BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiMenimbang Ulang Kata Pepatah "Banyak Anak Banyak Rezeki"

Menimbang Ulang Kata Pepatah “Banyak Anak Banyak Rezeki”

Anak merupakan amanah, anugerah, dan rezeki dari Allah Swt. Karenanya, cukup sering kita mendengar kata pepatah, “banyak anak banyak rezeki.” Dalam ajaran Islam, tidak ada anjuran untuk membatasi jumlah anak. Di sisi lain, Islam mengharamkan untuk membunuh anak, karena takut miskin atau lain hal. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Alquran surah Al-Isra (17): 31.

وَلََ تَ قْتُ لُوا أَوْلََدَكُمْ خَشْيَةَ إِّمْلََقٍ نََْنُ ن رَْزُقُ هُمْ وَإِّيََّّكُمْ إِّ ن قَ تْ لَهُمْ كا ن خِّطْئًا كبِّيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

Banyaknya masyarakat yang menganut pemikiran “banyak anak banyak rezeki” memberikan dampak pada masalah kependudukan. Di sisi lain, tidak sedikit orang tua atau keluarga yang meyakini pemikiran tersebut tidak diimbangi dengan kesiapan dalam berbagai aspek seperti kondisi mental dan finansial (Imroatul Mufasirin, Banyak Anak Banyak Rezeki Perspektif Perlindungan Anak Pada Masyarakat Pinggiran, 11).

Baca juga: Meruwat Anak dalam Islam

Pandangan tersebut tidak hanya berpotensi menimbulkan masalah kependudukan, melainkan juga dapat memperparah kondisi kemiskinan atau ketidakmampuan masyarakat untuk hidup layak. Kemiskinan yang dimaksud tidak terbatas pada jumlah penghasilan melainkan juga kondisi kerentanan, tertutupnya akses pada sumber daya produktif seperti kesempatan kerja, rendahnya ketahanan fisik dan intelektual. Di samping juga mengakibatkan ketergantungan secara fisik, sosial, hingga ekonomi pada pihak lain (Fawziah Zahrawati B, Pembebasan Jerat Feminisasi Kemiskinan, 10-11).

Mengingat anak adalah amanah dari Allah Swt, maka perlu bagi calon orang tua untuk memahami kondisi mental, kesiapan ilmu, dan finansial masing-masing agar mampu memberikan hak anak. Kewajiban orangtua untuk memenuhi hak-hak anak telah disinggung dalam Alquran. Berikut ayat yang berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan keturunan:

Surah al-Baqarah (2):233

وَالۡوَالِدٰتُ يُرۡضِعۡنَ اَوۡلَادَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ​ لِمَنۡ اَرَادَ اَنۡ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ​ ؕ وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ​ؕ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ اِلَّا وُسۡعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُوۡدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ…

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya…”

Ayat ini menjelaskan tentang keluarga. Seorang ibu sepantasnya menyusui anak hingga waktu yang cukup. Sedangkan ayah memiliki peran untuk memberikan nafkah seperti pangan sehat untuk ibu agar mampu memberikan nutrisi yang baik melalui air susunya, juga nafkah seperti pakaian.

Penggalan ayat selanjutnya “janganlah seorang ibu menderita karena anaknya memiliki makna bahwa janganlah ayah mengurangi hak wajar bagi sang ibu dari segi pemberian nafkah dan penyediaan pakaian. Begitupun “jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya,” yaitu jangan sampai sang ibu meminta sesuatu di atas kemampuan sang ayah menggunakan anak yang disusui sebagai alasan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 1, 503-505). Nafkah sendiri merupakan kewajiban individu yang diberi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Tugas Ibu Menyusui Anak

Disebutkan pula kurun waktu untuk menyusui anak, yaitu dua tahun, tetapi dalam penafsiran lain disebutkan bahwa waktu itu bisa kurang hingga dua puluh satu bulan. Ini menunjukkan bahwa anak yang lahir tidak membuat penderitaan bagi orangtuanya. Diperlukan kemampuan orang tua untuk menjamin kesejahteraan anak dan kehidupan mereka, selain itu orang tua harus memiliki pengaturan kelahiran terkait jumlah anak yang sanggup dipelihara dengan baik dari aspek kesejahteraan hidup (Abdul Hakim et al, Analisis Surah Al-Baqarah Ayat 233: Studi Tafsir Ilmi dan Tafsir Tematik Kementerian Agama, 29).

