Tafsir dalam kesejarahan Islam telah melalui pelbagai dinamika yang panjang dan pelik, oleh karena tafsir lebih dari sekadar pengalihbahasaan dari teks asli al-Qur’an. Dari bahasa Arab kepada bahasa-bahasa lain seperti bahasa Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan termasuk Melayu (Malaysia, Brunei, Singapura)—dalam hal ini disesuaikan dengan bahasa yang lazim dipergunakan di suatu wilayah masyarakat muslim. Tafsir lahir dari keterpaduan antara keluasan wawasan, kedalaman pemahaman, ketekunan, ketelitian, kebijaksanaan, dan kelurusan niat atau tujuan dari seorang mufasir.
Salah satu fase krusial dalam jejak tumbuh dan mekarnya tafsir adalah terjadinya transformasi perwujudan tafsir dari oral (lisan) kepada tulisan. Perwujudan tafsir oral oleh mayoritas ulama dalam praktik lazimnya dilakukan di majelis-majelis ilmu. Namun, dengan laju perkembangan teknologi yang semakin pesat, kehadiran tafsir tidak lagi terbatas hanya dalam ruang-ruang fisik, melainkan meluas ke dalam ruang-ruang virtual seperti platform YouTube, Instagram, dan Tiktok. Lebih tua lagi, sebelum sampai kepada ruang-ruang virtual sebagaimana yang telah disebutkan, media elektronik seperti radio tradisional, telah lebih dulu menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi yang ikut memainkan peran dalam mekarnya kehadiran karya-karya tafsir. Sementara, perwujudan tafsir tulisan banyak dijumpai dalam karya-karya tulis para ulama seperti kitab tafsir, monograf keislaman, dan karya ilmiah lainnya.
Tafsir yang Tumbuh dari Gelombang Udara
Ahmad Sonhadji tidaklah menjadi satu-satunya ulama yang memanfaatkan media elektronik seperti radio sebagai alat dalam mengoptimalkan perwujudan tafsir secara oral. Figur-figur intelektual terkemuka seperti Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), M. Quraish Shihab, dan Yusuf al-Qardhawi turut dikenal melalui penyiaran ceramah dan kajian tafsir yang beredar luas melalui radio ataupun televisi. Namun demikian, pemanfaatan media tersebut hanya sampai pada level transmisi dakwah dan penyampaian ilmu kepada khalayak umat. Lain dengan Ahmad Sonhadji, radio menjadi cikal bakal dalam proses kelahiran karya tafsirnya sebelum kemudian tertuang dalam himpunan lembaran aksara sarat makna yang masyhur dengan nama tafsir ‘Abr al-Aṡīr. Inilah yang penulis maksud atas anomali terhadap karya Ahmad Sonhadji.
Langkah awal Sonhadji dalam perannya di studio radio dimulai saat ia diundang sebagai narasumber untuk mengisi kajian Islam. Sonhadji tidak tergesa mengamini undangan tersebut, sebab ia memiliki pertimbangan baik sekaligus keresahan atas tawaran tersebut. Baginya, kajian tentang Islam ini tidak cukup efektif dilakukan dalam durasi waktu yang relatif singkat. Atas keresahan Sonhadji, perusahaan penyiaran radio menanggapi dengan meminta Sonhadji mengirimkan contoh ceramah yang akan disampaikannya tersebut. Selanjutnya, Sonhadji mengirim 4 bagian tafsir surah an-Nur yang masing-masing bagiannya diselaraskan dengan siaran radio dengan durasi waktu 30 menit.
Stasiun radio memberikan persetujuan atas pengajuan Sonhadji, tetapi tidak bersedia memberi honorarium. Sonhadji mengajukan ketidaksepakatan atas keputusan stasiun radio tersebut. Sebab, bagaimana mungkin seorang narasumber yang menyampaikan ilmu harus sekaligus menanggung biaya produksi siaran dari saku pribadi, kemudian tidak memperoleh tunjangan apapun dari pihak stasiun radio/penyiar. Menurutnya, stasiun radio mestinya menyediakan alokasi dana setidaknya untuk menopang kebutuhan dasar siaran, seperti biaya produksi siaran radio, transportasi dan honorarium narasumber. Jadi, adalah hal yang wajar jika Sonhadji melayangkan ketidaksepakatan atas keputusan stasiun radio tersebut. Setelah menempuh proses negosiasi, pihak produser akhirnya menyetujui untuk memberikan honorarium sebagai wujud apresiasi serta dukungan atas program siaran tafsir tersebut.
Baca juga: Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub Tafsir Bareng Gus Awis
Sonhadji banyak memperoleh respons positif dari para audiens selama proses siaran tafsir di radio berlangsung. Bahkan beberapa audiens menghendaki agar supaya Sonhadji berkenan menyampaikan siaran tafsir lengkap yang diawali dari surah pertama dalam al-Qur’an. Oleh karena usul tersebut, pihak penyiar menetapkan jadwal tetap atas siaran tafsir Sonhadji pada setiap Kamis malam dengan mengawali siaran tafsirnya dari surah pertama dalam al-Qur’an. Segelintir sumber menyatakan bahwa Sonhadji mengawali siaran tafsirnya dari surah al-Baqarah.
