Sujud dalam Perspektif Tafsir: Ibadah yang Penuh Kehormatan

0
797
Sujud dalam Perspektif Tafsir: Ibadah yang Penuh Kehormatan
Ilustrasi gerakan sujud (sumber: Unsplash).

Dari semua gerakan dalam salat, sujud adalah yang paling “membumi”. Dahi bersentuhan dengan tanah, lutut dan telapak menekan bumi, tubuh menunduk sepenuhnya, dan mulut melafazkan subḥāna rabbiyal aʿlā—“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”. Ironis, bukan? Tubuh merendah, tapi yang diucap justru tentang keagungan. Itulah kontradiksi indah dari sujud: makin rendah posisi tubuh, makin tinggi posisi jiwa.

Alquran menyebut sujud tidak hanya sebagai gerakan ibadah, tapi juga bentuk tertinggi dari penghormatan spiritual. Bahkan sejak penciptaan manusia, sujud sudah menjadi simbol ketaatan penuh malaikat kepada perintah Tuhan (al-Baqarah [2]: 34). Maka tidak mengherankan bila sujud terus menerus ditafsir ulang oleh para mufasir, ulama sufi, bahkan ilmuwan Barat yang menyimak kebudayaan Islam dari kejauhan.

Sujud: Gerakan Tubuh, Pusat Jiwa

Dalam struktur salat, sujud menempati posisi sentral. Ia dilakukan dua kali dalam satu rakaat, lebih sering dari rukuʿ. Dalam al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān, ar-Rāghib al-Aṣfahānī menyebut kata “sajada” mengandung arti “tawāḍuʿ” dan “khuḍūʿ”—rendah hati dan patuh total.

Alquran menggambarkan orang-orang saleh sebagai:

“يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًۭا”

“Mereka bersujud dengan dagu-dagu mereka menyentuh tanah.” (al-Isrāʾ [17]: 107)

Ibnu ‘Āsyūr dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (juz 15, hlm. 312) menafsirkan bahwa penggunaan kata “adzqān” (dagu) menunjukkan intensitas dan kekhusyukan sujud, bukan sekadar bentuk ritual, tapi momentum pembebasan jiwa dari ego.

Dalam konteks psikologi kontemporer, Carl Jung menyebut dalam esainya Modern Man in Search of a Soul bahwa manusia butuh semacam “ritual depersonalisasi” untuk terhubung dengan realitas transenden. Dalam Islam, sujud menjadi ruang paling sunyi dan jujur untuk itu.

Sujud dan Ketundukan Kosmik

Alquran tidak hanya menyuruh manusia bersujud, tapi juga menyebut bahwa seluruh alam semesta bersujud:

“وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلْأَرْضِ طَوْعًۭا وَكَرْهًۭا”

“Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud kepada Allah, dengan sukarela maupun terpaksa.” (ar-Raʿd [13]: 15)

Baca juga: Makna Sujud para Malaikat kepada Nabi Adam

Fakhruddīn al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr (juz 19, hlm. 201) menjelaskan bahwa sujud kosmis ini bukan gerakan fisik, melainkan penyerahan hakiki semua makhluk kepada sistem ilahi. Planet-planet, musim, dan bintang semuanya “bersujud” dalam ketaatan hukum ciptaan.

Dalam perspektif astrofisika, gerakan planet yang berputar dalam orbit tetap dan patuh terhadap gravitasi adalah bentuk keteraturan kosmis yang mencerminkan submission, istilah yang bahkan senada dengan makna Islam. Karen Armstrong dalam bukunya, A History of God menulis, “Sujud dalam Islam bukan hanya ketundukan manusia pada Tuhan, tapi juga refleksi harmoni alam dengan yang Mahatinggi.”

Sujud sebagai Antitesis Kesombongan

Kisah Iblis yang menolak sujud kepada Adam adalah narasi klasik tentang arogansi:

“أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَـٰفِرِينَ”

“Ia enggan dan menyombongkan diri, dan termasuk golongan kafir.” (al-Baqarah [2]: 34)

Baca juga: Apa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

Ibn Qayyim dalam Miftāḥ Dār al-Saʿādah (juz 1, hlm. 123) menyebut bahwa dosa pertama dalam sejarah adalah istiktbār (kesombongan) yang menolak sujud. Maka sujud dalam Islam bukan hanya ibadah, tapi latihan antiarogansi paling fundamental. Ia memecah keangkuhan, meletakkan kepala di tempat paling rendah, dan menjadikan tanah sebagai tempat kembali segala kesombongan.

Sujud juga menjadi titik rawan bagi yang lalai. Bukan tidak mungkin, dalam era citra dan branding personal hari ini, sujud bisa berubah dari makna spiritual menjadi gaya simbolik. Sujudnya panjang, tapi pikirannya sibuk menata unggahan Instagram. Karenanya, tafsir sujud hari ini harus mencakup kesadaran batin, bukan hanya ketepatan posisi.

Sujud dan Data Kehidupan

Dalam riset medis yang dimuat di Journal of Physical Therapy Science (Vol. 27, 2015), sujud terbukti memberikan efek relaksasi psikosomatik. Posisi kepala di bawah jantung memperlancar sirkulasi darah ke otak, menurunkan stres, dan menenangkan sistem saraf. Ini menguatkan posisi sujud sebagai ibadah yang menyentuh tubuh dan jiwa secara simultan.

Di sisi lain, data sosial dari Pew Research (2020) menyebutkan bahwa generasi muda muslim, terutama di perkotaan, lebih jarang salat lengkap dengan kekhusyukan. Banyak yang terburu-buru, bahkan melewatkan sujud. Maka menjadi penting untuk menghidupkan kembali kesadaran tafsir sujud sebagai momen berhenti sejenak dari sirkus dunia.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

Bagi sebagian orang, sujud menjadi tempat terakhir untuk menangis diam-diam. Tidak perlu caption panjang, tidak ada penonton, tidak ada peran yang harus dimainkan. Hanya ada hamba dan Tuhan—dahi, debu, dan derai air mata.

Sujud tidak mengenal kasta, tak peduli jabatan. Semua orang bertemu tanah. Dan dari sanalah martabat sejati justru dibangun: bukan karena tinggi posisi berdiri, tapi dalam rendahnya sujud yang tulus.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini