Empat Presiden Indonesia dan Warisan Mushaf Nusantara

4 presiden Indonesia
4 presiden Indonesia

Artikel ini berkisah tentang empat presiden Indonesia yang berperan dalam dunia permushafan di Indonesia. Empat presiden itu adalah Soekarno, Soeharto, Habibie dan Gus Dur. Tentu kisah mereka berbeda-beda namun peran mereka meninggalkan jejak yang berharga bagi khazanah mushaf nusantara.

Soekarno dan Mushaf Pusaka

Kita mulai dari kisah Soekarno, presiden pertama. Soekarno memilik peran dalam penulisan mushaf pusaka yang saat ini ada di Museum Bayt Al-Qur’an Taman Mini Indonesia Indah. Di leaflet yang mendeskripsikan mushaf pusaka, menyebut bahwa mushaf ini diprakarsai oleh Bung Karno.

Begini keterangan itu berbunyi,

Al-Qur’an Mushaf Pusaka

‘’Mushaf ini ditulis oleh Prof.Drs.H. Salim Fachri, Guru Besar IAIN Jakarta. Jenis mushaf  sudut, ukuran teks 50 x 80 cm. Penulisan mushaf ini diprakarsai oleh Bung Karno, dengan kurator khattat K.H. Abdurrazaq Muhilli. Penulisannya dimulai pada 24 Juli 1948, 17 Ramadhan 1367 H, dan selesai pada 15 Maret 1950. Huruf  ba’ sebagai huruf pertama Basmalah ditulis oleh Bung Karno, dan sin sebagai huruf terakhir pada surah an-nas digoreskan oleh Bung Hatta.’’


Baca juga: Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i


Dalam berbagai literatur, sebenarnya yang memiliki ide justru seorang ulama yang bernama Abu Bakar Atjeh. Ulama yang sekaligus pegawai departemen Agama ini mencatat awal mula proyek penulisan mushaf pusaka, mendokumentasikan pendirian Yayasan Bangsal Penglaksanaan Qur’an Pusaka, bahkan turut menulis buku sejarah Al-Qur’an yang mengiringi adanya penulisan mushaf monumental ini.

Namun, usaha Abu Bakar Atjeh ini dapat berjalan hingga selesai juga atas dukungan Bung Karno. Dalam catatan yang dibuat Abu Bakar Atjeh, ia pernah berdiskusi dengan mertua Bung Karno Hasandin, ayah dari Fatmawati terkait rencana penulisan mushaf ini. Respon pun datang menyambut dengan baik hingga akhirnya pada 24 Juli 1948 atau 17 Ramadhan 1367 H pemerintahan Soekarno menyelenggarakan peringatan nuzulul Qur’an.

Di acara nuzulul Qur’an ini lah, Soekarno secara seremonial meresmikan proyek penulisan mushaf Pusaka. Ada pun tanda peresmian itu ditunjukkan dengan goresan huruf ba’ sebagai huruf pertama basmalah oleh Bung Karno. Sementara Bung Hatta menggoreskan huruf mim di basmalah.

Sesungguhnya leaflet yang ditampilkan di atas, memiliki beberapa catatan karena memungkinkan adanya kesalahan. Kesalahan itu seperti tahun selesai penulisan mushaf, bukan tahun 1950 melainkan 1960. Kemudian Bung Hatta semestinya tidak mungkin menggores huruf sin dalam surat An-Nas, karena saat itu baru penggoresan pertama. Bisa saja Bung Hatta menggoreskan huruf mim dalam basmalah.

Kemudian penulisan ini mengalami berbagai pasang surut problem internal, namun pada 15 Maret 1960 dalam peringatan nuzulul Qur’an mushaf ini resmi diluncurkan. Dalam peresmian ini, Soekarno berpidato dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Abu Bakar Atjeh yang mendampingi hingga selesai.


Baca juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani


Untuk keterangan lebih lanjut, khususnya tentang autentisitas mushaf pusaka ini, penulis pernah memublikasi dalam Journal Quhas UIN Syarif Hidayatullah dengan judul Eksistensi Qur’an Pusaka dalam Perkembangan Mushaf Indonesia”. 

