BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

Tafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

Shalat memiliki aturan khusus yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang mengerjakannya, seperti menghilangkan hadas dan harus bersuci. Dua hal ini adalah aturan yang dilaksanakan sebelum shalat. Kemudian, ada juga aturan saat mengerjakan shalat, seperti tidak berbicara, tertawa, bergerak yang berlebihan sehingga membuat batal, dan menetapkan arah pandangan mata ketika shalat.

Saat shalat, seseorang tidak hanya berusaha membuat khusyu hatinya, akan tetapi juga diharuskan membuat khudhu’ (tenang) anggota tubuhnya, termasuk dalam hal ini adalah menjaga pandangan mata ketika shalat, ke depan atau ke tempat sujud?

Allah berfirman,

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144)


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Shalat, Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?


Ayat di atas, menjadi dasar syarat menghadap kiblat sebagai syarat sah nya shalat. Namun bagaimana dengan arah pandangan mata orang yang shalat? Dalam hal ini, Ulama terbagi pada dua pendapat, yaitu mata memandang ke depan dan mata mushalli (orang yang shalat) memandang ke tempat sujud.

Menurut Al-Qurthubi, ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa pandangan mata ketika shalat harus mengarah ke depan sebagaimana yang dipilih oleh mazhab Maliki. Demikian juga Ibn Al-‘Arabi. Ia berargumen bahwa jika orang yang shalat diharuskan mengarahkan pandangan ke depan, bukan ke tempat sujud. Sebab, mengarahkan pandangan ke arah tempat sujud saat posisi seseorang berdiri dianggap sebagai masyaqqah ‘azhimah (sangat sulit).

Berbeda dengan mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Mereka  berpendapat bahwa pandangan mata mushalli diarahkan pada tempat sujud. Ini berdasarkan sebuah riwayat Al-Hakim tentang Abu Hurairah yang bercerita tentang Rasulullah pernah shalat dengan mengangkat kepalanya ke langit. Kemudian turunlah surat al-Mukminun ayat 2 (terjemahannya, “dan orang-orang yang khusyu dalam shalat”), sehingga Rasulullah menundukkan kepalanya.

Siti Aisyah juga pernah meriwayatkan:

(دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا (رواه الحاكم

Artinya: “Rasulullah masuk ka’bah (untuk mengerjakan shalat) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya.” (HR. al-Hakim)


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya


Lebih jelas, Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in-nya berkata:

“Disunahkan menetapkan pandangan mata kearah tempat sujud supaya lebih khusyu, sekalipun tunanetra, baik shalat dekat ka’bah, shalat di tempat gelap, ataupun shalat janazah. Namun, disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk saat tasyahud akhir, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.”

Namun, terdapat pengecualian dalam keadaan tertentu, seperti orang yang shalat berjamaah. Ketika itu makmum merasa butuh untuk memperhatikan imamnya, maka memandang ke depan diperbolehkan. Jika orang tersebut statusnya sebagai imam atau munfarid (shalat sendirian), maka dianjurkan untuk mengarahkan pandangan mata ke tempat sujud. Demikian keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam mengomentari hadis tersebut.

Jika arah pandangan mata ketika shalat ini menjadi pendukung kekhusyuan, maka pandangan mata ketika shalat tidak cukup hanya dengan menundukkan pandangan ke bawah atau ke tempat sujud, tetapi juga menunduk dengan dibarengi rasa penuh kerendahan dan kehinaan. Sebagaimana ayat Al-Quran berikut,

خَاشِعَةً اَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ  ۗذٰلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ

Pandangan mereka tertunduk ke bawah diliputi kehinaan. Itulah hari yang diancamkan kepada mereka. (QS. Al-Maarij [70]: 44)


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Itikaf, Waktu, Tempat dan Hukumnya


Merujuk pada dalil-dalil serta pendapat di atas, maka orang yang shalat dianjurkan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud, sejak ia takbiratul ihram hingga salam (kecuali saat tasyahud akhir) walau ia shalat di tempat gelap sekalipun. Anjuran ini bertujuan agar seseorang bisa melaksanakan shalat dengan fokus dan khusyu hatinya. Sebab, tidak pantas rasanya jika shalat pandangan seseorang melirik ke kanan dan kiri atau atas dan bawah. Hal tersebut terkesan bahwa tidak sopan ketika menghadap Allah. Namun demikian, tidak lupa pula menunduk ke tempat sujud ini hendaknya dibarengi dengan rasa penuh kerendahan dan kehinaan, karena hakikatnya manusia tidak punya apa-apa di hadapan Allah swt.

Wallahu A’lam

Lutfiyah
Lutfiyah
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir bayt al-'ankabut

Tafsir ‘Bayt al-‘Ankabut’: Kritik Bint asy-Syāṭi’ atas Tafsir Sains

0
Tafsir sains merupakan salah satu model tafsir yang berkembang di era ini, mengingat pada saat ini tren pengetahuan mengarah kepada ilmu-ilmu STEM (science, technology,...