Surah an-Nisa (4):9

وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Penting bagi semua orang untuk menjalankan perintah Allah Swt. Ayat ini menekankan untuk berlaku adil dan menjalankan amanah dengan baik. Ayat ini juga menunjukkan tuntunan agar seseorang memiliki kepemimpinan yang bertanggung jawab ( Rahmad Alim Witari & Efi Tri Astuti, Urgensi Pemberantasan Stunting Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 9, 84).

al-Maraghi mengungkapkan bahwa orang tua dan mereka yang diwasiati (dititipi anak yatim) diperintahkan untuk memperlakukan anak dengan baik, berbicara dengan baik dan halus serta sopan, memanggil anak-anak dengan panggilan seperti “anakku,” “sayangku,” dan sebagainya (Enok Hilmatus Sa’adah & Abdul Aziz, Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Alquran (Analisis terhadap Tafsir Al-Maraghi), 192).

Dari ayat ini, tanggung jawab orang tua terhadap anak terdiri dari beberapa aspek (Enok Hilmatus Sa’adah & Abdul Aziz, Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Alquran (Analisis terhadap Tafsir Al-Maraghi), 195). Di antaranya:

  1. Mewujudkan generasi berkualitas dengan pendidikan jasmani dan rohani anak, orang tua harus merasa khawatir apabila anaknya dalam kondisi yang lemah.
  2. Membekali anak dengan tauhid dan akidah.
  3. Mendidik dan membentuk akhlak yang baik.Surah al-An’am(6): 151

Surah al-An’am (6): 151

قُلۡ تَعَالَوۡا اَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡ​ اَلَّا تُشۡرِكُوۡا بِهٖ شَيۡـًٔـــا وَّبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًا​ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَكُمۡ مِّنۡ اِمۡلَاقٍ​ؕ نَحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَاِيَّاهُمۡ​ ۚ وَلَا تَقۡرَبُوا الۡفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ​ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِىۡ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالۡحَـقِّ​ ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ

“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.”

Menurut Ibn Kathir, ayat ini menunjukkan larangan menyekutukan Allah Swt dengan apapun, membunuh anak-anak sendiri karena takut miskin, mendekati perbuatan keji, dan membunuh jiwa yang tidak bersalah. Ayat ini juga menunjukkan perintah untuk berbuat kebaikan pada orang tua.

Ayat ini mengingatkan kita akan hak anak, yaitu setiap anak berhak untuk hidup dan tumbuh sesuai fitrahnya. Hak ini harus sudah dipenuhi sejak anak masih berupa janin dalam kandungan (Cut Annisa Syafira, Upaya Perlindungan Anak dalam Pandangan Islam, 904). Orang tua juga berkewajiban mendidik anak agar berbakti kepada mereka (birr al-walidain), didikan yang bagus adalah yang menimbulkan hormat (respect) dan cinta. Penting juga bagi ayah dan bunda untuk memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, 2442).

Dari ketiga ayat di atas, dapat kita pahami bahwa menjadi orang tua harus bertanggung jawab atas kualitas hidup sang anak dari segi pangan hingga pendidikan. Dengan kesiapan sebagai orang tua, maka akan tercetak generasi yang berkualitas. Karenanya, sekalipun Allah Swt. menjamin rezeki tiap anak, orang tua tetap diharuskan untuk berikhtiar dalam memberikan nafkah lahir dan batin kepada anak. Sehingga, orang tua tidak berpangku tangan lantas secara sembarangan memperbanyak anak dengan alasan kata pepatah “banyak anak banyak rezeki.”

Konita Hayyun Amalia
Konita Hayyun Amalia
Mahasiswa Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya. Peminat kajian tafsir tematik.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Nuansa Sunni dalam pemikiran al-Syaukani

Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

0
Manusia pada dasarnya bersifat dinamis, hal ini bisa terbentuk karena pengaruh lingkungan keluarga, budaya, bahkan perjalanan intelektual. Tidak terkecuali ulama ternama yang hidup pada...