Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata fitnah berarti perkataan bohong atau tanpa berdasar kebenaran. Perkataan ini bertujuan untuk menjelekan orang sehingga menodai dan merugikan kehormatan orang. Namun makna fitnah dalam Al Quran justru beragam. Salah satu yang sering terdengar ialah “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Sebenarnya bagaimana maksud dari kalimat tersebut.
Baca juga: Agar Terhindar dari Fitnah Dajjal? Baca Surah Al Kahfi
Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 191: fitnah lebih kejam dari pembunuhan
Dalam Lisanul ‘Arab, Ibnu Manzur menyatakan bahwa kata fitnah memiliki makna yang beragam sesuai degan konteksnya. Antara lain: cobaan, ujian, syirik, kufur, bencana dan sebagaianya. Sama halnya kata fitnah dalam Al Quran juga memiliki beragam makna bergantung pada konteks yang melingkupi. Salah satu kata fitnah bisa ditemukan pada surah Al-Baqarah ayat 191, yakni:
وَٱقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقَٰتِلُوهُمْ عِندَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمْ فِيهِ ۖ فَإِن قَٰتَلُوكُمْ فَٱقْتُلُوهُمْ ۗ كَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka. Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”
Ayat ini merupakan satu dari rangkaian ayat-ayat yang turun pertama kali dalam perintah berperang. Mulai dari waktu yang tepat untuk memulai dan mengakhiri peperangan, hingga aturan perang (kode etik) disebutkan dalam rangkaian ayat tersebut.
Al-Qurthubi menjelaskan perihal kedudukan ayat ini. Menurutnya, sebagian ulama menyatakan bahwa ayat ini sudah dimansukh sedang yang lain tidak demikian. Hal ini berkaitan pada aturan berperang di tanah Haram. (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi juz 2). Tapi, tulisan ini lebih fokus pada pemaknaan kata fitnah pada ayat tersebut.
Imam at-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud fitnah pada ayat tersebut ialah kesyirikan. Maknanya ialah kembalinya orang-orang beriman kepada kemusyrikan dan kekufuran. Hal itulah yang menjadikan kesyirikan lebih berbahaya dibandingkan pembunuhan (Imam at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Qur’an, juz 1)
Dalam at-Tafsirul Kabir li Al Quranil Karim, Ar-Razi menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan fitnah ialah kafir terhadap Allah swt. Adapun Penyebab penyebutan kafir dengan fitnah karena hal tersebut bisa menimbulkan kerusakan di dunia.
Sementara itu, penyebab “kekafiran lebih besar bahayanya dibanding pembunuhan” ialah karena dosa besar hingga mendapat azab yang kekal itu akan melekat pada orang yang kufur, sedangkan pembunuhan tidak demikian. Dikatakan pula bahwa kekafiran bisa mengeluarkan orang dari kesatuan umat, sedang pembunuhan tidak demikian. (ar-Razi, at-Tafsirul Kabir li Al Quranil Karim juz 5)
Baca juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Mengedepankan Islah dalam Kehidupan
Fitnah penyebab kerusakan
Berdasarkan tafsiran di atas, fitnah cenderung diartikan sebagai kemusyrikan atau kekufuran. Kemusyrikan sendiri lebih berbahaya dibanding pembunuhan, karena pembunuhan hanya berakibat pada kerusakan dunia. Sedangkan kemusyrikan atau kekufuran merusak diri dan orang lain, tidak hanya di dunia namun hingga akhirat.
Kalimat “fitnah lebih kejam dari pembunuhan” memang sering diucapkan oleh masyarakat Indonesia. Apalagi saat ingin mengingatkan akan bahayanya fitnah dalam pengertian kabar dusta yang bisa merugikan orang yang difitnah. Tapi mungkin sebagian mereka belum mengetahui maksud dari lafal yang tertuang dalam surah Al-Baqarah ayat 191 tersebut.
Baca juga: Cara Menangkal Hoax Menurut Pandangan Alquran
Meskipun secara bahasa sangat berbeda makna, fitnah dalam bahasa Indonesia masih berkaitan dengan makna fitnah menurut para mufassir, yakni perilaku yang menyebabkan kerusakan. Seperti halnya menyebarkan kabar tanpa tendensi kebenaran. Wallahu a’lam[]