Dalam proses perjalanannya melakukan siaran tafsir di radio, Sonhadji sempat dialihtugaskan ke Brunei. Dalam situasi ini, Abdillah Jufri menggantikan Sonhadji dalam siaran tafsir di radio. Situasi ini berlangsung selama 4 tahun dan setelahnya, Sonhadji menduduki kembali posisinya untuk kemudian melanjutkan siaran tafsir di radio. Kontrak Sonhadji sebagai narasumber di stasiun radio berakhir saat siaran tafsir yang disampaikannya tengah menapaki bagian penghujung surah al-Hujurat. Dalam kondisi demikian, Sonhadji memperoleh dukungan dari para ulama muslim untuk merampungkan apa yang telah ia mulai. Sehingga pada akhirnya, Sonhadji mampu merampungkan tugasnya dalam menyampaikan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an secara utuh.
Gelombang Udara yang Menjelma Menjadi Karya Tafsir
Sepanjang Sonhadji menyiarkan tafsirnya lewat gelombang radio, program tersebut berhasil memperoleh perhatian luas termasuk penerbit Pustaka Nasional di Singapura. Mereka berupaya menerbitkan siaran tafsir tersebut dalam format buku yang lebih tertata dan sistematis. Jilid pertama dalam format buku ini berhasil terbit pada bulan Desember tahun 1960, dan disusul oleh jilid-jilid berikutnya. Memasuki tahun 1981, kontrak dengan penerbit dihentikan. Sehingga, penerbitan atas tafsiran Sonhadji terhenti pada jilid ke-13, sementara jilid ke-14 belum sempat diterbitkan dan dipublikasikan kepada khalayak.
Penerbit Simal di Kuala Lumpur kemudian mengambil alih proses penerbitan tersebut, hingga terbitlah 8 jilid lanjutan. Namun, sangat di sayangkan, penerbitan atas tafsiran Sonhadji di radio lagi-lagi mesti terhenti—bukan oleh karena pemutusan kontrak, tetapi karena krisis ekonomi yang melanda. Atas hal tersebut, Sonhadji tetap mengupayakan agar karyanya bisa diterbitkan secara utuh. Hingga ia mengetahui bahwa Pustaka Al-Mizan di Kuala Lumpur tertarik dan berkenan untuk melanjutkan penerbitan karyanya—lebih dari itu, Pustaka Al-Mizan bahkan berkenan untuk menerbitkan ulang karya Sonhadji yang sebelumnya telah diterbitkan di dua pustaka penerbit.
Baca juga: Peran Penulis dan Penyurat Terengganu di Mushaf Nusantara
Maka, pada tahun 1988, Pustaka Al-Mizan berhasil menerbitkan karya Sonhadji secara utuh 30 jilid. Namun, jalinan relasi antara Sonhadji dengan Pustaka Al-Mizan ini berhenti di tahun 1992, karena terdapat kesalahpahaman antara kehendak yang dimaksud oleh Sonhadji dalam penerbitan karyanya dengan realitas penerbitan. Sonhadji menghendaki versi Jawi dari buku tersebut seharusnya terbit lebih awal, namun penerbit malah tidak memenuhi kehendaknya tersebut. Pada akhirnya, Sonhadji melangsungkan kontrak baru dengan penerbit Pustaka Salam Shd. Bhd. di Kuala Lumpur. Setelah kontrak terjalin, Pustaka Salam kemudian menerbitkan 30 jilid karya Sonhadji secara utuh dalam versi Romanisasi dan Jawi.
Dalam kesimpulannya, sepenggal narasi tentang perjalanan sosok Ahmad Sonhadji bersama dengan karyanya tersebut di atas, telah memberikan kita pelajaran mahal dan berharga. Ia membuktikan bahwa sebuah karya tak melulu hadir dan dinilai berharga oleh karena ia lahir dari ruang-ruang dengan dinding emas nan berkilau. Sebab karyanya, justru lahir dari ruang dengan gelombang udara yang menggetarkan pendengaran setiap manusia, mengisi wajan-wajan kosong dari jiwa-jiwa yang telah lama kehausan akan wawasan, menyulut api-api minat para cendekia, dan memberikan secercah cahaya bagi generasi muda.
Referensi:
Ceramah Buya Hamka Kembali di Putar di RRI Pro 3.
Yusoff, M. Y. Zulkifli Haji Mohd (2000) A study of Tafsir Abr al-Athir and Sonhadji s Methodology in Tafsir al – Qur an. Doctoral thesis, University of Wales Trinity Saint David.
Yusuf al-Qaradawi, the Muslim scholar who influenced millions.

















