Abbas, Ikrimah dan Mujahid diartikan sebagai Ibnu Adam yang membunuh saudaranya sendiri seperti Qabil yang membunuh Habil, sedangkan البحر فساد diartikan sebagai seorang raja yang mengambil setiap kapal yang ada di laut dengan paksa. Sedangkan Ibnu Abbas mengartikan فساد dengan hilangnya keberkahan atau berkurangnya keberkahan pada amal perbuatan seorang hamba.

Baca juga: Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]

Sementara, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (hlm. 76) memaknai ayat di atas lebih ramah dengan memaksudkan bahwa kerusakan di darat adalah kekeringan, paceklik, dan hilangnya rasa aman. Sedangkan kerusakan di laut adalah kekurangan hasil laut dan sungai. Makna فساد menurut Asfihani, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Beliau juga memberikan penafsiran tambahan yakni kekurangan dari segala hal yang dibutuhkan makhluk. Kata ini mutlak digunakan untuk menunjukkan apa saja baik jasmani, rohani, jiwa, maupun hal lain.

Dapat dirasakan perbedaan penafsiran dua ulama di atas, bahwa metode yang digunakan mufasir pertama masih sarat akan hegemoni “membela Tuhan” daripada “membela manusia”. Berbeda dengan mufasir kedua yang telah mengontekstualkan pemahaman ayat dengan realitas yang terjadi pada lingkungan saat ini. Hal ini dimaklumi, karena bisa saja konteks lingkungan para mufasir belum separah dengan konteks mufasir kedua.

Sementara, mufasir kedua menafsiri ayat di atas dengan paradigma ekologis, bahwa kerusakan di darat adalah paceklik dan kekeringan. Dan kerusakan di laut adalah hancurnya ekosistem laut. Makna ini cukup logis diterapkan melihat fenomena saat ini ketika manusia sudah tak segan-segan untuk mengeksekusi kekayaan alam secara membabi buta, sehingga muncullah kerusakan-kerusakan lingkungan.

Baca juga: Revitalisasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Upaya Melestarikan Lingkungan

Masih dalam kitab yang sama, Quraish Shihab menguatkan pandangannya untuk menjadikan manusia sebagai tokoh utama (antroposentris) dalam menafsirkan ayat-ayat ekologis, dengan mengutip potongan surah al-Araf [7] ayat 56:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.

Perintah ini, menurut beliau jelas mengarah pada “manusia” sebagai biang kerok adanya kerusakan di muka bumi. Ayat ini juga mengandung visi ekologis bahwa kelestarian lingkungan tergantung bagaimana manusia merawat dan menjaganya. Maka makna kerusakan (dalam ayat di atas) yang dimaknai Quraish Shihab sebagai sesuatu yang keluar dari keseimbangan bisa dimaknai secara ekologis bahwa sesuatu yang menghasilkan ketidakseimbangan maka akan rusak, semisal air sungai yang jernih akan tercemar akibat adanya praktik pertambangan yang dilakukan manusia.

Kesimpulannya, fenomena yang terjadi saat ini merupakan dampak yang dilakukan oleh manusia. Sehingga, perlunya beralih dari menafsirkan ayat-ayat ekologi menggunakan metode teosentris menuju antroposentris yang lebih memusatkan manusia sebagai objek kajian sehingga menciptakan nilai-nilai moral. Nilai moral yang telah diformulasikan diistilahkan dengan ekologi Qurani, yaitu nilai-nilai lingkungan yang diinspirasi dari kandungan Alquran. Ekologi Qurani ini menjadi basis sebagai acuan untuk berperilaku ramah lingkungan yang berdasarkan nilai Alquran.

Muhammad Ubaidillah
Muhammad Ubaidillah
Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...