Berdasarkan laporan “Digital 2023” oleh We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta pada Januari 2023, yang setara dengan 60,4% dari total populasi (Data Indonesia). Pengguna internet di Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 17 menit per hari untuk mengakses media sosial (Datareportal).
Selain itu, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin marak di kalangan generasi muda Indonesia. Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 67% dari mereka mengalami kecemasan ketika tidak memeriksa media sosial selama beberapa jam (Tinta Hijau). Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi revolusi digital ini dari perspektif Islam.
Alquran, sebagai pedoman hidup yang relevan sepanjang masa, sebenarnya telah memberikan framework yang sempurna dalam menyikapi gejala sosial ini. Ketika algoritma media sosial terus mendorong kita untuk membandingkan diri dengan orang lain, Alquran justru mengajarkan sebaliknya. Allah Swt. menegaskan dalam surah An-Nisa ayat 32;
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
“Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa [4]: 32).
Baca juga: Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran
Muhammad Rashid Rida dalam Tafsir Al-Manar (juz 5/hlm. 49–50) memberikan perspektif mendalam terkait ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa firman Allah, “Janganlah kamu berangan-angan terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain”, menekankan larangan untuk iri hati terhadap kelebihan orang lain, baik yang bersifat bawaan maupun yang dihasilkan dari usaha. Menurut beliau, ada dua jenis kelebihan:
- Kelebihan bawaan (tidak bisa diusahakan): Misalnya, fisik, kekuatan, atau garis keturunan. Dalam konteks media sosial, ini bisa berupa gaya hidup yang terlihat lebih mewah atau tampilan fisik yang ideal. Rashid Rida mengingatkan bahwa tidak patut bagi seseorang merasa rendah diri atas hal ini, karena kelebihan tersebut adalah takdir Allah yang tidak bisa diubah.
- Kelebihan yang bisa diusahakan: Seperti ilmu, amal, atau keterampilan. Fokus utama manusia seharusnya adalah meningkatkan diri melalui usaha, bukan sibuk membandingkan diri dengan orang lain.
Lebih lanjut, beliau mengingatkan bahaya membiarkan diri larut dalam angan-angan kosong atau iri hati. Sikap seperti ini dapat mengalihkan seseorang dari upaya memperbaiki diri dan mendorongnya ke arah perilaku negatif, seperti kedengkian atau bahkan tindakan yang merugikan orang lain. Sebaliknya, Alquran mendorong manusia untuk “memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya” sebagai langkah yang lebih produktif dan sesuai dengan ajaran Islam.
Pertanyaannya, bagaimana kita mengimplementasikan ajaran ini di era digital? Jawabannya terletak pada pemahaman dan penerapan beberapa prinsip fundamental.
Pertama, media sosial seharusnya menjadi wadah untuk memperkuat, bukan melemahkan iman. Setiap scroll, setiap konten yang kita konsumsi, idealnya mendekatkan kita kepada Allah, bukan menjauhkan. Ketika kita melihat prestasi atau pencapaian orang lain di timeline, responnya bukanlah iri atau merasa tertinggal, melainkan turut bahagia dan menjadikannya inspirasi. Seperti yang diingatkan dalam Alquran, setiap orang memiliki takdirnya masing-masing, dan Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Kedua, praktik verifikasi informasi menjadi kunci dalam bermedia sosial. Di era di mana hoaks dan misinformasi menyebar lebih cepat dari kebenaran, Alquran telah lebih dulu mengajarkan pentingnya tabayyun. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti” (Al-Hujurat: 6). Prinsip ini mengajak kita untuk tidak terburu-buru membagikan informasi tanpa verifikasi, sebuah kebijaksanaan yang sangat relevan di era viral culture.
Baca juga: Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Alquran dan Hadis
Ketiga, dalam hal interaksi digital, Islam mengajarkan adab yang sama pentingnya dengan interaksi fisik. Menjaga lidah dalam bertutur kata berlaku juga untuk jari yang mengetik komentar. Menghindari ghibah tidak hanya di majelis fisik, tapi juga di ruang-ruang chat. Prinsip “berkata baik atau diam” yang diajarkan Rasulullah saw. menjadi panduan sempurna dalam bermedia sosial.
Digital wellbeing dalam Islam bukan berarti menolak teknologi, melainkan memanfaatkannya dengan bijak. Membatasi waktu scrolling bukan karena media sosial itu haram, tapi karena waktu kita terlalu berharga untuk dihabiskan dalam aktivitas yang tidak produktif. Seperti diingatkan dalam Alquran, “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian” (Al-‘Asr: 1-2).
Baca juga: Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial
Implementasi praktisnya bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, menjadikan waktu salat sebagai momen digital detox, mengalokasikan waktu khusus untuk checking media sosial, atau mengaktifkan fitur screen time reminder. Yang terpenting adalah menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan spiritual.
Pada akhirnya, media sosial hanyalah wasilah, bukan ghayah (tujuan). Kebahagiaan sejati tidak diukur dari jumlah followers atau likes, melainkan dari kedekatan hati dengan Allah dan kemanfaatan bagi sesama. Dengan pemahaman ini, FOMO bisa berubah menjadi JOMO (Joy of Missing Out), alih-alih merasa gelisah karena “melewatkan sesuatu,” JOMO mengajarkan bahwa fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, seperti hubungan dengan Allah, keluarga, dan manfaat bagi orang lain jauh lebih berharga. Wallahu ‘alam.