Pada tahun 2019, Kementerian Agama melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an meluncurkan terjemahan Al Quran yang terbaru. Terjemahan Edisi ini dengan judul “Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019”. Dari judulnya, tentu mengisyaratkan upaya penyempurnaan dari edisi sebelumnya. lantas bagaimana wajah terjemahan Al-Quran ini?
Secara fisik, jumlah halaman terjemahan Al Quran Kemenag 2019 ini mencapai 914 halaman. Ditambah lagi keterangan pengantar dari Menteri Agama, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an, dan mukaddimahnya.
Secara histori, terjemahan Al Quran Kemenag merupakan karya kolektif ulama-ulama anggota Lembaga Penterjemah Kitab Suci Al Qur’an. Dulu, untuk pertama kali terjemahan Al Qur’an diterbitkan pada tahun 1965, tepat pada tanggal 17 Agustus.
Baca juga: Empat Mushaf Kuno Koleksi Museum Ronggowarsito, Bagamaina Bentuknya?
Kemudian, terjadi penyempurnaan pada tahun 1989. Saat itu penyempurnaan fokus pada perbaikan redaksional yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan bahasa. Setelah ada penyempurnaan, terjemahan Al Quran ini dicetak oleh Mujamma‘ al-Malik Fahd pada tahun 1990. Bahkan, produksi cetakan itu berlanjut hingga saat ini.
Seiring berjalannya waktu, terjadilah penyempurnaan yang kedua. Penyempurnaan ini mengahbiskan rentang waktu dari tahun 1998 hingga 2002. Tentu, fokus penyempurnaan pun terus berkembang. Edisi kedua inilah secara menyeluruh dilakukan penyempurnaan yang mencakup aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek transliterasi.
Setelah edisi penyempurnaan yang kedua, tibalah peluncuran terjemahan Al Qur’an Kemenag 2019. Penyempurnaan yang ketiga ini kembali dilakukan secara menyeluruh yang mencakup aspek redaksional, konsistensi, dan substansional.
Baca juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit
Aspek redaksional berarti, pemilihan kata dalan edisi ini merujuk pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Begitu juga dengan struktur kalimat, disesuaikan dengan kaedah bahasa Indonesia dengan tetap memperhatikan bahasa sumber (bahasa Al-Qur’an).
Kemudian aspek konsistensi, secara khusus dalam penerjemahan ayat dan diksi. Sementara aspek substansi khusus berkenaan dengan makna dan kandungan ayat.
Penyempurnaan yang melibatkan para pakar Al Qur’an, tafsir, bahasa Arab dan tim ahli bahasa Indonesia ini, disebut oleh Menteri Agama saat itu Lukman Hakim Saifuddin sebagai upaya untuk menyempurnakan sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia dan dinamika kehidupan. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa adanya edisi penyempurnaan terjemahan Al Qur’an bukan berarti edisi sebelumnya tidak benar. Melainkan edisi terbaru ini guna menghadirkan terjemahan yang lebih kontekstual dan mudah dipahami.
Baca juga: 7 Etika Yang Harus Diperhatikan Ketika Bergaul dengan Al-Quran
Metode dan Prinsip Terjemahan Al Qur’an Kemenag 2019
Terjemahan Al Qur’an ini menggunakan metode penerjemahan yang setia pada bahasa sumber. Maksudnya, lafadz yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, maka akan diterjemahkan dengan harfiyah. Namun jika tidak bisa, penerjemahan dilakukan dengan tafsiriyah. Yakni dengan memberikan catatan tambahan, baik berupa footnote maupun penjelasan dalam kurung.
Sementara prinsip yang digunakan mencakup sepuluh poin yang terdiri sebagai berikut:
- Penulisan terjemahan ini mengikuti Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), yang mengatur pemakaian huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan.
- Struktur kalimat yang digunakan merupakan struktur kalimat bahasa Indonesia yang baku. Namun jika terdapat bagian kalimat yang dipentingkan, akan disesuaikan tanpa menyebabkan kesalahpahaman. Misalnya ptongan ayat wa lahū man fis samāwāti wa al-arḍi, di sini tetap diterjemahkan “Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan di bumi”, bukan “Apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya”. Hal ini menunjukkan adanya kalimat yang diutamakan.
- Terjemahan Al Qur’an ini tidak menggunakan kata penghubung ‘dan’ di permulaan ayat. Kecuali jika masih ada hubungan dengan ayat sebelumnya.
- Konsisten dalam menerjemahkan huruf, kata, dan kalimat dengan tetap memperhatikan konteks penyebJutannya.
- Dalam terjemahan ayat Al Qur’an ini, penyebutan nama-nama nabi tidak didahului kata ‘nabi’, dan setelahnya tidak ada tambahan ‘as’. Kecuali konteksnya sebagai penjelasan tambahan.
- Jika terdapat idiom atau metafora yang sulit, maka akan diterjemahkan sesuai dengan Bahasa yang mudah dipahami.
- Penerjemahan ayat-ayat mutasyabihat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, menggunakan pendekatan tafwidl dan ta’wil. Baik sifat zat maupun sifat perbuatan.
- Jika kalimat mutasyabihat dengan jelas menunjukkan sifat Allah, makna tafwidl Maksud dari tafwidl adalah memaknai kata dengan memasrahkan makna hakikatnya pada Allah. Contoh: fa ṡamma wajhullāh (wajah Allah).
- Sedangkan kalimat mutasyabihat yang tidak secara langsung menunjukkan sifat Allah, maka makna takwil didahulukan. Maksud dari takwil ini yaitu,memaknai kata dengan makna di luar bunyi tersuratnya. Contoh: yurīdūna wajhallāh (keridaan Allah).
- Prinsi terakhir, jika ada kalimat mutasyabihat yang tidak bisa diterjemahkan dengan satu pendekatan, maka kedua pendekatan tadi diakomodasi. Yaitu menerjemahkan makna secara tafwidl, namun juga menyisipkan makna takwil. Bisa jadi bentuk akomodasi ini berupa penjelasan dalam kurung atau dengan catatan kaki.
Dari metode dan prinsip-prinsip tersebut, terjemahan Al Qur’an Kemenag edisi 2019 merupakan karya kolektif ulama kita yang patut diapresiasi. Seperti yang diungkapkan oleh pihak Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an, tentu terjemahan sesempurna apa pun, tetaplah ada kekurangannya. Apa lagi arti dalam terjemahan lebih sempit dari arti tafsirnya. waallahu a’lam