Soeharto dan Mushaf Prakarsanya

Kisah kedua tentang Soeharto. Presiden kedua ini berkontribusi penting atas projek penulisan Mushaf Istiqlal dan Mushaf Tien. Selain itu, Soeharto juga membangun museum Bayt Al-Qur’an di TMII dan menyelenggarakan dua kali festival Qur’ani dengan tajuk Festival Istiqlal.

Penulisan Mushaf Istiqlal secara resmi dimulai saat Festival Istiqlal I pada 15 Oktober 1991 (7 Muharram 1412 H). Mushaf yang dikerjakan selama 4 tahun ini digawangi oleh para khattat handal. Mereka yaitu KH Abdurrazaq Muhili (perancang pola), HM Fa’iz AR (ketua), M Abdul Wasi AR, H Imron Ismail, Baiquni Yasin, Mahmud Arham, Islahuddin (anggota), serta HM Idris Pirous (asisten). Sementara tim iluminasi terdiri atas para pakar desain grafis ITB (Institut Teknologi Bandung).

Akhirnya mushaf ini diluncurkan oleh Presiden Soeharto saat Festival Istiqlal II pada 23 September 1995 (27 Rabi’ul Akhir 1416 H). Sebelum diresmikan, mushaf ini telah mengalami pentashihan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen (sekarang Kementerian) Agama RI, selesai pada 6 Juni 1995 (7 Muharam 1416).

Adapun mushaf Tien, merupakan mushaf yang diprakarsai oleh Soeharto untuk mengenang almarhum istrinya Tien Soeharto. Antara mushaf Istiqlal dan Mushaf Tien, keduanya sama-sama memberikan ornamen khas kebudayaan Indonesia.

Terkait dua mushaf ini, silahkan baca lebih lanjut dalam artikel yang dibuat oleh Ali Akbar dan Athoillah, peneliti mushaf di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an sebagai berikut. Bisa klik di sini.


Baca juga: Membaca Al-Quran Untuk Pamer, Simak Peringatan Nabi Berikut!


Habibie dan Gus Dur: Peran yang Berbeda

Habibie dan Gus Dur memiliki peran yang berbeda terkait mushaf Al-Qur’an. Habibie, presiden ketiga ikut andil dalam projek penulisan mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi yang diprakarsai oleh HB.Jassin. Mushaf yang kemudian sempat heboh karena kontreversial ini, didanai secara tidak langsung oleh BJ Habibie saat masih menjadi Menristek era Soeharto.

Kisah ini dituturkan oleh penulis mushaf itu langsung, yakni Didin Sirajuddin pengasuh Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an yang terekam dalam artikel yang publis di Republika “Habibie, HB Jassin: Kisah Naik Haji dengan Menulis Alquran”

Didin Sirajuddin mengisahkan bahwa semula HB Jassin menanyakan harga penulisan mushaf tersebut, dan Didin menjawab 15 juta karena akan digunakan untuk haji bersama istrinya. HB. Jassin merasa keberatan, karena pada tahun 1993 uang 15 juta merupakan uang yang sangat besar. Singkat cerita, sastrawan ini menghibahkan 40.000 buku sastra ke Pusat Dokumentasi Sastra di Taman Ismail Marzuki dan ia pun mendapatkan uang dari Habibie sebesar 25 juta, dan berhasil menghajikan Didin yang menulis mushaf tersebut.

Adapun peran Gus Dur sangat berbeda dengan pendahulunya. Gus Dur justru mengoleksi berbagai manuskrip kuno pesantren dan menghibahkan ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Total ada 67 manuskrip dan 12 di antaranya adalah mushaf Al-Quran. Saat itu Gus Dur belum menjadi presiden, namun sebagai Ketua Umum PBNU. Manuskrip mushaf itu, saat ini bisa diakses secara langsung di Perpusnas lantai 9.

Keempat presiden yang telah disebutkan tadi, memiliki peran yang mampu mewarnai khazanah mushaf Nusantara. Tidak hanya terbatas pada penulisan mushaf, namun juga pada tahap pelestarian. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan juga berperan dan berposisi strategis dalam mewariskan mushaf Al-Qur’an untuk generasi selanjutnya. Layaknya Usman bin Affan yang memiliki peran penting dalam menentukan keseragaman mushaf di dunia Islam.

Semoga berkah.

Wallahu a’lam bi al-shawab