BerandaKhazanah Al-QuranSalim Fachry: Sang Penulis Mushaf Al-Quran Kenegaraan Pertama

Salim Fachry: Sang Penulis Mushaf Al-Quran Kenegaraan Pertama

Khazanah mushaf Nusantara sejak dahulu kala selalu terbagi menjadi dua gerbong. Mushaf elite dan mushaf untuk pendidikan. Mushaf elite ini maksudnya, mushaf yang dibuat oleh tokoh tertentu seperti dari kerajaan, kenegaraan dan tidak diperuntukkan untuk bahan ajar mengajar. Sementara mushaf pendidikan dibuat oleh tokoh agama dan mushaf itu sebagai media untuk ajar mengajar.

Mushaf-mushaf yang dibuat pihak kerajaan dan negara biasanya memiliki karakteristik yang khas dan mewah, tinimbang mushaf Pendidikan. Kekhasan itu sangat dominan di sisi fisiknya, mushaf kerajaan atau kenegaraan cenderung memiliki ukuran dan iluminasi yang luar biasa, sementara mushaf pendidikan hanya sederhana saja.

Tentu, sejak dulu penulis-penulis aristokrat yang menuliskan mushaf bukanlah orang yang biasa saja. Mereka dipilih berdasarkan kompetensi dan juga ketrampilannya. Termasuk juga penulis mushaf resmi kenegaraan Indonesia yang pertama, mushaf Al-Qur’an Pusaka.

Mushaf garapan Departemen Agama yang saat itu secara khusus membuat Yayasan Bangsal Penglaksanaan Qur’an Pusaka ini didesain sebagai mushaf monumental. Oleh karena itu, dipilihlah orang yang secara ilmu kaligrafi berkompeten untuk menggoreskannya. Mushaf yang berukuran 2 x 1 meter ini pun akhirnya selesai dengan sentuhan tangan Salim Fachry dan timnya.

Salim Fachry termasuk kaligrafer terbaik saat itu. Secara Pendidikan, ia belajar kaligrafi di madrasah kampung halamannya kemudian di Mesir dan juga Mekkah. Study-nya di Timur Tengah ini mendapatkan sponsor beasiswa dari pemerintah Tanjung Pura (saat itu bernama Langkat) di bawah naungan Sultan Aziziah.

Kasim Abdurrahaman mencatat kisah ini dalam makalah yang disimpan oleh pihak Lajnah Pentashihan Al-Qur’an dengan judul Biografi Prof. H.M. Salim Fachry, MA Sang Penulis Al-Qur’an Pusaka di Indonesia Salim Fachry. Di sini tertulis bahwa Salim Fachry belajar khat/kaligrafi di Madrasah Tahsin el Ghuthuth al Arabiyah Mesir dengan ijazah pada tahun 1930.

Lalu ia juga belajar di Madrashah Tahsinul Khathath al Arabiyah al Malakiyah dengan materi Tsuluts, Farisi dan Diwany. Madrasah yang kedua ini ternyata sekolah sore, sehingga tahun lulusnya pun sama 1930.


Baca juga: Memahami Makna Setan dan Kejahatan Dalam Al-Quran


Karena belum merasa cukup, Salim Fachry belajar lagi selama dua tahun khusus pada bidang ornamen dan pewarnaan. Ia belajar melukis, mengukir, mewarnai dengan air emas (tehzib), perak dan lain sebagaianya. Dalam tradisi Timur Tengah, termasuk juga Turki, seseorang cenderung fokus salah satu di antara menjadi kaligrafer atau pelukis iluminasi. Tak heran jika dalam satu bingkai karya, lazim dikerjakan oleh dua orang, kaligrafi dikerjakan oleh ahli kaligrafi dan iluminasi dikerjakan oleh ahli iluminasi.

Nampaknya Salim Fachry ingin belajar semuanya, sehingga setelah ia belajar menulis kaligrafi, ia pun belajar iluminasi. Setelah lulus tahun 1932 dari kelas pewarnaan, ia pindah ke Mekkah dan belajar keseluruhan khat (naskhi, tsuluts, farisi, diwani, kufi, dan riq’i.) pada Syech Ali Maliki, Syech Jamal Maliki, Syech Said Yamani, Syech Hasan Yamani, Syech Abdul Qadir Mand, dan lainnya. Untuk Pendidikan formal, Salim Fachry pernah belajar di Al Azhar Mesir. Bahkan setelah lulus, ia pernah mengajar keagamaan di Athena Yunani.


Baca juga: Mengetahui Spesifikasi Tiga Mushaf Al Quran Standar Indonesia


Proses Pengerjaan Mushaf Pusaka

Sebelum didaulat sebagi penulis mushaf Pusaka, Salim Fachry begitu aktif berorganisasi. Karier di level nasional ia mulai pada tahun 1949, saat menghadiri Kongres Muslimin Indonesia. ia menghadiri acara tersebut dan bertemu beberapa tokoh seperti KH. Masykur, KH. Wahid Hasyim, Syafruddin Prawinegara dan lainnya. Saat inilah disebutkan bahwa perbincangan tentang mushaf Pusaka tepat bertemu pada tuannya.

Salim Fachry yang kemudian aktif juga di Masyumi, berhasil menyelesaikan mahakarya mushaf Pusaka pada tahun 1960. Yang patut diingat bahwa, peresmian awal penulisan mushaf ini tercatat pada tahun 1948, namun karena kondisi sosial politik yang tidak menentu, sehingga beberapa kali berhenti dan penulisan baru benar-benar fokus pada tahun 1954.


Baca juga: Empat Presiden Indonesia dan Warisan Mushaf Nusantara


Kasim Abdurrahman menceritakan, penulisan mushaf ini juga dibantu oleh H.M Jasim dan H. Yahya agar selesai pada tahun 1960. Setelah penulisan selesai, mushaf ini diserahkan secara seremonial kepada Presiden Soekarno saat acara nuzulul quran. Mushaf yang besar ini pun beberapa kali dipindahkan, dari Istana Negara, Masjid Baiturrahim Istana Merdeka dan saat ini di Bayt Al-Qur’an Museum Istiqlal.

Semula mushaf ini hendak dijadikan mushaf induk dan pedoman bagi percetakan atau penerbitan mushaf di Indonesia. Namun hal itu tidak sempat berlaku, hingga Lajnah Pentashihan Al Quran membuat Mushaf Standar Indonesia sebagai pedoman sejak tahun 1984.

Sehingga mushaf Pusaka sampai saat ini, hanya berperan sebagai warisan sejarah dan media edukasi di pameran-pameran khazanah mushaf Nusantara. Wallahu a’lam bi al-shawab

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...