BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Pangeran Diponegoro, Bagaimana Kondisinya Sekarang?

Mushaf Pangeran Diponegoro, Bagaimana Kondisinya Sekarang?

Nama besar Pangeran Diponegoro tentu membawa kita pada peristiwa Perang Jawa 1825-1830. Sisi kepahlawanan Pangeran Dponegoro tentu sangat familiar dengan kita. Namun kali ini kita tidak sedang menggali kisah perjuangan itu belaka, melainkan fokus pada mushaf Al Qur’an yang dinisbatkan pada nama sang pangeran, yakni Mushaf Pangeran Diponegoro.

Mushaf Pangeran Diponegoro saat ini berada di Pondok Pesantren Nurul Falah Menoreh, Salaman, Magelang, Jawa Tengah. Sebelum disimpan di sini, manuskrip Al Qur’an ini ditemukan oleh KH. Achmad Nur Shodiq dengan kondisi sudah tidak terawat di Langgar Agung Pangeran Diponegoro, yang lokasinya tidak jauh dari pesantren.


Baca juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit


Tentu kita bertanya-tanya, apakah mushaf itu benar-benar tulisan Pangeran Diponegoro atau bukan? Lalu bagaimana ceritanya,  mushaf itu bisa ada disebut mushaf Pangeran Diponegoro? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa membedah hasil penelitian Hanifatul Hasna di Jurnal Hermeneutika dengan judul “Karakteristik Manuskrip Al-Qur’an Pangeran Diponegoro: Telaah Atas Khazanah Islam Era Perang Jawa”.

Alkisah, pada pertengahan Juli 1825, Pangeran Diponegoro mengumpulkan 1500 warga Tegalrejo guna melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan ini dipicu atas kelancangan pihak Belanda yang melakukan perbaikan jalan-jalan kecil, namun melewati batas pagar di Timur Tegalrejo. Karena gesekan-gesekan seperti ini, peperangan pun terjadi semakin besar yang kelak kita kenal sebagai perang Jawa.

Tentu perlawanan masyarakat Jawa tidak membuat Belanda diam ataupun jera. Mereka justru melakukan pengepungan dan membakar kediaman Pangeran Diponegoro. Akhirnya Pangeran Diponegoro pergi ke gua Selarong Bantul sebagai markasnya. Setelah berhasil lolos, Pangeran Diponegoro pindah ke Menoreh, karena dianggap strategis untuk latihan perang.

Di Menoreh inilah, sang pangeran singgah selama dua minggu dan melakukan ritual ibadah dan mujahadah di Langgar Agung. Tempat inilah yang kemudian menjadi situs ditemukannya manuskrip Al Qur’an itu. Tercatat bahwa Pangeran Diponegoro berada di Menoreh dari tanggal 21 Februari sampai 7 Maret 1830.

Melihat dari waktu persinggahan yang begitu singkat, tentu tidak mungkin bagi Pangeran untuk menulis sebuah mushaf Al Qur’an. Apalagi kondisi saat itu perang masih berlangsung. Lantas, tulisan siapa sebenarnya mushaf ini?


Baca juga: Mana yang Lebih Utama, Membaca Al-Quran dengan Hafalan atau dengan Melihat Mushaf?


Naskah Mushaf Pangeran Diponegoro

Manuskrip mushaf Pangeran Diponegoro ditemukan bersamaan dengan manuskrip kitab Ushul Fiqh di Langgar Agung. Teks mushaf ini masih dalam keadaan utuh dan terbaca sangat jelas. Namun kondisi naskahnya rentan rusak karena factor usia.  Ditambah lagi, beberapa lembar di bagian awal -akhir manuskrip ini sudah mulai rusak dan sobek.

Mushaf Pangeran Diponegoro berukuran 32 x 21 cm dan tebalnya 7 cm. Total halaman keseluruhan manuskrip ini 848 halaman. Jumlah halaman di setiap juz-nya tidak konsisten. Tidak seperti mushaf cetak dengan waqaf sudut yang konsisten jumlah halamannya. Nampaknya sampul manuskrip ini terdapat hiasan atau tulisan tertentu, namun sudah mulai memudar sehingga tidak dapat dilihat secara jelas.

Perihal iluminasi, mushaf ini menunjukkan identitasnya sebagai mushaf bangsawan/elite. Hal ini terlihat dari meriahnya ornamen yang ditampilkan di bagian awal, tengah dan akhir mushaf. Tiap iluminasi yang ditampilkan terdiri dari tiga lapis, dengan keunikan khas gaya iluminasi Jawa. Kekhasan ini tampak dari pola segitiga yang berada di luar lapisan pertama dan kedua. Dalam khazanah iluminasi Nusantara, sebenarnya gaya iluminasi Jawa sangatlah beragam, namun pola segitiga selalu menjadi ciri khasnya.


Baca juga: Salim Fachry: Sang Penulis Mushaf Al-Quran Kenegaraan Pertama


Adapun penulisan nama surat dan jumlah ayatnya ditulis dengan pola kaligrafi floral. Sebuah teknik penulisan huruf-huruf Arab yang menyatukan dengan figur tumbuhan. Iluminasi di mushaf ini menggunakan tinta emas, hitam, merah, dan putih. Bisa disebut, pola mushaf Pangeran Diponegoro ini mirip dengan mushaf kuno Puro Pakualaman, koleksi perpustakaan Widyapustaka Puro Pakualaman Yogyakarta.

Kertas yang digunakan oleh mushaf Pangeran Diponegoro ini terdapat garis-garis halus rapi, yang menyiratkan hasil olahan pabrik. Ini juga berbeda dengan manuskrip mushaf kuno sederhana yang menggunakan kertas daluwang dari tanaman saeh.

Dari sisi kaligrafi dan iluminasi, manuskrip ini digarap oleh dua orang yang berbeda. Satu orang fokus pada ayatnya, satu lagi pada iluminasinya. Menurut keterangan KH. Achmad Nur Sodiq, mushaf ini ditulis oleh Kyai Abdul Aziz Wonosobo salah satu murid Pangeran Diponegoro atas perintah sang pangeran.

Tentu, keterangan terkait karakteristik dan spesifikasi teks dalam mushaf Pangeran Diponegoro perlu dibahas lebih lanjut. Tulisan ini dapat disimpulkan bahwa mushaf ini dibuat oleh murid pangeran, yang saat bersinggah selama dua minggu di Menoreh digunakan untuk beribadah.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...