BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiMeruwat Anak dalam Islam

Meruwat Anak dalam Islam

Anak menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Karenanya, masa depan segala yang ada di bumi ada di tangannya. Maka tidak heran jika sekian tindakan baik dialamatkan kepada anak ketika usianya masih dini. Tradisi, budaya, konsepsi berdalih penemuan ilmiah, sampai agama yang ditopang kitab-kitabnya juga menaruh perhatian pada anak, bahkan beberapa malah memberi perhatian sejak anak dalam kandungan.

Ajaran Islam misalnya. Ketika anak di dalam kandungan, sudah dianjurkan untuk didengarkan beberapa surah tertentu. Tujuannya tidak lain adalah untuk membentuk perangai anak kelak ketika lahir di bumi, anak bisa mewarisi nilai-nilai kebaikan di dalam Alquran. Kendati dalam praktiknya, ada beberapa muslim yang membaca surah Yusuf agar anaknya yang lahir bisa cakep seperti halnya Nabi Yusuf atau, membaca surah Maryam supaya anak perempuannya bisa menawan layaknya Maryam.

Atik Wartini dalam artikel Tafsir Tematik Kemenag: Studi Alquran dan Pendidikan Anak Usia Dini (2016) memberi interpretasi beberapa ayat yang bertalian erat dengan anak, khususnya dalam fase tumbuh kembangnya di dalam keluarga. Interpretasi itu ia ramu dari Tafsir Tematik yang diproduksi oleh Kementerian Agama Republik Indonesia lantas diselaraskan dengan konteks sosial masyarakat dewasa ini.

Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. As-Saffat: 102

Ketika anak baru lahir ada beberapa anjuran dari ajaran Islam yang perlu ditunaikan untuk si anak. Seperti mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamah di telinga kiri. Laku baik ini disandarkan pada hadis: “Barang siapa dikaruniai seorang anak, lalu ia melafalkan azan di telinga kanannya dan ikamat di telinga kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu oleh setan.

Hadis ini menurut Atik Wartini memiliki dua akibat positif sekaligus. Pertama, sebagai bentuk pengajaran tauhid pertama kali kepada si anak. Laku semacam ini tentu saja selaras dengan ayat 56 di dalam surah Az-Zariyat, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Kedua, azan dan ikamah juga sebagai bentuk pengamanan kepada si anak yang baru saja lahir dari gangguan setan.

Setelah lahir, pendidikan anak masih berlanjut di dalam keluarga. Orang tua, terutama ibu didapuk menjadi guru pertama bagi si anak. Maka dari itu, terdapat hadis anjuran lebih memilih pasangan yang menguasai ilmu agama dibanding nasab, harta, dan rupa. Lantaran pasangan yang fasih beragama kemungkinan bisa memberi pendidikan bagi anak-anaknya dengan baik sejak masih usia dini.

Baca juga: Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran

Akan tetapi, terutama di masyarakat muslim Indonesia, anak menjadi bagian penting dari kebanggaan orang tua. Kerap dijumpai antaranak dibandingkan capaiannya yang kadang tidak relevan dengan keterampilan si anak. Misalnya saja, anak dari orang tua A mendapat juara 1 lomba mewarnai, sementara juara tersebut diperoleh lantaran “paksaan” di luar bakat anak sebagai penghafal Alquran. Kemenangan lomba itu diwartakan pada masyarakat di sekitarnya.

Fakta semacam ini tidak serta merta bisa dihakimi salah atau benar. Hanya saja jika merujuk pada ayat 46 di surah Al-Kahfi yang artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Baca juga: Privilese bagi Pasangan yang Tidak Dikaruniai Anak

Mufasir nasional, Quraish Shihab, di Tafsir Al-Misbah memberi keterangan bahwa ayat tersebut tidak berpretensi untuk merendahkan kedudukan anak. Hanya saja jika anak sekadar difungsikan sebagai perhiasan duniawi, seperti menjadi objek untuk ajang memamerkan kesuksesan orang tua dalam mendidik dibandingkan orang tua yang lain, akibatnya malah menjadi bencana.

Jadi sederhananya, anak dalam ajaran Islam memang peroleh perhatian yang serius. Orang tua perlu meruwat anak dan mendidiknya sejak dalam kandungan, lahir, sampai nanti menginjak masa remaja. Tetapi anak juga tidak diperbolehkan menjadi objek pamer oleh orang tuanya. Anak dididik untuk menjalani kehidupannya sendiri sesuai potensi, pengetahuan, dan kondisi zamannya. Begitu.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-agama, Konsentrasi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

0
Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan...