BerandaKhazanah Al-QuranMengangkat Alquran: Peran Performatif dan Simbolisme dalam Pelantikan Pemimpin

Mengangkat Alquran: Peran Performatif dan Simbolisme dalam Pelantikan Pemimpin

Alquran tidak hanya berfungsi sebagai pedoman ajaran agama, tetapi juga memiliki dimensi performatif yang terwujud dalam berbagai tradisi dan ritual sosial-keagamaan. Salah satu manifestasi dari peran performatif Alquran adalah tradisi pengangkatan Alquran dalam pelantikan pejabat (Zakariya, 2018: 165).

Seperti yang baru saja terjadi dalam pelantikan presiden di Indonesia, tradisi ini tidak hanya sebagai simbolisme keagamaan, tetapi juga mencerminkan hubungan antara agama dan kepemimpinan dalam budaya politik Islam.

Baca Juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)

Sejarah Pengangkatan Alquran dalam Pelantikan

Mengangkat Alquran dalam prosesi pelantikan pejabat, kini menjadi tradisi yang marak di Indonesia. Namun, ternyata praktik ini tidak memiliki dasar yang jelas dalam sejarah awal Islam.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, pelantikan seorang khalifah dilakukan melalui baiat yaitu sumpah kesetiaan dari umat kepada pemimpin terpilih. Pun Khalifah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib dilantik tanpa prosesi formal yang melibatkan Alquran secara fisik.

Mereka memperoleh kekuasaan melalui kesepakatan para sahabat dan masyarakat Muslim, yang mana Alquran lebih berperan sebagai pedoman dalam memerintah daripada elemen ritual pelantikan.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, simbol-simbol keagamaan pun mulai diintegrasikan ke dalam ritual politik. Alquran lambat laun mulai diangkat sebagai simbol otoritas ilahi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap pemimpin.

Pengangkatan Alquran dalam pelantikan menjadi salah satu cara untuk mempertegas bahwa kepemimpinan harus berlandaskan pada hukum Allah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta kesejahteraan umat. Dengan harapan dapat mentaati segala keharusan dan menjauhi segala larangan yang telah ditentukan (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 30).

Baca Juga: Tafsir al-Nahl Ayat 94: Penyalahgunaan Sumpah Sebagai Alat untuk Menipu

Peran Performatif Alquran dalam Pelantikan

Peran performatif Alquran dalam tradisi pelantikan mencerminkan dimensi ritualistik yang mendalam. Ketika Alquran diangkat di atas kepala seorang pejabat yang dilantik, tindakan ini membawa pesan yang lebih dari sekadar simbol agama.

Ini adalah pengakuan publik bahwa hukum Allah harus menjadi dasar bagi kepemimpinan dan bahwa pemimpin tersebut bertanggung jawab tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 30). Tindakan fisik yang dilakukan di depan umum ini, memperlihatkan komitmen pemimpin untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan ajaran Islam.

Ritual ini juga memiliki dimensi performatif yang mempengaruhi masyarakat. Melalui tindakan mengangkat Alquran, pejabat yang dilantik tidak hanya sekadar menjalani upacara formal, tetapi juga melibatkan elemen spiritual yang juga melibatkan seluruh komunitas.

Rakyat yang menyaksikan pelantikan tersebut akan menginternalisasi bahwa Alquran tidak hanya sebuah teks yang dibaca dan dipahami, tetapi juga sesuatu yang dihormati dan dijadikan pegangan dalam setiap aspek kehidupan (Dewi, 2018: 200), termasuk dalam pemerintahan.

Peran performatif ini mengingatkan pada konsep speech act (tindak tutur) dalam teori linguistik, di mana suatu tindakan melalui kata-kata atau simbol tidak hanya mengomunikasikan pesan, tetapi juga menciptakan realitas baru (Suryawin, Wijaya, and Isnaini, 2022: 40).

Dalam konteks ini, pengangkatan Alquran mengesahkan otoritas pemimpin dan menghubungkannya dengan nilai-nilai yang lebih tinggi yaitu nilai-nilai ketuhanan dan keadilan.

Baca Juga: Konsep Fungsi Informatif dan Performatif Alquran ala Sam D. Gill

Simbolisme Alquran dalam Pelantikan

Dalam praktiknya, interaksi manusia dengan Alquran mengalami perkembangan dan perluasan makna (Amiroh, 2022: 36). Simbolisme Alquran dalam pelantikan pejabat tidak bisa dilepaskan dari statusnya sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam, mengangkat Alquran dalam pelantikan pejabat merupakan perwujudan bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin harus sesuai dengan ajaran yang terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, sumpah yang diucapkan dengan Alquran di atas kepala menjadi lebih dari sekadar komitmen politik, tetapi juga komitmen religius. Simbol ini juga memberikan legitimasi tambahan bagi pemimpin yang baru dilantik, terutama dalam masyarakat yang sangat menghormati agama (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 22).

Dengan melibatkan Alquran dalam sumpah jabatan, pemimpin tersebut secara simbolis mengafirmasi tanggung jawabnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana yang diperintahkan dalam Islam.

Karena dalam pandangan masyarakat, ini memperkuat keyakinan bahwa kepemimpinan yang diambil sumpahnya dengan Alquran adalah kepemimpinan yang berakar pada prinsip-prinsip moral yang tinggi dan tidak semata-mata mengejar kekuasaan duniawi (Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2013: 14).

Baca Juga: Kisah Diangkatnya Thalut sebagai Raja dan Realitas Politik Modern

Relevansi dan Tantangan dalam Kepemimpinan Modern

Dalam konteks modern, terutama di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, tradisi mengangkat Alquran dalam pelantikan pejabat tetap relevan. Berdasarkan penelusuran video dokumenter di kanal YouTube, semua presiden dan wakil presiden Indonesia diambil sumpahnya dengan Alquran sejak era presiden Soekarno hingga yang baru terlaksana, Prabowo Subianto.

Praktik ini menunjukkan bahwa agama terus menjadi bagian integral dari politik, meskipun negara tersebut beroperasi dalam kerangka negara yang berdasarkan Pancasila dan bukan negara Islam.

Namun, relevansi praktik ini juga menimbulkan sejumlah tantangan, terutama dalam masyarakat yang semakin plural. Bagi kelompok non-Muslim bahkan muslim sekalipun, pengangkatan Alquran dalam pelantikan bisa saja dianggap sebagai eksklusivitas agama dalam politik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebhinekaan dan sekularisme.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mempertahankan inklusivitas dalam sistem politik yang menghargai pluralisme agama, sementara tradisi keagamaan tetap dijaga.

Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa ritual mengangkat Alquran dalam pelantikan bisa menjadi sekadar formalitas tanpa makna mendalam, terutama jika pejabat yang dilantik tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Praktik yang simbolik ini harus diiringi dengan implementasi nyata dalam kebijakan dan tindakan pemimpin yang dilantik, sehingga sumpah jabatan yang diambil dengan Alquran tidak hanya menjadi ritual hampa, tetapi benar-benar mencerminkan komitmen terhadap keadilan, integritas, dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya akan tetap relevan, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kekuasaan sejati harus berakar pada prinsip-prinsip yang melayani semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis.

Agus Mafrudi
Agus Mafrudi
Mengabdi di Pondok Pesantren Al-Fithroh Ujungpangkah Gresik
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Respons Abū Āshī Terhadap Abū Zaid Tentang Kaidah al-‘Ibrah bi ‘Umūm...

0
Perbedaan pemahaman ketika ada ayat umum yang diturunkan disebabkan oleh sebab yang khusus, ada yang berpatokan pada keumuman teks ada yang berpatokan pada kekhususan...